Laporan Reporter Tribun Jogja, Victor Mahrizal
TRIBUNJOGJA.COM, KULONPROGO - Darah seekor 'wedhus kendhit’ ditumpahkan di bawah pohon asem raksasa, saat ritual Saparan Kalibuka, Selasa (1/2/2011),di Dusun Sebatur, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo.
Wedhus kendhit adalah kambing berbulu hitam, namun bagian punggungnya putih, mirip selendang putih yang melingkar di badannya. Kambing yang disembelih diambil kulit dan dagingnya, untuk dimasak para pria Dusun Sebatur. Masakan itu tidak boleh dicicipi.
Setelah kambing disembelih, kepala kambing diarak menuju balai Desa Kalirejo, baru kemudian dibawa ke Dusun Sebatur. Kirab kepala kambing dilengkapi tenong berisi sesajian, dan alunan shalawat.
Di Dusun Sebatur, kepala kambing didoakan pemuka agama, kemudian ditanam. Pemuka agama berdoa agar penduduk Dusun Sebatur diberi keselamatan. Penduduk Dusun Sebatur, bermukim di dua pedusunan, yaitu Kalibuka I dan Kalibuka II.
Selain pemuka agama, juru kunci Saparan Kalibuka bertugas membakar kemenyan dan mohon perlindungan dari ‘danyang’ Kalibuka, antara lain Kyai Kentol Bausetika dan Nyai Kentol Ngamben.
Setelah prosesi doa, digelar kenduri, diikuti panitia saparan dan peserta. Usai itu kaki kambing ditanam di empat penjuru Dusun Sebatur, dan daging kambing yang dimasak kaum laki-laki dimakan seluruh peserta upacara, untuk mengakhiri Saparan Kalibuka. "Upacara Saparan Kalibuka adalah tradisi leluhur yang dimaksudkan untuk tolak bala," kata pemangku adat Desa Kalirejo, Sutrisno Wiyanto.
Ia mengatakan, ritual Saparan Kalibuka menjadi agenda budaya tahunan warga. Sejarah upacara Saparan Kalibuka, adalah kisah perjalanan Sunan Kalijaga saat siar agama Islam. Upacara adat saparan Kalibuka diselenggarakan setiap Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sapar. Upacara ini biasanya diadakan bersamaan dengan tradisi bersih desa atau merti dusun, diawali membersihkan tempat upacara dan jalan menuju ke Dusun Sebatur.
Dikisahkan Sutrisno, saat Sunan Kalijaga singgah di dusun itu pernah berkata akan menamakan daerah itu Desa Walibuka. Pada waktu itu Sunan Kalijaga buka puasa, nasinya tercecer dan tumbuh menjadi pohon besar. Asam yang dipakai untuk bumbu sate yang tercecer juga berubah menjadi pohon asam yang sampai sekarang masih hidup.
Tusuk sate (sujen) yang tercecer berubah menjadi rumpun bambu, yang akrab disebut pring gedhe. Pring gedhe terletak di sebelah timur wilayah Dusun Sebatur, dan selalu dipagari bambu. Setiap perayaan Saparan Kalibuka, pagar bambu tersebut diganti baru. (*)
Sembelih 'Wedhus Kendhit' untuk Tolak Bala
Editor: Sulistiono
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger