Pernikahan Kaesang dan Erina
APAKAH Pingitan Hanya Ada di Jawa? Ini 5 Suku yang Masih Menggunakan Tradisi Ini
Ternyata, pingitan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa lho, yuk simak warga mana saja yang masih melakukan tradisi pingitan. Yuk mari kita cari
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA.COM - Anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep akan menikahi kekasihnya, Erina Sofia Gudono, Sabtu (10/12/2022).
Sebelum pernikahan Kaesang dan Erina, mereka harus menjalani tradisi pingitan atau tidak bertemu satu sama lain.
Apa itu tradisi pingitan? Apakah hanya masyarakat Jawa saja yang menggunakan tradisi pingitan?
Mari kita simak artikel yang telah dirangkum Tribunjogja.com ini.
Ternyata, pingitan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Jawa lho, yuk simak warga mana saja yang masih melakukan tradisi pingitan.
Dalam tradisi Jawa, tata cara pingitan ini dilakukan oleh pengantin perempuan.
Selama menjalani proses pingatan, konon pengantin perempuan tak diperbolehkan keluar dari rumah atau bertemu orang lain sekalipun itu calon suaminya.
Masa pingitan ini disarankan agar calon pengantin bisa merawat diri sendiri, menghabiskan waktu dengan keluarga dan memperdalam ilmu agama sebagai bekal saat berumah tangga.

Makna pingitan dalam tradisi Jawa ini secara sederhana bertujuan agar kedua calon pengantin bisa lebih fokus dan mempersiapkan diri dalam menghadapi hari pernikahannya.
Selain itu, makna pingitan dalam Suku Jawa adalah untuk menjaga kepercayaan satu sama lain antara calon pengantin pria dan calon pengantin perempuan.
Di saat kedua calon pengantin tidak saling bertemu, tentu ada rasa khawatir yang menimbulkan keresahan.
Maka, inilah momen dimana kedua calon mempelai diuji untuk saling menumbuhkan rasa saling percaya.
Rupanya tradisi pingitan ini bukan hanya di Jawa loh, Tribunners. Ada beberapa daerah atau suku lain yang juga melakukan tradisi pingitan.
Yuk mari kita cari tahu daerah mana saja yang masih ada tradisi pingitan?
1. Suku Betawi
Dalam tradisi adat Suku Betawi, pingitan disebut dengan istilah Dipiare.
Seperti di Jawa, Dipiare dilakukan oleh orang-orang Suku Betawi terdahulu bisa berlangsung hingga sebulan lamanya.
Tapi seiring modernisasi, prosesinya dipersingkat dan sekarang hanya berlangsung selama sekitar 1-2 hari.
Saat Dipiare, pengantin akan dirawat penampilannya hingga ditatar untuk mengatur pola hidupnya agar saat hari H pernikahan bisa tampil sempurna.
Saat menjalani pingitan, pengantin perempuan disebut sebagai 'None Mantu’.
Selama menjalankan masa Dipiare, pengantin perempuan selalu diawasi oleh Tukang Piare.
None Mantu juga harus melakukan berbagai macam perawatan, dimulai dari diet, minum jamu, hingga lulur.
Beberapa pantangan harus dilakukan oleh None Mantu, seperti dilarang untuk berhubungan atau berkomunikasi dengan orang-orang luar, kecuali Tukang Piare dan keluarga terdekat.
Tak berbeda jauh dari makna pingitan di Jawa, makna Dipiare dalam Suku Betawi untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan memelihara kecantikan calon mempelai wanita dalam menghadapi hari pernikahan.
Baca juga: APA Itu Pemasangan Bleketepe dalam Pernikahan Kaesang dan Erina? Berikut Detail Lengkapnya
2. Buton, Sulawesi Tenggara
Di Buton, Sulawesi Tenggara ini ternyata ada tradisi pingitan sebagai rangkaian pernikahan.
Dalam tradisi Suku Buton pingitan dikenal dengan nama Posuo atau Bakurung.
Bakurung dilakukan sebagai penanda transisi bagi perempuan yang akan menjadi dewasa.
Tata cara pingitan Suku Buton ini dilakukan dalam tiga tahap di sebuah ruangan yang disebut Suo.
Tahap pertama dilaksanakan dengan pemberian asap kemenyan pada perempuan yang melakukan Bakurung.
Makna dari pemberian asap kemenyan ini adalah sebagai tanda dimulainya bakurung.
Tahap kedua dilaksanakan setelah lima hari, yaitu dengan melakukan perubahan penampilan serta arah tidur perempuan.
Makna dari perubahan penampilan dan arah tidur calon mempelai perempuan ini adalah menandakan bahwa adanya perubahan besar dalam kehidupan calon pengantin wanita.
Pengantin yang tadinya seorang perawan menjadi seorang istri setelah menikah.
Pada tahap ketiga yang dilaksanakan pada malam kedelapan, perempuan dimandikan dengan alat khusus bernama Wadah Bhosu dan selanjutnya didandani seperti perempuan dewasa.
Baca juga: Ikuti Tradisi Jawa, Kaesang dan Erina Dipingit, Apa itu Tradisi Pingitan? Begini Penjelasannya
Calon pengantin yang menjalani Posuo atau Bakurung ini akan diisolasi dan dijauhkan dari dunia luar.
Mereka juga tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain kecuali Bisha, yaitu seseorang yang ditunjuk untuk memberikan wejanagan untuk calon pengantin.
Biasanya, prosesi Posuo ini diakukan oleh mempelai perempuan yang dimandikan oleh kakak/ibu/tante yang dituakan.
Caranya dengan membasahi rambut dan kepala menggunakan sampo dari santan kelapa.
Prosesi ini bermakna para gadis yang membersihkan serta menyucikan diri.
Hal ini berpedoman pada salah satu syarat mandi wajib yang dilakukan dalam ajaran Islam.
Harapannya, para gadis yang mengikuti ritual posuo akan tetap dalam keadaan bersih dan suci saat dimasukkan maupun setelah dikeluarkan dari ruang kurungan.
3. Suku Muna, Sulawesi Tenggara
Hampir sama dengan Suku Buton, Suku Muna juga menjalani tradisi pingitan yang dikenal dengan nama Karia.
Karia dilakukan oleh Suku Muna tidak hanya untuk perempuan yang akan melangsungkan pernikahan saja, tetapi juga para perempuan yang tengah beranjak dewasa.
Untuk tata cara pingitan Suku Muna ini dilakukan sesuai dengan waktu yang disepakati oleh keluarga dan perempuan yang akan melakukan pingitan.
Umumnya pingitan Suku Muna memakan waktu selama sehari semalam hingga 4 hari 4 malam.
Biasanya selama masa Karia, perempuan yang akan menikah ditempatkan di satu ruangan tanpa penerangan atau perlengkapan tidur.
Selama masa Karia ini pula, mereka akan diberi wejangan atau petuah agar kehidupan di usia dewasa mereka dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitar, selalu berbuat baik, serta berbakti kepada orang tua.
Makna pingitan dalam Suku Muna ini diharapkan yaitu remaja perempuan yang menjelang dewasa tersebut dapat mengenali asal atau tempat awal hidup mereka (dari rahim ibu).
Selain itu juga agar mengenali tanggung jawab seorang perempuan sebagai istri sekaligus ibu yang berujung pada adanya sebuah pengenalan diri.
Baca juga: Lima Titik di Yogyakarta Jadi Prioritas Pengamanan saat Pernikahan Kaesang-Erina, Ini Daftarnya
4. Suku Sumbawa
Masyarakat Sumbawa percaya bahwa perempuan yang akan menikah juga harus dipingit. Rupanya para calon pengantin perempuan tak hanya dipingit mereka juga harus melakukan puasa.
Tata cara pingitan Suku Sumbawa mulai dilakukan dengan kedua calon pengantin tidak saling bertemu dan harus berpuasa.
Makna dari puasa untuk calon pengantin adalah untuk membersihkan diri dari dosa-dosa dan juga ditujukkan untuk menjaga berat badan serta kesehatan.
Namun, tidak ada jumlah hari yang jelas untuk melaksanakan puasa. Seperti yang dilansir Tribunjogja.com dari berbagai sumber, pingitan dalam tradisi Sumbawa ini dilaksanakan selama satu minggu.
Uniknya, pingitan ini para kedua calon tak diperbolehkan untuk mandi.
Makna dari prosesi ini agar hujan tidak turun saat acara pernikahan dilangsungkan.
5. Suku Banjar
Pingitan biasanya dilakukan sebelum pernikahan, rupanya ini tidak berlaku di Suku Banjar.
Menurut tradisi Banjar, prosesi pingitan atau yang dikenal sebagai prosesi Bapingit ini justru dilaksanakan setelah akad nikah.
Selama masa Bapingit, pengantin perempuan dilarang untuk bertemu dengan suaminya maupun pemuda lainnya.
Tata cara Bapingit dimulai dengan membaca Al-Quran hingga menamatkannya, memperdalam ilmu agama, serta diakhiri dengan membantu pernikahan orang lain.
Seperti di budaya lain, Bapingit ini juga bertujuan untuk mempercantik diri yang biasanya disebut sebagai bakasai.
Makna pingitan Bakasai ini bertujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya saat proses pernikahan berlangsung.
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )