Makna Tradisi Mubeng Beteng, Lampah Budaya untuk Mawas Diri

Aktivitas ini berupa prosesi mengelilingi beteng Kraton Yogyakarta berlawanan dengan arah jarum jam tanpa bicara dan tanpa alas kaki

ist
Ribuan warga masyarakat dari berbagai daerah bersama sejumlah abdi dalem keraton melaksanakan ritual Tapa Bisu Mubeng Beteng dengan berjalan berdiam diri mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta, Yogyakarta pada malam pergantian tahun baru jawa 1 Sura Taun Alip 1947 - 1 Muharram 1435 H, Senin (04/11/2013) malam 

TRIBUNJOGJA.COM - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat punya banyak agenda budaya yang masih dilestarikan sampai sekarang. Termasuk peringatan tahun baru Jawa yang merupakan hari pertama bulan Sura di penanggalan Jawa sesuai dengan bulan pertama Muharram dalam kalender Hijriyah. 

Adalah tradisi Mubeng Beteng yang digelar setiap malam satu suro atau tanggal pertama tahun baru yang mengacu pada kalender penanggalan Jawa. Aktivitas ini berupa prosesi mengelilingi beteng Kraton Yogyakarta berlawanan dengan arah jarum jam tanpa bicara dan tanpa alas kaki.

Sebagai sebuah pemerintahan, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tentunya memiliki benteng yang berfungsi untuk menghalau serangan musuh dan ancaman. Benteng Kraton Yogyakarta juga menjadi ikon serta saksi sejarah perjalanan pemerintahan termasuk dalam menjalankan tradisi Mubeng Beteng itu.

Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat diketahui memiliki dua lapis tembok benteng. Pertama disebut dengan Beteng Cepuri yang mengelilingi kedhaton atau kawasan Kraton Yogyakarta bagian dalam. Kemudian Beteng Baluwarti yang melindungi sisi luar Kraton Yogyakarta meliputi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem. 

Benteng Baluwarti dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I dan selesai pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II. Dulunya ada lima buah pintu atau dikenal dengan sebutan plengkung sebagai akses yakni Plengkung Tarunasura (Wijilan), Plengkung Nirbaya (Gadhing), Plengkung Jagasura, Plengkung Jagabaya, dan Plengkung Madyasura/Tambakbaya (Plengkung Bunthet). 

Ketua Kampung Mangunegaran Edy Hardjanto menjelaskan, tradisi Mubeng Beteng sudah dijalani sejak dulu oleh Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Prosesi ini bertujuan untuk mengajak manusia mawas diri dan introspeksi dalam nuansa sunyi dan khidmat.

"Dikenal juga dengan istilah topo bisu karena tidak ada yang boleh berbicara selama pelaksanaan prosesi Mubeng Beteng. Tujuannya juga untuk meminta perlindungan dan penyucian diri memohon agar menjadi manusia yang lebih baik di tahun yang baru," jelasnya. 

Pelaksanaannya akan dimulai pada malam hari dengan pembacaan tembang-tembang Macapat dan doa bersama. Menginjak tengah malam para Abdi Dalem, prajurit Kraton Yogyakarta dan masyarakat akan mengitari area Keben-Ngabean-Pojok Beteng Kulon-Plengkung Gading-Pojok Beteng Wetan-Jalan Ibu Ruswo-Alun-Alun Utara-Keben sepanjang lima kilometer. 

Mubeng Beteng yang juga merupakan akulturasi dari ajaran Islam dan tradisi Jawa ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu dan sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari DIY. Wujud berkontemplasi di masa tahun yang baru dan bentuk keprihatinan di tahun sebelumnya menjadi esensi dari Lampah Budaya Tapa Bisu Mubeng Beteng agar menuju pribadi yang lebih baik. (*/rls/BPKSF)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved