Sumbu Filosofi

Berkunjung ke Kampung Jogoyudan, Wilayah dengan Nilai Toleransi Tinggi Antar-warganya

Kampung Jogoyudan di Kota Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang berada di area Sumbu Filosofi.

Editor: ribut raharjo
Istimewa
Berkunjung ke Kampung Jogoyudan, Wilayah dengan Nilai Toleransi Tinggi Antar-warganya 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kampung Jogoyudan di Kota Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang berada di area Sumbu Filosofi.

Kampung yang secara administratif terletak di Kelurahan Gowongan, Kemantren Jetis ini salah satunya dikenal sebagai wilayah dengan nilai toleransi tinggi antar warganya.

Berada di pusat Kota Jogja, Kampung Jogoyudan dihuni oleh beragam warga dengan latar belakang etnis dan budaya yang berbeda.

Bermukim di wilayah itu nilai, toleransi dan saling menghargai sangat kental. Masyarakat hidup saling menghargai di antara perbedaan.

Ketua LPMK Kelurahan Gowongan Soeroto Kertosudiro menjelaskan, dulunya kampung itu lebih dikenal dengan nama Gondolayu Kidul.

Lokasi itu merupakan tempat pemakaman etnis Tionghoa, sehingga warga dan pemerintah berupaya untuk mengganti nama daerah tersebut.

"Menjadi Jogoyudan itu ada kaitannya dengan seorang pejabat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yakni Kiai Jogoyudo," jelas Soeroto.

Kiai Jogoyudo merupakan pejabat kerajaan yang diminta untuk mendiami wilayah tersebut dan melakukan pengamanan.

Ia merupakan seorang prajurit kerajaan, semacam prajurit komando khusus di militer saat ini. Nama Kampung Jogoyudan diambil dari namanya dan bertahan sampai sekarang.

"Sejarah tinggal Kiai Jogoyudo itu lah yang dipakai untuk nama kampung dan bertahan sampai sekarang," jelasnya.

Ada cerita unik yang menghiasi perjalanan dan nilai yang berkembang di masyarakat Kampung Jogoyudan.

Dulunya kampung ini didiami oleh banyak pendatang dari luar Yogya. Saking banyaknya, jumlahnya bahkan melebihi para warga asli.

"Ada kebiasaan yang baik di antara warga, yakni interaksi di antara mereka. Karena ada sesuatu di sana yakni batu yang dulu dipercaya bisa menyembuhkan atau sarana meditasi dan mediasi," kata Soeroto.

Batu itu sering digunakan untuk beraktivitas oleh warga. Lama-kelamaan interaksi antar-masyarakat terjalin dengan baik tanpa membedakan asal wilayah dan status etnis, mereka berbaur satu sama lain dengan nyaman serta nilai toleransi yang dijunjung tinggi.

Sejak era perjuangan kemerdekaan batu itu disebut dia sudah ada. Letaknya di Kali Code RW 10 Kampung Jogoyudan.

Pada saat pembangunan talut oleh pemerintah batu itu kemudian digunakan sebagai bahannya. Bentuknya seperti batu sungai biasa, tapi berukuran cukup besar.

"Di dalam sungai itu batunya. Ukurannya ya bisa dua sampai tiga meter kubik. Semacam batu sungai biasa berbentuk bulat, bisa dipakai untuk mencuci dan main sama warga saking besarnya," kata dia.

"Batu itu sekitar tahun 1995 masih ada tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Sering dipakai untuk main dan aktivitas. Kesan itu yang mendekatkan mereka dan jadi beragam," sambungnya.

Menurut Soeroto, ada sejumlah ikon yang tinggal di wilayah setempat.

Beberapa di antaranya yakni Hotel Tugu, kemudian perpustakaan zaman penjajahan yang terletak di selatan Tugu Golong Gilig.

Dulunya juga ada Kebon Ndalem yang dipergunakan untuk memelihara hewan.

"Kemudian ada Kebon Sari sebagai tempat berkebun dan tanaman bunga," ucapnya. (ord)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved