Proses pendidikan keluarga dalang seperti ini berlanjut di keturunan Mbah Bancak. Ketika Ki Bancak meninggal dunia, Ki Suparman meneruskan kehebatannya.
Ketika Ki Suparman naik daun, jam terbangnya tinggi, akhirnya perjalanan karier Supardi yang awal mulanya terampil mendalang, ia seperti kayoman.
“Ia di bawah bayang-bayang ayah dan kakaknya. Akhirnya karir Supardi lebih dikenal sebagai pengendang Ki Suparman. Ia punya skill bagus di kendang. Ia sangat cocok, klik mengendangi kakaknya,” beber Catur Benyek.
Kisah serupa terjadi di keluarga Ki Parman. Menurut Catur Kuncoro, Seno Nugroho sebenarnya belakangan menyukai wayang.
Ia punya dua kakak laki-laki, Bimo dan Bayu. Bimo lebih dulu belajar pedalangan, tapi menurut Catur ia tidak bertahan.
Tapi saat itu Seno Nugroho justru mulai tertarik wayang. Ia termotivasi gaya mendalang Ki Manteb Sudharsono dari Karangpandang, Karangayar.
“Mas Seno tadinya jarang sekali mau nonton wayang. Tapi tiba-tiba sangat menggebu saat Ki Manteb pentas. Bahkan selalu nonton pertunjukan Ki Manteb di Sport Hall Kridosono,” katanya.
“Waktu itu sudah pakai tiket. Bayangkan, diajak nonton saja susah, tapi waktu Pak Manteb mendalang, Mas Seno harus bisa nonton. Beli tiket. Caranya, kalau tidak ada uang, apa yang ia punya akan dijual. Kalau sudah mentok tak ada yang bisa dijual, ia biasanya menyuruh saya minta uang ke Pak Parman,” kenang Catur Benyek.
“Yang ingin saya katakan proses edukasi tadi. Mas Seno tidak pernah diajari langsung ayahnya,” katanya.
Ki Seno Nugroho Mulai Mempelajari Wayang
Catur Benyek menceritakan momen ketika Seno Nugroho ingin masuk SMKI jurusan pedalangan. Ia menemui bapaknya, Ki Suparman, minta diajari suluk pembuka wayang, untuk keperluan tes praktik masuk SMKI.
“Apa kata ayahnya, “Makanya kalau lihat wayang, jangan cuma tidur, jajan, main-main. Kamu perhatikan supaya kamu tahu suluk, tahu hal penting aturan main wayang,” kata Catur mengutip drama ayah anak itu.
“Nampaknya di situ Mas Seno kagol, mangkel, karena ia masih muda. Dia lari ke Kadipiro, ke Ki Supardi, ayah saya, minta diajari suluk. Langsung diberikan secara detil sampai dia bisa,” ujar Catur Benyek.
“Akhirnya Mas Seno masuk SMKI. Selang tiga tahun kemudian saya mengalami hal sama. Saya minta hal sama ke ayah saya, supaya diajari suluk sri tinon. Yang dikatakan ke saya sama seperti yang dikatakan Ki Parman ke Mas Seno,” kenang Catur.
“Mas Seno masih mending, bisa lari ke pakliknya, Ki Supardi. Lha saya?” katanya retoris sembari berseloroh.
Catur menceritakan hal ini sebagai ilustrasi tidak selalu dalang menurunkan ilmunya langsung ke anaknya.