Pukat UGM Tak Sepakat Ide Prabowo Ampuni Koruptor: Niatnya Baik, tapi Tetap Harus Ada Efek Jera

Niat Prabowo tersebut terlihat baik, namun pelaksanaannya membutuhkan pendekatan yang tepat.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Muhammad Fatoni
DOK. BPMI Setpres
Presiden Prabowo Subianto 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidatonya di hadapan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di Mesir (18/12/2024) lalu terkait dengan keinginannya untuk mengampuni koruptor dengan syarat mengembalikan aset negara.

Menanggapi hal ini, Yuris Rezha Darmawan, peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai niat Prabowo tersebut terlihat baik, namun pelaksanaannya membutuhkan pendekatan yang tepat.

Sebab, kejahatan korupsi memiliki pola dan karakteristik tertentu. Oleh karena itu, pemberantasannya harus disesuaikan dengan karakter kejahatan tersebut.

“Alih-alih memberikan pengampunan, negara seharusnya fokus menciptakan efek jera agar pelaku tidak mengulanginya,” ujar Yuris, Jumat (27/12/2024).

Menurutnya, sebagian besar pelaku korupsi bertindak berdasarkan motif ekonomi sehingga harus diberikan efek jera yang efektif dengan pemiskinan dan perampasan aset hasil korupsi.

Ia menegaskan bahwa negara perlu memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar dikembalikan menjadi milik negara.

Yuris mengusulkan beberapa strategi yang dapat dilakukan pemerintah sebagai alternatif pengampunan koruptor.

Pertama, presiden perlu mendorong aparat penegak hukum untuk mengikuti aliran dana hasil korupsi, bukan hanya fokus pada pemidanaan pelaku.

Baca juga: Presiden Prabowo Subianto : Beri Kesempatan Kami untuk Bekerja Sungguh-sungguh

Dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara.

Menurutnya, hasil korupsi sering kali tidak disimpan dalam bentuk uang tunai, tetapi diwujudkan dalam aset lain seperti investasi atau diatasnamakan orang lain.

“Lebih dari itu, setiap perkara korupsi semestinya menyandingkan pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi dengan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sayangnya, pendekatan ini belum banyak diterapkan,” ungkapnya.

Yuris turut menggarisbawahi pentingnya mengoptimalkan penagihan uang pengganti yang telah diputuskan pengadilan.

Banyak pelaku korupsi yang divonis membayar uang pengganti, tetapi hingga kini belum memenuhi kewajibannya.

“Berdasarkan laporan tahunan terakhir kejaksaan yang saya baca, terdapat puluhan triliun Rupiah piutang negara yang belum ditagih. Presiden harus mendorong KPK dan kejaksaan untuk memastikan pelaku korupsi membayar uang pengganti tersebut,” tegas Yuris.

Terakhir, Yuris mengusulkan langkah terkait kebijakan untuk memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia melalui pengesahan RUU Perampasan Aset dengan melacak aset-aset tersebut, negara dapat lebih mudah merampas hasil kejahatan untuk dikembalikan sebagai aset negara.

Yuris juga mendesak revisi UU Tipikor agar segera direvisi dengan memasukkan pasal mengenai illicit enrichment atau kekayaan tidak sah.

“Pasal ini memungkinkan negara memeriksa pejabat publik yang memiliki kekayaan tidak sesuai dengan penghasilannya. Jika tidak bisa membuktikan asal usul kekayaan tersebut, negara dapat merampasnya,” tutur Yuris.

Selain kebijakan, Yuris menyoroti pentingnya memperbaiki penegakan hukum.

Ia mengkritik kondisi saat ini mengenai aparat penegak hukum, termasuk KPK yang belum optimal dalam menjalankan tugasnya.

“KPK yang dulu diharapkan menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi kini kehilangan taring. Reformasi di tubuh KPK, kepolisian, dan kejaksaan menjadi mutlak. Presiden harus memastikan integritas aparat dan sistem penegakan hukum ditingkatkan,” tegasnya.

Menutup pernyataannya, Yuris menegaskan bahwa pemberantasan korupsi memerlukan komitmen serius jika Presiden Prabowo benar-benar ingin mewujudkannya.

“Negara kita adalah negara hukum. Maka tindakan pemerintah harus dikonstruksikan dalam bentuk kebijakan publik, bukan sekadar pidato atau komitmen lisan belaka,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved