Filsafat

Aliran-aliran Filsafat Islam Menurut Haidar Bagir

Filsafat Islam merupakan pemikiran kritis tentang alam semesta yang didasari oleh ajaran agama Islam baik Al Quran maupun hadits.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Ikrob Didik Irawan
zoom-inlihat foto Aliran-aliran Filsafat Islam Menurut Haidar Bagir
Pinterest
Aliran-aliran Filsafat Islam Menurut Haidar Bagir

TRIBUNJOGJA.COM - Filsafat Islam merupakan pemikiran kritis tentang alam semesta yang didasari oleh ajaran agama Islam baik Al Quran maupun hadits.

Meskipun begitu, filsafat Islam bisa disebut demikian bukan “sekadar” filsafat Muslim atau filsafat Arab karena sifat menentukannya ajaran Islam di dalamnya. 

Baca juga: 25 Kata Bijak Filsuf Nietzsche Soal Kehidupan yang Rumit

Menurut Haidar Bagir, ada sedikitnya lima aliran dalam filsafat Islam :

1. Teologi Dialektik (‘Ilm Al-Kalâm)

Aliran ini merupakan aliran paling awal dalam sejarah filsafat Islam.

Kerangka filosofinya masih sangat klasik dan sederhana.

Aliran ini menjadi pondasi awal berkembangnya berbagai aliran dalam filsafat Islam.

Teologi dialektik berangkat dari pemahaman baik dan buruk ini yang menyebabkan teologi Islam disebut sebagai bersifat dialektik yang dilandaskan pada kebenaran keagamaan. 

Misalnya, sudah menjadi kemestian bahwa Tuhan harus Mahakuasa. 

Dari sini dilakukanlah proses silogistik yang membawa kepada suatu kesimpulan mengenai kemestian keesaan Tuhan.

Baca juga: PROFIL Jean Paul Sartre, Filsuf yang Dikenal Mendewakan Kebebasan

2. Peripatetisme (Masysyâ’iyyah)

Istilah peripatetisme sendiri berasal dari sebuah kata Yunani (peripatos) yang berarti berjalan mondar-mandir (kata masysyâ’ìyyah adalah terjemahan bahasa Arab harfiah atas kata peripatos ini). 

Penggunaan istilah ini disebut kan sebagai merujuk kepada kebiasaan Plato untuk berjalan mondar-mandir konon dengan terus diikuti oleh para muridnya yang tekun mendengarkan ketika mengajarkan filsafat. 

Meski penamaan ini sama sekali tak menggambarkan ciri utama aliran ini, ia dengan jelas menunjukkan pengaruh utama filsafat Yunani atas peripatetisme Islam ini. 

Kenyataannya, meski banyak melakukan revisi dan bahkan inovasi-inovasi yang sama sekali belum dikenal sebelumnya dalam filsafat Yunani, peripatetisme Islam memang dibangun atas dasar Aristotelianisme dan (Neo)-Platonisme.

Salah satu ciri utama peripatetisme adalah epistemologinya yang berlandaskan pada metode logis Aristotelian, yang bersifat diskursif-demonstrasional. 

Dalam Peripatetisme, proses silogistik tersebut didasarkan atau dimulai dari premis premis yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tak perlu dipersoalkan lagi (primary truth). 

Dari sini kemudian dapat diperoleh kebenaran-kebenaran yang, pada gilirannya, akan menjadi premis-premis baru bagi proses silogistik selanjutnya.

3. Iluminisme (Isyrâqiyyah)

Gagasan tentang suatu iluminasi Ilahi dalam pikiran, yang merupakan inti aliran iluminisme telah berkembang dalam sejarah, baik dalam konteks filosofis maupun keagamaan.

Metode yang digunakan oleh Iluminisme dan Sufisme atau Teosofi (‘Irfân) adalah metode intuitif atau eksperiensial (berasal dari kata experience = pengalaman).

Prinsip dasar Iluminisme adalah bahwa mengetahui sesuatu adalah untuk memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas hakikat sesuatu. 

Bahwa pengetahuan eksperiensial tentang sesuatu dianalisis yakni, secara diskursif (logis) demonstrasional hanya setelah diraih secara total, intuitif, dan langsung (immediate). 

Para filosof Isyrâqiyyah berbicara tentang suatu kilatan mendadak pemahaman atau ilham dalam pikiran.

4. Sufisme/ Teosofi (Tasawwuf atau ‘Irfân)

Perbedaan Iluminisme dengan Sufisme dalam hal ini adalah ‘irfân (teosofi) antara lain adalah bahwa, meskipun sama-sama mengandalkan pada pengalaman langsung, Iluminisme tak seperti tasawuf (non-‘irfân) percaya pada kemungkinan pengungkapan pengalaman tersebut melalui bahasa-bahasa diskursif-logis. 

Dalam ‘irfân, yang ditekankan dan sekaligus yang membedakannya dengan tasawuf biasa yang tidak secara khusus membahas persoalan wujud qua (sebagai wujud) adalah prinsip kesatuan wujud segala sesuatu dan tingkatan-tingkatan (hierarki)-nya. 

Ontologi Iluminisme berlandaskan filsafat cahaya (nûr), yakni pengidentikkan wujud dengan cahaya, dan non wujud atau nirwujud dengan kegelapan. 

Di antara keduanya terdapat lapisan lapisan wujud antara cahaya dan kegelapan.

5. Filsafat Hikmah (Al-Hik mah Al-Muta‘âliyah)

Filsafat hikmah adalah suatu sistem filsafat yang koheren, meskipun menggabungkan berbagai mazhab filosofis sebelumnya.

Aliran filsafat yang dipopulerkan oleh Mulla Shadra memang berbagi keyakinan dengan mistisisme dalam hal penggunaan intuisi (dzauq) sebagai daya paling andal bahkan satu satunya daya untuk mencapai (kebenaran) ilmu pengetahuan. 

Akan tetapi, pada saat yang sama, aliran ini beranggapan bahwa kebenaran tersebut justru harus dapat diungkapkan dan diverifikasi kan lewat suatu perumusan secara diskursif demonstrasional. 

Mulla Shadra membangun mazhab baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum Muslim.

Dengan kata lain, filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan disajikan dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen rasional.

Filsafat hikmah lebih layak disebut sebagai filsafat Islam yang sesungguhnya.

Itulah lima aliran filsafat Islam yang populer di kalangan pegiat filsafat di dunia.

Dikutip dari buku “Buku Saku Filsafat Islam” karya Haidar Bagir

(MG Indah Yulia Agustina)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved