ADVERTORIAL
Pelestarian Seni Kerakyatan untuk Mendukung Ketahanan Budaya di Sleman
Seni kerakyatan di Sleman perlu dilestarikan untuk mendukung ketahanan budaya.
Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA- Seni kerakyatan di Sleman perlu dilestarikan untuk mendukung ketahanan budaya.
Menurut Pelestari Seni di Sleman , Sancoko, Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Sleman memiliki banyak seni kerakyatan.
Namun jangan sampai seni kerakyatan yang ada justru tertindas oleh budaya luar daerah atau luar negeri.
Untuk itu, kesenian yang ada harus dikembalikan pada kearifan lokal dan paugeran yang asli.
Ia menilai, kesenian kerakyatan saat ini lebih mengutamakan keramaian dan hiburannya saja.
“Di tempat saya ada tempat kesenian Wijaya Kusuma, kadang memberikan pelatihan kepada wisatawan, baik itu wisman maupun domestik. Ya ada karawitan, jathilan, kethoprak, bregodo. Tetapi kami arahkan untuk kembali ke kearifan lokal, dengan paugeran lama,” katanya, Selasa (16/07/2024).
“Bukan jathilan uang dengan band, itu kesenian tapi bukan kesenian fundamental. Sekarang banyak yang mengembangkan kesenian, tetapi harus ada aslinya. Ini yang namanya kesenian sebagai ketahanan budaya. Ini pekerjaan seniman untuk mengembalikan ke kearifan lokal yang ada. Karena sekarang yang dilihat bukan kearifan lokalnya, keasliannya, makna filosofinya,hanya ramainya saja,” sambungnya.
Ia menilai kesenian tidak hanya sebagai tontonan saja, tetapi juga tuntunan, tatanan, hingga titenan.
Perkembangan teknologi saat ini menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain, pengaruh budaya asing juga tidak dapat dibendung. Namun, tatanan dalam kesenian tetap harus dilestarikan, jangan sampai seniman dan budayawan mendatang kehilangan kiblat.
“Paugeran Jogja itu kan nyawiji, greget, sengkuh, ora mingkuh itu kuat sekali. Nyawiji itu nunggal cipta, rasa, karsa di hati, greget itu berkaitan dengan kemauan, sengkuh itu ulat, ora mingkuh itu apa yang terjadi harus kita lakoni. Maka tantangan hari ini memang benar agak berat, karena adanya budaya asing,” lanjutnya.
Sementara itu, Pelestari Seni Jathilan, Bagus Purwantara mengungkapkan kesenian jathilan adalah mahakarya seni, sebab dapat menggabungkan tidak kurang dari 8 seni. Ada kesenian anyaman, seni lukis dari kudanya. Kemudian seni musik melalui gamelan, seni suara dari sinden. Lalu seni rias dan tata busana yang terus berkembang, hingga seni panggung dan seni ukir, termasuk spiritual budaya.
Namun kesenian jathilan sering dianggap musyrik, karena ada sesaji. Padahal sesaji sebenarnya memiliki filosofi yang mendalam. Sesaji merupakan rangkaian doa-doa yang divisualisasikan.
Ia menjelaskan sesaji memiliki merupakan sejatining ati kang nyawiji, artinya mempersatukan hati dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tumpeng juga memiliki filosofi yang mendalam, seperti tumuju marang pangeran, dengan makna doa yang dipanjatkan menuju kepada Tuhan. Doa yang dipanjatkan harus dilakukan metu lempeng,artinya sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Cara berdoa dilaksanakan dengan tumangkala kathi mempeng, artinya berdoa dengan hati yang tulus.
“Memang dalam setiap pagelaran yang sifatnya gebyar ada ritualnya, itu tuntunan sesepuh, tradisi. Ada sesaji, kadang ini dianggap musyrik, padahal makna filosofinya sangat dalam," ungkapnya
Semarak Sibakul Sambut Akhir Tahun 2024 : Transformasi UMKM DIY agar Cepat Naik Kelas |
![]() |
---|
BRI Salurkan 1.000 Paket Sembako magi Masyarakat Kurang Mampu di Kelurahan Jakarta Timur |
![]() |
---|
Wakil Komisi B DPRD Bantul Edy Prabowo Dorong Optimalisasi Peningkatan Potensi Wisata |
![]() |
---|
Lakukan Touring Mobil Listrik Jelang Nataru, Samsul Akui Puas Dengan Infrastruktur Penunjang PLN |
![]() |
---|
New Experience with New Honda Scoopy, Sensasi Gaya Berkendara Unik dan Fashionable |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.