Hari Buku Sedunia, Berikut 5 Buku Legendaris Indonesia yang Wajib Kamu Baca

Berikut buku novel yang telah mengukir namanya dalam sejarah sastra Indonesia yang patut untuk terus diapresiasi dan dikenang

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Joko Widiyarso
Tribunnews.com
Novel Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer 

TRIBUNJOGJA.COM - Kekayaan khazanah sastra Indonesia menyimpan untaian permata berupa novel-novel yang tak lekang dimakan zaman. 

Karya-karya ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jendela yang membuka lebar cakrawala pemikiran, pergolakan sosial, dan dinamika budaya bangsa dari masa ke masa.

Melalui alur cerita yang memikat dan karakter-karakter yang kuat, novel-novel legendaris ini telah membentuk lanskap literasi Indonesia, mewariskan nilai-nilai luhur, dan terus menginspirasi generasi pembaca hingga kini. 

Berikut buku novel yang telah mengukir namanya dalam sejarah sastra Indonesia yang patut untuk terus diapresiasi dan dikenang: 


1. Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli (1922).

Novel "Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai" karya Marah Roesli, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1922, merupakan tonggak penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern.

Karya ini sering dianggap sebagai salah satu novel Indonesia pertama yang memiliki ciri-ciri roman modern, baik dari segi tema maupun teknik penceritaan.

Berlatar di Minangkabau pada awal abad ke-20, novel ini mengisahkan tentang Sitti Nurbaya, seorang gadis cantik dan berbudi luhur, dan Samsulbahri, pemuda tampan dan cerdas yang saling mencintai.

Namun, jalinan kasih mereka harus kandas akibat perjodohan paksa yang diatur oleh ayah Sitti Nurbaya, Baginda Sulaiman, dengan Datuk Maringgih, seorang rentenir kaya dan licik yang terjerat hutang budi dengan keluarga Sitti Nurbaya.

Perjuangan cinta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri yang penuh haru dan pengorbanan menjadi inti cerita, sekaligus menjadi kritik terhadap praktik kawin paksa dan kekuasaan kaum berduit dalam masyarakat tradisional. 

Lebih dari sekadar kisah cinta tragis, "Sitti Nurbaya" juga menyentuh isu-isu sosial yang relevan pada masanya, seperti praktik lintah darat yang mencekik kehidupan masyarakat kecil dan ketidakadilan gender yang membatasi kebebasan perempuan dalam menentukan pilihan hidup. 

Dengan bahasa Melayu yang indah dan alur cerita yang memikat, novel ini berhasil merebut hati pembaca pada masanya dan terus dikenang sebagai karya sastra klasik yang abadi.

 

2. Salah Asuhan karya Abdul Muis (1928). 

Salah Asuhan, mahakarya sastra Indonesia yang ditulis oleh Abdul Muis dan pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928, adalah sebuah novel yang kaya akan pergolakan batin dan benturan nilai budaya. 

Karya ini sering dianggap sebagai potret "Malin Kundang" di abad ke-20, mengisahkan tentang Hanafi, seorang pemuda Minangkabau yang sejak kecil dididik dan dipengaruhi oleh budaya Barat selama bersekolah di HBS (Hoogere Burgerschool) di Batavia. 

Pendidikan Barat ini menumbuhkan dalam dirinya pandangan yang meremehkan adat dan budayanya sendiri, bahkan membuatnya bersikap dingin dan durhaka terhadap ibunya.

Inti cerita berpusat pada konflik internal Hanafi yang terjebak di antara dua dunia: tradisi Timur yang diwariskan dan modernitas Barat yang dianutnya. 

Perjalanan cintanya yang rumit dengan Corrie du Busse, seorang gadis Indo-Perancis yang tumbuh bersamanya di Solok, menjadi salah satu fokus utama. 

Meskipun Hanafi menaruh hati pada Corrie, gadis itu awalnya hanya menganggapnya sebagai teman dan ragu untuk menjalin hubungan yang lebih dalam karena perbedaan status sosial dan budaya yang saat itu masih kuat mengakar. 

Perbedaan pandangan ini menjadi simbol dari benturan kebudayaan yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia pada masa kolonial.

Lebih dari sekadar kisah cinta, Salah Asuhan juga menyoroti dampak pendidikan dan pergaulan dengan budaya asing terhadap identitas dan nilai-nilai pribumi. 

Sikap Hanafi yang kebarat-baratan dan merendahkan bangsanya sendiri menjadi kritik terhadap hilangnya jati diri akibat "salah asuh" dalam pendidikan. 

Novel ini menggambarkan bagaimana hegemoni budaya Barat dapat merenggut rasa hormat terhadap akar budaya sendiri. 

Tragisnya, Hanafi pada akhirnya harus menghadapi konsekuensi pahit dari pilihan-pilihannya, termasuk kerenggangan hubungan dengan keluarga, kegagalan dalam percintaan, dan penyesalan mendalam di akhir hidupnya. 

Salah Asuhan tetap relevan hingga kini sebagai cerminan kompleksitas identitas dan benturan budaya di era globalisasi.


3. Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (1980). 

"Bumi Manusia," jilid pertama dari tetralogi Buru yang monumental karya Pramoedya Ananta Toer, pertama kali diterbitkan pada tahun 1980 dan segera menjelma menjadi tonggak penting dalam sastra Indonesia modern. 

Berlatar Surabaya pada awal abad ke-20 di masa kolonial Belanda, novel ini mengisahkan tentang Minke, seorang pemuda Jawa ningrat yang bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), sekolah elit pada masa itu. 

Melalui sudut pandang Minke, pembaca diajak menyelami kompleksitas kehidupan sosial, politik, dan budaya Hindia Belanda. 

Perjumpaannya dengan Nyai Ontosoroh, seorang wanita pribumi yang cerdas, mandiri, dan memiliki pandangan modern meskipun tidak menikah secara resmi dengan seorang Belanda, menjadi inti dari perkembangan karakter Minke dan pemahaman barunya tentang ketidakadilan kolonialisme, perjuangan kelas, dan benih-benih nasionalisme yang mulai tumbuh. 

Dengan gaya penceritaan yang kuat dan riset sejarah yang mendalam, "Bumi Manusia" tidak hanya menyajikan kisah fiksi yang memikat, tetapi juga potret zamannya yang kaya dan menggugah kesadaran akan identitas kebangsaan dan kemanusiaan.

 

4. Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana (1936). 

Novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang pertama kali terbit pada tahun 1936 oleh Balai Pustaka, adalah sebuah karya sastra penting yang merefleksikan pergolakan pemikiran dan cita-cita perempuan Indonesia di era modern awal. 

Melalui kisah dua bersaudara, Maria dan Tuti, yang memiliki karakter dan pandangan hidup yang berbeda, 

Alisjahbana mengeksplorasi tema-tema emansipasi wanita, modernitas, dan peran perempuan dalam membangun bangsa. 

Maria digambarkan sebagai sosok yang lincah, periang, dan terbuka pada perasaan, sementara Tuti lebih serius, aktif dalam pergerakan wanita, dan memiliki pandangan yang lebih rasional dan terorganisir. 

Kehadiran Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran yang awalnya tertarik pada Tuti namun kemudian menjalin kasih dengan Maria, menjadi katalisator bagi perkembangan karakter dan konflik dalam novel ini.

Lebih dari sekadar kisah cinta, Layar Terkembang menyajikan perdebatan mengenai arah modernisasi dan bagaimana perempuan Indonesia dapat mengambil peran aktif di dalamnya.

Tuti dengan semangat perjuangan hak-hak wanita dan keterlibatannya dalam organisasi, merepresentasikan gagasan tentang perempuan yang berpendidikan, mandiri, dan berkontribusi pada kemajuan sosial. 

Sementara itu, melalui kisah cinta Maria dan Yusuf, novel ini juga menyentuh aspek emosional dan pribadi dalam kehidupan perempuan. 

Tragisnya, penyakit yang merenggut nyawa Maria menjadi titik balik yang mengharukan dan memaksa Tuti untuk menghadapi kenyataan hidup serta pesan terakhir adiknya terkait Yusuf.

Sebagai salah satu karya pelopor sastra modern Indonesia, Layar Terkembang tidak hanya menawarkan alur cerita yang menarik, tetapi juga menjadi representasi penting dari semangat zaman dan diskursus mengenai identitas dan peran perempuan di tengah arus perubahan sosial budaya. 

Gaya bahasa Sutan Takdir Alisjahbana yang khas dan penggambaran karakter yang kuat menjadikan novel ini terus relevan sebagai cerminan sejarah pemikiran dan perkembangan kesadaran gender di Indonesia. 

Karya ini mengukuhkan posisinya sebagai salah satu novel legendaris yang patut terus dibaca dan diapresiasi.


5. Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982).

Ronggeng Dukuh Paruk, novel legendaris karya Ahmad Tohari yang pertama kali terbit pada tahun 1982, adalah jilid pertama dari trilogi yang kemudian dilanjutkan dengan Lintang Kemukus Dini Hari (1985) dan Jantera Bianglala (1986). 

Berlatar di sebuah dukuh terpencil dan miskin bernama Dukuh Paruk, novel ini mengisahkan kehidupan masyarakat pedesaan Jawa yang terikat kuat dengan tradisi, terutama tradisi ronggeng yang menjadi simbol identitas dan kebanggaan dukuh tersebut. 

Fokus utama cerita terletak pada Srintil, seorang gadis yatim piatu yang sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi ronggeng baru setelah kematian ronggeng sebelumnya. 

Melalui mata Srintil dan teman masa kecilnya, Rasus, pembaca diajak menyelami kompleksitas kehidupan di Dukuh Paruk, di mana kemiskinan, kebodohan, dan kepercayaan mistis bercampur aduk. 

Novel ini tidak hanya menggambarkan ritual dan dinamika dunia peronggengan, tetapi juga menyoroti pergolakan sosial dan politik yang mulai merasuki kehidupan desa, terutama menjelang tragedi 1965 yang memberikan dampak besar bagi masyarakat Dukuh Paruk dan hubungan antara Srintil dan Rasus. 

Dengan bahasa yang kaya dan detail, Tohari berhasil memotret potret kemanusiaan dalam balutan tradisi yang tergerus oleh perubahan zaman dan gejolak politik. (MG Ni Komang Putri Sawitri Ratna Duhita) 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved