TRIBUNJOGJA.COM - Hari ini, Rabu (13/2/2019), seluruh masyarakat di dunia merayakan Hari Radio Sedunia.
Tahun ini adalah peringatan yang ke-8, sejak Hari Radio Sedunia dilaksanakan pertama kali pada tahun 2011.
Berikut adalah beberapa hal penting terkait Hari Radio Sedunia, termasuk perbedaannya dengan Hari Radio Nasional.
1. Sejarah Hari Radio Sedunia
Peringatan Hari Radio Sedunia awalnya diusulkan oleh Kerajaan Spanyol pada 20 September 2010.
Mengutip dari laman resmi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), usul itu disetujui dan mulai diproklamirkan pada 3 November 2011 di Konferensi Umum ke-36 UNESCO.
Setelah UNESCO berkonsultasi dengan berbagai pihak mengenai peringatan Hari Radio Sedunia ini, rupanya banyak yang setuju sehingga Majelis Umum PBB mengesahkan Hari Radio Sedunia pada Desember 2012 dalam dokumen UNESCO 187 EX/13.
Selanjutnya, Hari Radio Sedunia dilaksanakan setiap tanggal 13 Februari 2019.
Pada intinya, peringatan Hari Radio Sedunia adalah tentang merayakan radio, mengapa kita menyukainya dan mengapa membutuhkannya hari ini lebih dari sebelumnya.
2. Tema Hari Radio Sedunia 2019
Setiap tahunnya, tema untuk memperingati Hari Radio Sedunia berubah-ubah.
Tahun 2018 lalu, temanya adalah "Radio dan Olahraga".
Sedangkan pada tahun 2019 ini, UNESCO memilih tema "Dialog, Toleransi, dan Perdamaian".
Ini memiliki makna, siaran radio menyediakan tempat untuk dialog dan debat demokratis tentang berbagai isu, seperti migrasi atau kekerasan terhadap perempuan, membantu meningkatkan kesadaran para pendengar, menginspirasi, serta membuka perspektif baru dalam membuka jalan bagi tindakan positif.
TribunJogja.com mengutip dari laman resmi UNESCO, sebuah acara terbuka untuk umum akan diadakan di Markas Besar UNESCO hari ini untuk memperingati Hari Radio Sedunia.
3. Bedanya dengan Hari Radio Nasional
Hari Radio Sedunia berbeda dengan Hari Radio Nasional.
Hari Radio Nasional diperingati pada 11 September dan berkaitan dengan lahirnya Radio Republik Indonesia (RRI).
Bersumber dari situs RRI seperti dikutip dari Kompas.com, perkembangan radio di Indonesia diawali oleh Batavia Radio Vereniging (BRV) pada 16 Juni 1925 di Batavia (kini Jakarta).
Setelah itu, radio terus berkembang dan bermunculan, lalu muncul Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapyj (NIROM) di Jakarta, Bandung dan Medan.
Saat Jepang berkuasa, siaran-siaran propaganda Jepang mulai muncul di radio.
Namun ada pula radio Jepang yang menyiarkan kebudayaan dan kesenian.
Akhirnya, radio-radio swasta dibekukan dan disatukan dalam satu wadah bernama Hoso Kanri Kyoku, yang merupakan pusat radio siaran.
Selain di Jakarta, Hoso Kanri Kyoku juga memiliki beberapa cabang di kota-kota Hindia Belanda saat itu.
Kemudian saat Hiroshima Nagasaki dibom Sekutu dan Jepang telah diketahui kalah, perwakilan delapan bekas radio Hosu Kyoku berkumpul di gedung Raad Van Indje Pejambon, Jakarta.
Mereka membuat nota kesepahaman, salah satunya mengimbau pemerintah agar mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dengan rakyat.
Radio dipilih karena dinilai lebih cepat dan tak mudah terputus dalam pertempuran.
Oleh karena itu, lahirlah RRI yang siarannya masih bisa didengarkan hingga sekarang. (*)