Rektor UGM Temui Mahasiswa yang Berkemah di Halaman Balairung, Respons Sederet Keresahan

Setelah sekian lama para mahasiswa bertahan di bawah hujan dan panas, Prof. Ova Emilia beserta jajaran menemui mereka pada Rabu (21/5/2025) sore.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Yoseph Hary W
Istimewa
TEMUI MAHASISWA: Rektor UGM, Prof. Ova Emilia beserta jajaran menemui mahasiswa yang telah berkemah sejak Selasa (14/5/2025). Pertemuan dilakukan Rabu (21/5/2025) sore 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Ova Emilia beserta jajaran menemui sejumlah mahasiswa yang berkemah di halaman Balairung UGM sejak Rabu (14/5/2025).

Mahasiswa tersebut mulai berkemah di halaman Balairung Pancasila sejak Rabu (14/5/2025), untuk menyuarakan keresahan yang sudah lama bergolak.

Beberapa keresahan mereka antara lain tentang militerisme, ruang publik yang kian menghilang, dan penanganan kasus kekerasan seksual yang dinilai semrawut.

Setelah sekian lama para mahasiswa bertahan di bawah hujan dan panas, Prof. Ova Emilia beserta jajaran menemui mereka pada Rabu (21/5/2025) sore.

Dalam kesempatan itu, Ova mengatakan UGM memandang bahwa hal tersebut sebagai cerminan kepedulian mahasiswa terhadap dinamika sosial dan kebijakan nasional.

Sehubungan dengan tuntutan agar universitas menyatakan mosi tidak percaya terhadap institusi negara, UGM menilai bahwa sebagai institusi pendidikan, langkah tersebut kurang tepat. 

“Namun demikian, UGM tetap mendorong pemerintah untuk menjalankan pemerintahan yang jujur, bersih dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Sebagai universitas perjuangan, UGM melalui sivitas akademika berperan aktif dalam memberikan masukan, advokasi kebijakan, serta kritik terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan publik,” beber dia.

Ova juga menyinggung aspirasi mahasiswa terkait penolakan terhadap praktik militerisme di ruang-ruang sipil.

UGM memandang isu ini dalam kerangka kebebasan akademik, kebebasan mimbar, dan otonomi keilmuan. 

“Saat ini, UGM menyusun naskah akademik yang merangkum ketiga poin tersebut. Reformasi telah menegaskan pemisahan TNI dan Polri serta pembatasan peran politik militer. Namun lemahnya pengawasan publik, diskresi yang longgar, dan rendahnya akuntabilitas dapat membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” terangnya.

Untuk itu, menurut Ova, partisipasi aktif mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil, penting dalam menjaga keberlanjutan demokrasi, baik di tingkat nasional maupun lokal. 

UGM juga mencermati proses judicial review UU TNI yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK), dan berharap MK dapat menghasilkan putusan terbaik sesuai amanah reformasi. 

Selain itu, mahasiswa juga menyampaikan keberatan atas relokasi anggaran pendidikan yang dinilai berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. 

“Meski menghadapi pemangkasan anggaran, UGM  hingga saat ini tidak menaikkan uang kuliah tunggal (UKT), dan tetap menerapkan prinsip keadilan dan kesetaraan dalam pembiayaan pendidikan. UGM juga terus mengembangkan berbagai program bantuan bagi mahasiswa tidak mampu, seperti pinjaman laptop, pinjaman sepeda, layanan bus kampus, serta berbagai program beasiswa,” jelasnya.

Sebagai respons terhadap kondisi fiskal, UGM melakukan efisiensi secara menyeluruh di berbagai lini tridarma perguruan tinggi, tanpa mengorbankan kualitas layanan pendidikan. 

“Optimalisasi anggaran terus diupayakan agar tidak merugikan sivitas,” paparnya.

Terkait tuntutan transparansi dalam penetapan, penyerapan, dan penggunaan dana pendidikan dari masyarakat, dia mengatakan, UGM selama ini telah menyampaikan transparansi dana tersebut secara berkala kepada Majelis Wali Amanat (MWA), serta melalui Laporan Rektor dan Laporan Keuangan yang telah diaudit. 

Seluruh laporan tersebut dapat diakses publik melalui laman resmi UGM: https://ugm.ac.id/id/3621-laporan-keuangan. 

Terkait aspirasi agar universitas mengambil langkah tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual, UGM sepakat dan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kampus yang bebas dari berbagai bentuk kekerasan seksual. 

“Kampus meyakini kebijakan yang disusun, bahwa kampus harus menjadi ruang yang aman, kondusif, dan bebas dari praktik kekerasan,” ungkapnya.

Sejak 2022, UGM telah membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) yang berperan aktif dalam mendeteksi kasus dan mendorong korban untuk berani melapor. 

UGM juga terus memperkuat layanan perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan korban sesuai kebutuhannya. 

Sosialisasi kebijakan, aturan, dan Prosedur Operasional Standar (POS) penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terus dilakukan secara berkelanjutan untuk mewujudkan UGM sebagai ruang yang aman dari berbagai tindak kekerasan seksual. (Ard)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved