Untuk Pertama Kalinya, PBB Tuntut Gencatan Senjata di Gaza, AS Abstain

Untuk pertama kalinya, Dewan Keamanan PBB menuntut gencatan senjata segera di Gaza, setelah perang berlangsung lebih dari lima bulan

|
Editor: Joko Widiyarso
Fatih Aktas / ANADOLU / Anadolu melalui AFP
Dewan Keamanan PBB menyerukan resolusi yang menuntut gencatan senjata segera di Jalur Gaza selama Ramadan, yang mengarah pada gencatan senjata yang 'berkelanjutan dan berkelanjutan', di New York, Amerika Serikat pada bulan Maret 25 Agustus 2024. Sebanyak 14 negara memberikan suara mendukung resolusi yang diajukan oleh 10 anggota Dewan terpilih, sedangkan AS abstain dalam pemungutan suara. 

TRIBUNJOGJA.COM - Untuk pertama kalinya, Dewan Keamanan PBB menuntut gencatan senjata segera di Gaza, setelah perang berlangsung lebih dari lima bulan.

Pada forum tersebut, Amerika Serikat, yang merupakan sekutu Israel yang memveto rancangan gencatan senjata Israel-Hamas sebelumnya, abstain.

Mendapat tepuk tangan di Dewan Keamanan, ke-14 anggota lainnya memilih mendukung resolusi yang menuntut gencatan senjata secepatnya di bulan suci Ramadan yang sedang berlangsung.

Resolusi tersebut menyerukan agar gencatan senjata mengarah pada gencatan senjata yang permanen dan berkelanjutan.

Anggota DK PBB juga menuntut agar Hamas dan militan lainnya membebaskan sandera yang disandera dalam serangan tanggal 7 Oktober yang memicu pengerahan militer besar-besaran Israel.

“Pertumpahan darah telah berlangsung terlalu lama,” kata Amar Bendjama, perwakilan Aljazair, yang saat ini menjadi anggota Dewan Keamanan blok Arab dan sponsor resolusi tersebut bersama dengan berbagai kelompok yang mencakup Slovenia, Swiss, Jepang, dan Korea Selatan.

“Akhirnya, Dewan Keamanan memikul tanggung jawabnya,” katanya, dikutip dari AFP.

Sedangkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuntut agar resolusi tersebut dilaksanakan. “Kegagalan tidak bisa dimaafkan,” tulis Guterres di X.

Utusan Palestina Riyad Mansour menahan tangisnya ketika ia mengatakan bahwa resolusi tersebut harus menjadi titik balik dalam mengakhiri perang.

“Permintaan maaf kepada mereka yang telah gagal di dunia, kepada mereka yang seharusnya bisa diselamatkan namun tidak diselamatkan,” katanya.

Amerika Serikat telah berulang kali menolak resolusi Dewan Keamanan yang menekan Israel tetapi semakin frustrasi terhadap sekutunya karena PBB memperingatkan terjadinya kelaparan di Gaza.

Netanyahu menentang

Di sisi lain, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pekan lalu bersumpah untuk menentang seruan AS dan memperluas agresi militer Israel ke Rafah, kota Gaza selatan di mana sekitar 1,5 juta warga Palestina berlindung.

Beberapa saat setelah Amerika Serikat menolak memveto resolusi terbaru tersebut, Netanyahu mengumumkan bahwa dia tidak akan lagi mengirimkan delegasi ke Washington yang diminta oleh Presiden Joe Biden untuk membahas Rafah.

“Resolusi tersebut memberi Hamas harapan bahwa tekanan internasional akan memungkinkan mereka menerima gencatan senjata tanpa pembebasan korban penculikan kami,” kata Netanyahu.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant, yang sudah berada di Washington dalam perjalanan terpisah, mengatakan negaranya tidak akan mengakhiri perang sampai para sandera dibebaskan.

“Kami tidak mempunyai hak moral untuk menghentikan perang sementara masih ada sandera yang ditahan di Gaza,” katanya di luar Gedung Putih.

Hamas menyambut baik resolusi tersebut dan mengatakan mereka akan melakukan pembicaraan mengenai pertukaran tahanan yang ditengahi oleh Qatar, setelah berulang kali tertunda dalam mencapai kesepakatan.

AS Bingung

Di Gedung Putih, juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby mengatakan pihak AS bingung dan kecewa karena kunjungan delegasi Israel dibatalkan.

Para pejabat AS berpendapat bahwa resolusi tersebut tidak mengikat, sebuah poin yang diperdebatkan di PBB, dan mengatakan bahwa resolusi tersebut tidak akan membahayakan perundingan yang telah mencapai kemajuan di bawah Qatar.

“Bahkan tanpa kunjungan delegasi tersebut, Amerika Serikat akan terus berkomunikasi dengan Israel bahwa serangan terhadap Rafah adalah sebuah kesalahan,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Matthew Miller.

Serangan Hamas pada 7 Oktober, yang paling mematikan dalam sejarah Israel, mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP.

Israel menanggapinya dengan bersumpah untuk melenyapkan Hamas.

Perang di Gaza telah menewaskan lebih dari 32.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di wilayah yang dikuasai Hamas.

Rusia melakukan upaya pada menit-menit terakhir pada hari Senin tetapi gagal untuk menyerukan resolusi bagi gencatan senjata yang bersifat permanen dan bukannya selamanya.

Utusan tersebut, Vasily Nebenzia, menuding Amerika Serikat masih ingin memberikan kebebasan kepada Israel.

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved