Sopir Jadi Tumbal Saat Kecelakaan, MTI Desak Perusahaan Bus Ditindak Tegas

Seharusnya penyelenggara kegiatan dan pemilik bus juga bertanggung jawab dalam tiap terjadinya kecelakaan .

Penulis: Christi Mahatma Wardhani | Editor: Gaya Lufityanti
dok.istimewa
Ilustrasi kecelakaan bus 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Christi Mahatma Wardhani

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menyebut sopir selalu menjadi tumbal dalam setiap kecelakaan bus . 

Padahal seharusnya penyelenggara kegiatan dan pemilik bus juga bertanggung jawab dalam kecelakaan .

Ia pun mendesak pihak berwajib agar penindakan hukum tidak terbatas dengan menindak sopir.

“Bus yang mengalami kecelakaan, seperti di Subang tidak memiliki izin angkutan bus pariwisata dan izin KIR atau uji kendaraan bermotor telah habis masa berlaku sejak tahun lalu. Pengurusan izin KIR itu tanggung jawab pemilik bus, bukan sopir. Kendaraan yang tidak melalui uji KIR berarti rentan kondisinya tidak laik jalan,” katanya melalui keterangan tertulis, Jumat (24/05/2024).

Menurut dia, sangat jarang sekali pemilik perusahaan bus yang tidak laik jalan saat kecelakaan diperkarakan hingga di pengadilan.

Alhasil, kejadian serupa dengan penyebab yang sama selalu terulang kembali.

Ia menilai kecelakaan di Subang beberapa waktu lalu menjadi momentum agar penegakan hukum dapat komprehensif dan adil. 

Berdasarkan Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sudah tercantum sanksi pidana bagi perusahaan angkutan umum.

Sanksi pidana tersebut terkait kendaraan yang dikemudikan sopir tanpa melalui pengujian KIR.

Selama ini perusahaan angkutan dalam peristiwa kecelakaan hanya dikenai sanksi administratif, misalnya pencabutan izin. 

“Semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab. Penyedia jasa angkutan umum yang tidak dapat menjamin kendaraannya laik jalan, pantas diberikan sanksi hukum yang setimpal. Bahkan, para petugas dan pejabat pemerintah yang tidak berkompeten juga wajib diseret ke ranah hukum. Tunjangan fungsional petugas pemeriksa laik jalan kendaraan umum sudah saatnya harus disesuaikan dengan kondisi sekarang,” terangnya.

Mengacu pada catatan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada Mei 2024, ada dua pola kecelakaan pada bus wisata, yaitu rem blong pada jalan sub standar dan micro sleep disebabkan pengemudi mengalami kelelahan mengemudi.

Pola tersebut dipicu dari karakteristik angkutan wisata yang tidak diatur trayeknya dan tidak diatur waktu operasinya.

Sementara jalan jalan menuju destinasi wisata hampir semuanya adalah jalan sub standar atau tidak sesuai regulasi, yang memiliki hazard dan berpotensi risiko rem blong bagi kendaraan besar terutama bagi pengemudi yang tidak paham rute karena menggunakan gigi tinggi saat turun. 

Demikian juga terkait panjang jari-jari tikungan dan lebar lajur yang tidak ramah bagi kendaraan besar dengan panjang 12 meter dan lebar 2,5 meter.

Hal inilah yang seringkali mencelakakan bus wisata karena mereka dituntut harus mengantar ke tujuan wisata oleh penggunanya.

Untuk itu, perlu adanya terminal wisata di destinasi wisaya seperti wisata pansela di Gunungkidul dan Wonosobo.

Sehingga semua bus besar berhenti di satu titik, dan untuk menuju titik wisata menggunakan kendaraan lain yang lebih kecil dan sesuai dengan geometrik jalannya.

“Kemudian hampir semua pengguna membuat itinerary (rencana perjalanan) sungguh tidak manusiawi. Aktivitas dari pagi hingga sore untuk berwisata, kemudian malamnya berada di jalan untuk pulang, sehingga tidak memberi waktu pengemudi untuk beristirahat. Kalaupun ada waktu istirahat, tidak ada tempat istirahat yang memadai” paparnya.

Karakteristik bus wisata yang bebas kemana saja dan kapan saja ini juga merupakan ladang subur untuk digunakan oleh bus bekas hasil peremajaan.

Dengan demikian, banyak bus wisata yang tidak berizin.

Pengawasan di lapangan sangat sulit, dan masih berplat kendaraan warna kuning.

Hasil investigasi KNKT, terang dia, semua kecelakaan bus wisata adalah bus tanpa ijin yang merupakan bus bekas peremajaan dari bus AKAP/AKDP.

“Pengawasan operasional bus wisata, sulit jika menggunakan pengawasan manusia (kepolisian dan dinas perhubungan), karena mereka tidak memiliki trayek. Lebih baik wajibkan bus wisata menggunakan teknologi ADAS (Advanced Driver Assistance System) yang merupakan inovasi teknologi terintegrasi dalam kendaraan dengan tujuan utama meningkatkan keselamatan pengemudi dan penumpangnya. Dapat memantau kemana kendaraan itu serta kondisi kebugaran dan disiplin pengemudinya secara real time,” ujarnya.

“Perlu adanya mekanisme pada saat peremajaan kendaraan (karena pembatasan usia kendaraan) pada bus AKAP/AKDP, sehingga otomatis platnya menjadi hitam. Dan tidak bisa lagi digunakan sebagai kendaraan umum, sehingga tidak bisa digunakan sebagai bus wisata ilegal,” pungkasnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved