40 Perguruan Tinggi Muhammadiyah Sepakat Tolak Revisi UU KPK

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua sekolah tinggi ilmu hukum perguruan tinggi Muhammadiyah se-Indonesia menolak RUU KPK. Atas nama ketua Dr. Trisno Raharjo M.Hum (tengah) dan Sekretaris Rahmat Muhajir Nugroho M.H (batik kuning Berkacamata)

TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sebanyak 40 perguruan tinggi yang terdiri dari 36 Fakultas Hukum dan 4 sekolah tinggi Muhammadiyah se-Indonesia menolak revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh DPR RI.

Ketua Forum Dekan Fakultas Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum perguruan tinggi Muhammadiyah, Dr. Trisno Raharjo M.Hum mengatakan sejak dikeluarkannya RUU KPK, Forum dekan perguruan tinggi Muhammadiyah telah melakukan diskusi dan menyampaikan sejumlah pandangan-pandangannya.

Dari hasil diskusi tersebut, Forum Dekan dari 40 perguruan tinggi Muhammadiyah menyatakan sikap menolak RUU KPK.

Ia menyampaikan revisi Undang-undang terhadap lembaga anti rasuah yang diinisiasi oleh DPR RI itu sebaiknya dikaji ulang.

"Karena RUU KPK bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia dan melemahkan peran KPK," katanya, saat press release di ruang sidang Fakultas Hukum UMY, Selasa (10/9/2019)

Trisno menyebutkan sejumlah perguruan tinggi Muhammadiyah di Indonesia yang telah mengirimkan sikap penolakan antara lain, Universitas Muhammadiyah Mataram, Purwokerto, Magelang, Buton-Sulawesi Tenggara, Pare-Pare Sulawesi Selatan, Sumetera Barat, Yogyakarta, hingga Cirebon.

Menurut Trisno, sejumlah Universitas tersebut sepakat menolak RUU KPK dan akan segera mengirimkan surat resmi kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo.

Ia meminta kepada presiden agar tidak menindaklanjuti RUU inisiatif dari DPR itu dengan tidak mengeluarkan surat Presiden untuk membahas RUU KPK.

Ditambahkan Sekretaris Forum Dekan Fakultas Hukum Muhammadiyah, Rahmat Muhajir Nugroho M.H mengatakan terdapat tujuh poin penting dalam RUU KPK yang justru berbahaya karena berpotensi melemahkan kedudukan KPK.

Ketujuh poin krusial itu antara lain, pertama, kelembagaan KPK sebagai lembaga pemerintah pusat yang bersifat independen sebagaimana diatur pasal 3 menjadi tidak bermakna jika disebut sebagai lembaga pemerintah pusat.

Kedua, kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi hanya dibatasi pada kerugian negara paling sedikit Rp 1 Miliar. Ketentuan tersebut dianggap menghilangkan kewenangan KPK dalam memeriksa perkara korupsi yang mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.

"Hal ini artinya menjadikan peran serta masyarakat dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi menjadi hilang," terangnya.

Poin ketiga, terkait penyadapan harus meminta izin dewan pengawas. Ia menilai keberadaan Dewan pengawas KPK tidak tepat. Sebab, yang memiliki kewenangan terkait izin dan pelaporan penyadapan adalah pengadilan.

"Munculnya dewan pengawas berpotensi merusak criminal justise system (sistem peradilan pidana) dan mengebiri kewenangan KPK," ujar dia.

Keempat, pembatasan kewenangan KPK yang harus berkoordinasi dengan Jaksa Agung ketika akan melakukan penuntutan. Kelima, adanya kewenangan KPK menerbitkan surat pemberhentian penyidikan dan penuntutan (SP3).

Halaman
12

Berita Terkini