5 Puisi Tema Bebas: Referensi Lomba Baca Puisi HUT RI

Maka, dibawah ini merupakan 5 puisi yang telah dirangkum dari PenyairTerkenal sebagai berikut :

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
freepik
HUT Kemerdekaan RI 

TRIBUNJOGJA.COM-Untuk mengenang karya sastra Indonesia, masyarakat perlu mengetahui beberapa karya sastra dari para penyair, seperti Ws Rendra, Emha Ainun Nadjib dan lain sebagainya.

Karya sastra tentunya juga memiliki andil dalam menuliskan sebuah ekspresi sejarah yang lampau, bila dituliskan akan membentuk suatu sejarah panjang Indonesia.

Maka, Indonesia harus bangga bahwa dengan literasi, puisi yang diciptakan oleh para penyair membuat para pembaca berpikir urgensi puisi pada keberlangsungan sejarah negara Indonesia.

Jika Indonesia tidak melahirkan puisi yang diciptakan oleh sastrawan hebat, maka Indonesia tak sampai pada titik ini.

Maka, dibawah ini merupakan 5 puisi yang telah dirangkum dari PenyairTerkenal sebagai berikut :

1. Serenada Hijau
(W.S Rendra)

Kupacu kudaku.
Kupacu kudaku menujumu.
Bila bulan
menegurkan salam
dan syahdu malam
bergantung di dahan-dahan.
Menyusuri kali kenangan
yang berkata tentang rindu
dan terdengar keluhan
dari batu yang terendam
Kupacu kudaku.
Kupacu kudaku menujumu.
Dan kubayangkan
sedang kautunggu daku
sambil kau jalin
rambutmu yang panjang.

2. Pembangkang
(Sapardi Djoko Damono)

Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan.
Tidak jelas, ia peronda yang kesepian
atau pencuri yang kebingungan.
Dari arah belakang muncul seorang pengarang
yang kehilangan jejak tokoh cerita
yang belum selesai ditulisnya.
“Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang
melamun di sini. Ayo pulang!”
Daripada harus pulang, ia pilih lari ke seberang.
(2007)

3. Sesobek Buku Harian Indonesia
(Emha Ainun Najib) Yogya, 13 Maret 1982

Melihat pentas-pentas drama di negeriku
berjudul Pesta Darah di Jember
Menyerbu Negeri Hantu Putih di Solo
Klaten, Semarang, Surabaya dan Medan
Teror atas Gardu Pengaman Rakyat di Bandung
Woyla.
Ah, ingat ke hari kemarin
pentas sandiwara rakyat
yang berjudul Komando Jihad
Ingat Malari.
Ingat beratus pentas drama
yang naskahnya tak ketahuan
dan mata kita yang telanjang
dengan gampang dikelabui dan dijerumuskan
Ah, drama-drama total
yang tanpa panggung
melainkan berlangsung di atas hamparan
kepala-kepala penonton
Darah mengucur, kembang kematian.
Bau busuk air liur para sutradara licik
yang bersembunyi di hati mulia para rakyat.
Drama peradaban yang bermain nyawa
mencumbu kemanusiaan
berkelakar secara rendahan kepada Tuhan
Kita orang-orang yang amat lugu dan tak tahu
Pikiran disetir
Hidung dicocok dan disemprot parfum
Pantat disodok dan kita meringkik-ringkik
tanpa ada maknanya
Kita yang terlalu polos dan pemaaf
beriuh rendah di antara kita sendiri
bagai anak-anak kecil yang sibuk dikasih petasan
kemudian tertidur lelap
sesudah disuapi sepotong kue bolu dan permen karet
Ah, milik siapa tanah ini
Milik siapa hutan-hutan yang ditebang
Pasir timah dan kayu yang secara resmi diseludupkan
Milik siapa tambang-tambang
keputusan buat masa depan
Milik siapa tabungan alam
yang kini diboroskan habis-habisan
Milik siapa perubahan-perubahan
kepentingan dari surat-surat keputusan
Kita ini sendiri
milik siapa gerangan.
Pernahkan kita sedikit saja memiliki
lebih dari sekedar dimiliki, dan dimiliki.
Pernahkan kita sedikit saja menentukan
lebih dari sekedar ditentukan, dan ditentukan.

4. Yogyaku
(Emha Ainun Najib) 1984

Candradimuka hanya kawah panas seribu panas
tapi Yogyaku apimu membekukan dinginmu memanggang
Di kawah aku mengolah baja namun engkau
menantang keabadianku di antara pijar matahari dan
malaikat salju
Di pelukanmu ngantuk aku tapi jika kudengar
detak jantung rahasiamu kuperoleh Tidur yang sebenarnya
Tidur abadi, sunyi segala sunyi, terkatup mulutmu
karena tahu sang Sutradara hanya menorehkan sepi
Yogyaku senyumanmu linuhung di belakang
punggung beribu orang yang mengigau pernah ketemu dan
bercakap-cakap denganmu
Anak-anak kecil yang menghiasimu dengan beratus
gelar, menabur janji, menancapkan papan-papan ikrar
dan menyuratkan buih-buih mimpi yang terbengkalai
Kata-kata macet di tengah pidato silang tindih,
nilai-nilai undur diri kepadamu di tengah program bingung
dan gerak yang serba rancu, ruh anak-anakmu terguncang
oleh kendaraan-kendaraan yang kesurupan di atas
danau-danau jalan rayamu
Kemudian sekian ratus di antara mereka,
mati rahasia, dan engkau tahu persis jumlahnya tanpa meraka
pernah kepadamu membukakannya
Yogyaku senyuman linuhungmu mengurung bagai
hamparan langit yang mahasabar, Yogyaku engkau
memaafkan para pelacur dan maling di jalan dan di singgasana
Di jalan, di gang-gang sempit, engkau menanam janji
sunyi, di singgasana engkau menaruh rasa iba hati, karena jika
engkau dijual untuk sepiring nasi, sesungguhnya engkau tak
kan pernah bisa digadaikan atau dicuri
Yogyaku engkau diangkut dari sungai masa silam
dengan truk hari depan, Yogyaku engkau direbut dari masa
datang dan tergesa dilempar ke museum ke alam abad silam,
waktu tak di dalam ruang, juga tak di luarnya,
tak di sela garis batasnya

5. Takut Pada Matamu
(Emha Ainun Najib) Surabaya 1977

Kekagumanku kepada Tuhan
Membuat aku takut pada matamu
Apakah engkau sendiri mengerti, kekasihku
Apa gerangan yang memancar dari matamu itu?
Bertahun-tahun kita hanya berpandangan saja
Engkau bisu
Dan aku tuli
Karena sangat tidak mengerti
Bola matamu yang bening
Adalah ruang yang tiada terbatas
Tetapi jika pun engkau kelak menjadi wanitaku
Akan bisakah kumasuki ruang itu?

MG SOFIA AKMALUNNISA WICAKSONO

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved