Elang Hitam Desak Elang Jawa di Merapi

Editor: Setya Krisna Sumargo
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Laporan Wartawan tribun Jogja, Sigit Widya Purna, Iwan Al Khasni 

DUA ekor Elang Hitam (Ictinaetus Malayensis) itu terbang melayang-layang, berkeliling seperti mengikuti putaran angin. "Mereka terbang soaring. Mungkin sedang mengincar mangsa," kata Irwan Yuniatmoko, staf peneliti Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM).

Tim Selo Ekspedisi Sabuk Merapi 2011 menyaksikan aksi menakjubkan kedua elang itu dalam perjalanan turun dari puncak Merapi, Kamis (27/10/2011) sekitar pukul 14.00. Tepatnya masih di area TNGM, tak jauh di bawah stasiun pemantauan BPPTK Yogyakarta di Jurang Grawah. 

"Melihat keberadaan mereka, kondisi alam di lereng utara ini masih cukup baik pascaerupsi 2010," imbuh Irwan sembari menjelaskan di beberapa kawasan di lereng Merapi habitat burung pemangsa ini rusak berat. Terutama di lereng selatan dan tenggara, seperti di Kinahrejo dan Kalitengah Lor. 

Menariknya, pada saat hampir bersamaan, Tim Kinahrejo yang menyusuri jalur menuju titik Labuhan Lama, juga menyaksikan aksi terbang soaring seekor Elang Brontok (Spizaetus Sirrhatus). Elang berwarna cokelat itu juga terbang memanfaatkan udara panas di sekitar lereng Merapi.

"Elang itu terbang soaring dari pukul 07.30-11.00," kata Arif Sulfiantono, staf peneliti dari TNGM yang mengikuti perjalanan tim di selatan. Data GPS, saat itu tim berada di koordinat O7' 33" 59,2" S, 110' 25" 38,5 " BT pada ketinggian 1.461 meter di atas permukaan luat (mdpl). 

Selain elang hitam dan elang brontok, Elang Jawa (Spizaetus Bartelzi) juga pernah terdeteksi hidup di lereng Merapi. Jumlahnya tidak pernah bisa terukur secara tepat. BKSDA DIY pada 2004 menemukan hanya ada lima (5) individu Elang Jawa di lereng Merapi. 

Pada Juni-Juli 2010, TNGM bersama sejumlah pegiat komunitas burung pemangsa di Yogya memonitor elang gunung yang jadi salah satu hewan pemangsa puncak (top predator) dalam mata rantai makanan suatu ekosistem hutan alam di Jawa. 

Kerusakan habitat yang diikuti punahnya mangsa, akan membuat mereka tertekan dan kemudian  musnah jika tak diselamatkan. Ini membuat posisi burung elang, terutama Elang Jawa, bisa jadi indikator kualitas lingkungan ekosistem hutan alam di Jawa. 

Yang mengejutkan dari kegiatan monitoring itu, Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi) diduga kalah bersaing dengan Elang Hitam (Ictinaetus Malayensis) dan Elang Ular Bido (Spilornis Cheela). Karena itu Elang Jawa yang identik dengan Garuda, lambang negara, tengah mencapai titik kritisnya.

Menurut Arief Sulfiantono dari TNGM, monitoring dilakukan di tiga titik; puncak Bukit Turgo di Girikerto, kawasan hutan Kinahrejo, Cangkringan, dan di hutan Deles, Sidorejo, Kemalang, Klaten. Hasilnya cukup mengejutkan. 

Tim menemukan lokasi sarang burung Elang Hitam di Kinahrejo, dan menyaksikan seekor Elang Jawa bertengger di kawasan Deles, Klaten. Ini mengejutkan karena sangat jarang bisa menemukan Elang Jawa bertengger, apalagi di daerah hutan Deles. 

Secara keseluruhan, hasil monitoring di Turgo tercatat ada empat ekor Elang Jawa, 8 ekor Elang Hitam, 7 ekor Elang Ular Bido, dan satu sarang Elang Hitam. Di kawasan hutan Deles terpantau ada satu ekor Elang Jawa, 3 ekor Elang Hitam, dan 2 ekor Elang Ular Bido.

Temuan sebelum erupsi besar 2010 ini mestinya menggembirakan, meski dari segi kuantitas sangat sedikit dibanding luas areal yang mestinya sangat cocok untuk habitat elang gunung ini. Tim belum mengamati lebih cermat kawasan hutan di sektor timur dan timur laut Merapi. 

Mestinya di kawasan itu akan ada temuan lebih menarik, karena kondisi alamnya yang relatif masih bersih dan alami. Bahkan, Tribun Jogja menerima informasi yang belum bisa diverifikasi, ada warga Deles yang naik ke Gunung Ijo bertemu seekor gogor alias anak macan tutul.

Informasi ini diterima dari Sapari Dwiono, petugas BPPTK Yogyakarta, ketika warga Deles itu ikut naik ke Gunung Ijo membantu tim BPPTK Yogyakarta memasang perangkat pemantauan gunung Merapi. Peristiwa ini terjadi sepekan sebelum Ekspedisi Sabuk Merapi 2011 dimulai.

Dari semua kawasan, kondisi hutan yang paling bagus dan lolos dari dampak erupsi 2010 memang di sektor utara dan timur di sekitar Deles dan Kemusuk. "Sebagian kera ekor panjang, dan kemungkinan lutung eksodus ke sana," terang Irwan Yuniatmoko.

Dampak erupsi Merapi memang sangat kompleks. Gunung ini memberikan banyak keberuntungan, tapi juga sekaligus kemalangan bagi habitat flora fauna karena efek letusannya yang sangat merusak. Namun tentu alam memiliki rumus sendiri untuk menjaga keseimbangannya.(Tribunjogja.com)

Berita Terkini