Menyusuri Kuliner Lawas Sembari Menghidupkan Ingatan Lama di Pasar Ngasem Yogyakarta

Pasar Ngasem, begitu namanya, menyuguhkan aneka jajanan lawas yang semakin sulit ditemui di kota-kota besar.

|
Tribun Jogja/ Hanif Suryo
KULINER TRADISIONAL - Pengunjung menikmati jajanan tradisional di Pasar Ngasem, Yogyakarta, Rabu (2/7/2025). Tak jauh dari kompleks Keraton, pasar yang dahulu dikenal sebagai sentra unggas ini kini menjelma menjadi pusat kuliner lawas yang diburu wisatawan. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Tak jauh dari kompleks Keraton Yogyakarta, sebuah pasar tradisional yang dulunya identik dengan perdagangan unggas kini menjelma menjadi magnet baru bagi para pecinta kuliner nostalgia.

Pasar Ngasem, begitu namanya, menyuguhkan aneka jajanan lawas yang semakin sulit ditemui di kota-kota besar.

Di pagi hari, aroma manis dari apem dan serabi yang sedang dipanggang perlahan di atas tungku arang seolah mengajak siapa saja untuk singgah, mencicipi, dan mengenang rasa masa kecil.

Kepadatan pengunjung biasanya mulai terasa sejak pukul 07.00 WIB, dan mencapai puncaknya sekitar pukul 10.00 WIB.

Terutama saat masa liburan sekolah, deretan antrean mengular di beberapa lapak favorit.

Beberapa pedagang bahkan menerapkan sistem nomor antrean demi menjaga ketertiban.

“Saya lihat di TikTok katanya rame dan viral. Pas datang ternyata beneran seru. Saya sempat coba apem, dan yang paling saya suka itu 'sendang ayu'. Saya kaget, di Jakarta udah nggak ada rasa kayak gini,” ujar Robby Hilman, wisatawan asal Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Robby tak datang sendiri. Ia ditemani istri serta kedua saudaranya dalam rangka liburan sekolah anak.

Mereka sengaja menyusun itinerary dengan satu tujuan: menikmati Jogja lewat rasa, bukan sekadar tempat.

“Kami cari yang khas Jogja banget, yang nggak bisa dibeli di mall,” tambahnya.

Baca juga: Izin Meninggikan Gapura Area Parkir Malioboro Eks Menara Kopi Ditolak, Ini Kata Pengelola

Suasana Pasar Ngasem memang berbeda dari pasar pada umumnya.

Bukan hanya karena jenis jajanannya yang mengusung cita rasa lawas, tetapi juga karena atmosfernya yang tenang, rapi, dan bersih—meski ramai.

Di hari libur seperti akhir pekan, pasar ini bisa dipadati pengunjung sejak pukul 06.30 WIB.

Kepadatan biasanya memuncak antara pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, dan pada momen libur sekolah seperti saat ini, antrean mengular menjadi pemandangan lazim.

Beberapa pedagang bahkan harus memberlakukan sistem nomor antrean demi menghindari rebutan.

Melayani Rasa Sejak Subuh

Bayu, salah satu pedagang serabi dan apem yang cukup dikenal di pasar ini, mengatakan sudah bersiap sejak dini hari.

“Jam 4 pagi saya udah mulai prepare, nyalain arang, panaskan cetakan. Sekitar setengah 6 udah mulai jualan,” ujarnya sambil membalik apem yang baru matang.

Menurut Bayu, lonjakan pembeli selama libur sekolah bisa mencapai tiga kali lipat dibanding hari biasa.

“Biasanya saya bawa seratusan biji. Tapi sekarang bisa sampai 300-an. Tetap aja habis sebelum jam 12 siang,” katanya.

Tak hanya volume penjualan, omzetnya pun melonjak signifikan.

“Kenaikan bisa sampai dua kali lipat. Tapi ya, capeknya juga dua kali lipat,” ucapnya.

Harga jajanannya relatif terjangkau. Serabi dibanderol Rp4.000 per buah, sementara apem pun tak jauh beda. Pengunjung biasa membeli dalam kemasan lima biji seharga Rp20.000.

“Banyak yang beli buat oleh-oleh juga. Kadang mereka nitip ke ojek online,” tambahnya.

Mayoritas pembeli datang dari luar kota—Jakarta, Surabaya, Semarang, hingga Bandung. Beberapa bahkan datang karena rekomendasi media sosial.

“Sekarang hampir semua yang datang tahu dari TikTok atau Instagram. Mereka tuh udah tahu mau beli apa, bahkan tahu nomor stand kami,” ujar Bayu.

Pasar Ngasem bukan hanya soal makanan, namun juga adalah perjumpaan, tempat di mana memori kolektif tentang ‘rasa Indonesia’ tetap dijaga dengan setia.

Dalam jajanan yang dijajakan dengan peralatan sederhana dan arang yang menyala, ada dedikasi untuk mempertahankan tradisi.

Bagi warga lokal, kehadiran wisatawan di Pasar Ngasem membawa angin segar—secara ekonomi dan budaya.

Pasar yang sempat mati suri kini bergeliat kembali dengan wajah baru yang lebih relevan dengan tren zaman, tanpa kehilangan akar.

Kembali ke Robby, setelah puas menyantap jajanan sambil duduk di bangku kayu kecil, ia memandangi sekeliling.

“Saya senang banget bisa nemu tempat kayak gini. Ini Jogja yang saya cari—hangat, akrab, dan jujur,” katanya.

Pasar Ngasem mungkin bukan tempat yang mewah. Tak ada pendingin ruangan, tak ada tenant dengan brand besar.

Tapi di sinilah, Yogyakarta berbicara dengan cara paling tulus: lewat makanan, aroma, dan keramahan yang tak dibuat-buat.

Bagi siapapun yang ingin lebih dekat dengan jiwa kota ini, barangkali, satu pagi di Pasar Ngasem lebih berarti daripada seribu swafoto di tempat wisata yang ramai. (*)
 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved