Menjaga Keaslian Rasa, Membawa Identitas Jogja Lewat Mie Lethek
Mie legendaris yang dulu akrab dengan kemasan plastik sederhana berikat karet, kini tampil dalam kemasan menarik
Penulis: R.Hanif Suryo Nugroho | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dari rumah produksi sederhana di Bantul, mie lethek perlahan bertransformasi menjadi ikon kuliner yang melintasi batas tradisi dan menembus pasar modern.
Mie legendaris yang dulu akrab dengan kemasan plastik sederhana berikat karet, kini tampil dalam kemasan menarik, siap memanjakan lidah, sekaligus membawa cita rasa Jogja ke panggung nasional bahkan internasional.
Lewat tangan para pelaku usaha lokal dan dukungan kuat dari pemerintah daerah, mie lethek bukan hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi simbol sinergi budaya dan ekonomi kreatif.
Dalam Rembag Kaistimewan bertajuk Mie Lethek: Kuliner Legendaris Khas Bantul, Kamis (17/4/2025), Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si. (Paniradya Pati Kaistimewan DIY), Ir. Srie Nurkyatsiwi, M.M.A. (Kepala Dinas Koperasi & UKM DIY), dan Agus Purwaka, S.T. (Lurah Trimurti) sepakat: mie lethek bukan sekadar makanan. Ia adalah warisan hidup yang harus terus dijaga, dirawat, dan dikembangkan.
Paniradya Pati Kaistimewan DIY, Aris Eko Nugroho, S.P., M.Si., memulai dengan mengajak publik melampaui anggapan lama bahwa Dana Keistimewaan hanya menyentuh seni tradisi.
Menurutnya, saat ini Danais telah berkembang menyokong sektor yang lebih luas—salah satunya kuliner.
"Kuliner itu bagian dari pengetahuan teknologi tradisional. Dan mie lethek adalah contohnya. Sudah sejak 2019 ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda,” ujarnya.
Aris menyebut mie lethek sebagai titik masuk bagi pemberdayaan budaya yang berdampak ekonomi.
Dengan tersebarnya produksi mie ini di 19 padukuhan di Trimurti, ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
“Kami tidak hanya melindungi dan melestarikan, tapi juga mengembangkan,” tegasnya.
Baca juga: Paku Alam X Pimpin KONI DIY, Sri Sultan HB X Pesan Atlet Harus Punya Mental Menang Bukan Nrimo
Kepala Dinas Koperasi dan UKM DIY, Ir. Srie Nurkyatsiwi, M.M.A., turut mempertegas pentingnya infrastruktur bagi pemberdayaan. Namun baginya, bangunan bukan sekadar fisik, melainkan simbol kebutuhan akan sinergi.
"Mie lethek bukan sekadar kuliner, ini ikon. Kalau ke Jogja belum makan mie lethek, ya belum lengkap,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Dinas Koperasi tidak serta-merta menyokong tanpa konsep.
Diskusi panjang dengan Paniradya Kaistimewaan dilakukan untuk merumuskan pembangunan yang berdampak nyata.
“Kalau dulu mie lethek ini kemasannya bal-balan saja, sekarang harus bisa naik kelas. Dengan kemasan modern, target pasar juga naik. Ada nilai tambah yang kita kejar,” imbuhnya.
Menurut Siwi, ruang yang dibangun akan menjadi wadah produksi, promosi, pelatihan, hingga pendampingan.
“Kita bicara SDM UMKM, petani bahan baku, rantai pasok. Semuanya butuh tempat untuk saling terhubung. Karena di dunia usaha, tempat adalah kunci keberlanjutan.”
Terpisah, Ketua Rumah Produksi Mie Lethek jenama Yumurti, Lastri dan Manager Promosi, Rizky, sepakat bahwa mie lethek bukan hanya produk, tapi kebanggaan yang perlu dikemas ulang agar tetap relevan.
“Dulu kemasan mie lethek itu sederhana, hanya plastik diikat karet. Sekarang kami buat lebih menarik, praktis, dan siap saji. Bahkan lengkap dengan bumbu khas Trimurti,” terang Lastri.
“Kami ingin orang bisa memasak mie lethek di mana saja, tapi tetap dapat rasa autentik Trimurti,” lanjutnya.
Sementara itu, Rizky menyoroti potensi mie lethek sebagai oleh-oleh.
“Target utama kami itu orang Jogja yang merantau. Mereka pasti kangen rasa Jogja. Kami ingin mie lethek bisa dibawa ke mana saja—bahkan ke luar negeri.”
Ia menyebut pengiriman sudah dilakukan ke Makassar, Berau (Kalimantan), dan bahkan Taiwan.
“Saudaranya pulang kampung, terus pas balik ke Taiwan bawa mie lethek. Katanya biar nggak terlalu kangen rumah,” katanya.
Lurah Trimurti, Agus Purwaka, S.T., punya cara tersendiri memaknai mie lethek. Ia menceritakan eksperimen dari perguruan tinggi yang mencoba mengganti sapi dengan mesin dalam proses produksi.
“Hasilnya ternyata nggak jauh beda, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Tapi ya tetap kami pilih sapi. Soalnya selain tradisi, itu jadi daya tarik wisata juga,” ucapnya.
Menurut Agus, keberadaan sapi membuat wisatawan, termasuk asing, tertarik datang langsung melihat prosesnya.
Lebih dari itu, Trimurti kini menyandang status Kalurahan Mandiri Budaya, hasil kerja panjang sejak 2022.
“Kami bentuk tim di Desapreneur, anak-anak muda dilibatkan. Dari pelatihan hingga pengembangan potensi lokal,” katanya.
Dana BKK senilai Rp 1 miliar pun berhasil didapat pada tahun pertama program. Agus mengaku bersyukur atas dukungan Pemda DIY, khususnya Paniradya Kaistimewaan dan Dinas Koperasi.
Diskusi ditutup dengan pertanyaan ringan: “Masih ingat pertama kali makan mie lethek?”
Aris tertawa, lalu menjawab, “Saya waktu itu dapat oleh-oleh dari almarhum kakek. Awalnya nggak tahu kalau itu khas Jogja. Tapi penasaran juga, kok namanya ‘lethek’? Ternyata rasanya luar biasa.”
Siwi pun berbagi cerita. “Waktu kuliah, sering main ke rumah teman di Bantul. Teman-teman awalnya ragu, ‘Kok namanya lethek?’ Tapi setelah dicoba, semua suka. Branding memang tantangan, apalagi kalau tampilannya sederhana. Tapi justru itu istimewanya.”
Rembag Kaistimewan kali ini bukan sekadar obrolan ringan soal kuliner.
Ia menjelma menjadi narasi bersama tentang bagaimana makanan tradisional bisa menjembatani budaya, ekonomi, dan masa depan. (*)
5 Zodiak Candu Hoki Hari Ini Kamis 27 Agustus 2025, Taurus Sagitarius Rebut Posisi Teratas |
![]() |
---|
6 Shio Penebar Hoki Hari Ini Kamis 27 Agustus 2025, Shio Kerbau Shio Macan Hidup Bak Aliran Sungai |
![]() |
---|
7 Arti Mimpi Batal Ujian karena Perubahan Jadwal Menurut Primbon Jawa, Pertanda Apa? |
![]() |
---|
Staf Pengajar Universitas di Yogyakarta Asal Magelang Edarkan Sekretom Ilegal |
![]() |
---|
10 Arti Mimpi Kehujanan Tai atau Kotoran Burung, dari Rezeki Nomplok sampai Pertanda Cinta Datang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.