Berita Pendidikan Hari Ini

Pakar UGM Kritik Rencana Pemerintah yang Akan Bagikan Rice Cooker Gratis

Jika membicarakan rice cooker , keluarga di Indonesia sudah banyak memanfaatkan itu sehingga akan menimbulkan pemborosan.

Penulis: Hanif Suryo | Editor: Gaya Lufityanti
net
Kampus UGM 

TRIBUNJOGJA.COM - Tengah hangat diperbincangkan publik rencana pemerintah membagi-bagikan rice cooker, alat penanak sekaligus penghangat nasi bertenaga listrik.

Program ini ditujukan untuk menjamin akses energi bersih, mengurangi impor elpiji, dan meningkatkan konsumsi per kapita listrik masyarakat.

Kebijakan pembagian alat memasak berbasis listrik tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penyediaan Alat Memasak Berbasis Listrik bagi Rumah Tangga.

Penyediaan alat ini merupakan insentif kepada rumah tangga dengan kriteria tertentu.

Adapun sumber dana penyediaannya adalah anggaran dari Kementerian ESDM.

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM , Dr. Krisdyatmiko, mengkritisi rencana pembagian rice cooker yang menurutnya tidak tepat di tengah guncangan dan kerentanan sosial saat ini adalah kemarau panjang dan rawan pangan, bukan rawan alat untuk memasak pangan.

Baca juga: Komentar Pengamat Ekonomi Energi UGM Soal Program Pembagian Rice Cooker Oleh Pemerintah

Jika ditelisik lebih lanjut argumen yang digunakan pemerintah untuk kebijakan pembagian rice cooker adalah bansos, menurut Krisdyatmiko hal itu kurang tepat tetapi lebih tepat sebagai upaya untuk substitusi energi karena ternyata saat ini sedang kelebihan pasokan listrik PLN.

Sehingga masyarakat didorong untuk menggunakan listrik yang berlebih tersebut. Penggunaan rice cooker ditunjukkan kepada masyarakat miskin yang diharapkan mampu menggantikan penggunaan tabung gas melon 3 kg.

Sementara jika membicarakan tentang listrik, maka harus tahu sumbernya dari mana jika pemerintah membuat gagasan untuk memanfaatkan energi yang lebih bersih.

"Jika gas yang berasal dari minyak bumi itu dianggap tidak terlalu bersih dibandingkan dengan listrik, tapi kalau kita mengacu pada data ESDM tahun lalu itu 67 persen listrik berasal dari batubara dan 16 persen berasal dari gas. Hal ini berarti sebenarnya sama-sama energi tidak terbarukan, baik antara listrik saat ini yang dihasilkan dari Indonesia dan gas itu sendiri. Saya kira perlu dipertimbangkan jika hendak melakukan substitusi energi antara gas minyak bumi dengan listrik, karena sepanjang sumber listrik masih tergantung batubara maka dibandingkan dengan gas itu sebenarnya sama saja," papar Krisdyatmiko.

Mengacu pada Permen ESDM No. 11 tahun 2023 tentang tentang penyediaan alat memasak berbasis listrik, maka ketentuan yang diatur di dalamnya adalah kebijakan tersebut ditujukan kepada keluarga yang menggunakan listrik prioritas 450-900 watt.

Jika dilakukan pengecekan pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) maka masih menjadi kendala terkait dengan akurasi siapa calon penerimanya.

Hal ini bisa berkaca pada beberapa waktu yang lalu ketika ada keributan dikarenakan masih adanya aparatur sipil negara (ASN) yang ternyata menerima bansos dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT).

Tentunya kejadian tersebut merupakan dampak dari kurangnya akurasi data, maka perlu diperbaiki agar ke depannya tidak menimbulkan problematika yang sama sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.

Lebih lanjut, Krisdyatmiko mengungkapkan fenomena karakter rumah tangga miskin di beberapa daerah pedesaan yang saat ini sudah relatif kecil adalah masih ada yang memasak menggunakan dahan dan ranting.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved