Warung Mbok Yem di Puncak Gunung Lawu

Cerita Mbok Yem Pedagang di Puncak Gunung Lawu dalam Film Dokumenter Mbok Yem Penjual di Atas Awan

Begini sepenggal cerita kisah hidup Mbok Yem yang diangkat dalam film dokumenter Mbok Yem "Penjual di Atas Awan" karya Wismoyo Adi Nugroho.

YouTube wismoyom
Cerita Mbok Yem Pedagang di Puncak Gunung Lawu dalam Film Dokumenter Mbok Yem Penjual di Atas Awan. FOTO: Mbok Yem dalam film dokumenter Mbok Yem “Penjual di Atas Awan” karya Wismoyo Adi Nugroho. 

Mengutip informasi di laman resmi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, film dokumenter Mbok Yem “Penjual di Atas Awan” adalah film yang diciptakan Wismoyo Adi Nugroho untuk tugas akhirnya di Program Studi (Prodi) Televisi dan Film (kini menjadi Prodi Film dan Televisi), Fakultas Seni Media Rekam (FSMR), ISI Jogja.

Saat artikel ini ditulis, Tribunjogja.com belum berhasil menghubungi Wismoyo Adi Nugroho untuk dimintai keterangan tentang kisah penciptaan film tersebut.

Namun, dalam skripsinya yang berjudul “Penyutradaraan Dokumenter Potret Mbok Yem ‘Penjual Di Atas Awan’” (2017), Wismoyo Adi Nugroho menceritakan tentang sosok Mbok Yem dan film yang dibuatnya.

“Ada sebuah warung yang ada di puncak Gunung Lawu, di ketinggian 3.105 meter di atas permukaan laut (mdpl),” tulis Wismoyo Adi Nugroho, dikutip Tribunjogja.com dari digilib.isi.ac.id.

Dalam filmnya, Wismoyo Adi Nugroho menuliskan tentang sejarah Warung Mbok Yem.

Ternyata, warung itu didirikan Mbok Yem pada tahun 1970. Artinya, di tahun 2023 ini, Warung Mbok Yem sudah sekitar 53 tahun berdiri.

Foto kondisi warung Mbok Yem di Puncak Gunung Lawu sebelum terjadi kebakaran, beberapa waktu lalu.
Foto kondisi warung Mbok Yem di Puncak Gunung Lawu sebelum terjadi kebakaran, beberapa waktu lalu. (Kompas.com/Anggara)

“Warung tersebut merupakan warung pertama yang berdiri di atas dinginnya puncak Gunung Lawu serta menjadi pioner untuk warung-warung di sekitarnya,” imbuh Wismoyo.

“Pemilik warung yang telah berjualan 45 tahun tersebut adalah seorang wanita paruh baya bernama Mbok Yem,” tulisnya.

“Dalam kesehariannya, Mbok Yem menghabiskan waktu berjualan di warung tersebut. Mbok Yem akan turun menemui keluarganya yang tinggal di kaki Gunung Lawu pada saat-saat tertentu seperti Lebaran Idul Fitri ataupun Lebaran Haji,” tulis Wismoyo.

“Ketika barang dagangan yang dijual oleh Mbok Yem menipis persediaannya, maka saat itulah Mbok Yem akan turun untuk membeli dagangan serta menemui keluarganya,” tulisnya lagi.

“Dengan kondisi tubuh Mbok Yem yang semakin menurun aktivitas mengambil bahan pokok jualan diserahkan kepada anaknya,” terang Wismoyo.

Dalam skripsinya, Wismoyo juga bercerita tentang karakter Mbok Yem yang cenderung keras dan kaku.

Hal tersebut ia alami sendiri ketika datang ke warung Mbok Yem di puncak Gunung Lawu pada 2010.

“Setelah mendaki selama 10 jam melalui Jalur Cemoro Sewu, warung Mbok Yem mulai nampak di balik semak-semak, tepat di bawah jalur puncak,” beber Wismoyo.

“Dengan raut muka sangar dan kerutan yang menggambarkan pengalaman hidup beliau di atas gunung, Mbok Yem melayani para pendaki dengan marah-marah dan tidak memperdulikan kehadiran saya,” terangnya.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved