G30S
Kisah Sukitman, Polisi Penemu Lubang Buaya Tempat Para Jenderal Korban G30S Disiksa
Nama Sukitman mungkin jarang disebut-sebut saat berbicara tentang tragedi Lubang Buaya. Dia tinggal di Lubang Buaya sampai dia ditemukan
Penulis: Bunga Kartikasari | Editor: Rina Eviana
TRIBUNJOGJA.COM - Nama Sukitman mungkin jarang disebut-sebut saat berbicara tentang tragedi Lubang Buaya.
Meski demikian, agen polisi tingkat II itu turut menjadi salah satu saksi sejarah bagaimana para jenderal korban G30S harus bernasib tragis.
Di tahun 1965, pada 1 Oktober pukul 03.00 WIB, Sukitman dan rekannya, Sutarso sedang berjaga dan melakukan patroli.
Saat itu, dia dan rekan sedang bertugas di Kebayoran Baru yang berlokasi di Wisma AURI, Jakarta.
Naluri mendorongnya menuju sumber gaduh menggunakan sepeda kumbang sambil menenteng senjata.
Tak sempat mengetahui musababnya, teriakan datang dari tentara berseragam loreng dengan baret merah, "Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"
Sukitman turun dari sepeda dan melempar senjatanya. Tangannya diikat dan matanya kemudian ditutup kain merah.
Kronologi ini juga tertuang dalam buku Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagined Evil karya Saskia Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana terbitan Routledge tahun 2019.
Sukitman pun dibawa ke lapangan pelatihan terdekat, di mana dia melihat bagaimana tiga jenderal yang belum mati dibunuh dan mayat mereka semua dibuang ke dalam sumur.
Dia tinggal di Lubang Buaya sampai dia ditemukan di sebuah truk 'dalam keadaan bingung' pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 oleh tentara Resiman Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Pada 2 Oktober 1965, ia dibawa ke hadapan Panglima RPKAD, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan berhasil menggambar peta yang menunjukkan lokasi sumur.
Atas dasar informasi itu, sumur itu ditemukan dan mayat-mayat itu digali secara terbuka keesokan harinya.
Penggalian dilakukan oleh pasukan Letda Sintong Panjaitan yang kala itu menjabat Komandan Peleton 1/A Kompi Tanjung.
Tentunya suasana Desa Lubang Buaya pada 1965 tak seramai seperti sekarang. Saat itu wilayah di timur Jakarta ini masih sepi dan masih berupa kebun dan hutan, termasuk hutan karet.
Di Desa Lubang Buaya hanya terdapat 13 rumah yang terpencar jauh satu sama lain.
Satu kawasan hanya dihuni tiga rumah dan satu sumur.
Baca juga: Profil Ade Irma Suryani, Putri Jenderal AH Nasution yang Tertembak Dalam Peristiwa G30S
Kondisi itulah dimanfaatkan para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menjadikan basis berkumpul serta mengusir warga.
Tak mudah bagi pasukan RPKAD menemukan titik lokasi tempat penyekapan, penyiksaan, dan pembunuhan para jenderal itu. Lebih-lebih, Sukitman tak tahu persis tempatnya.
Dibantu warga, pasukan Sintong menyisir seluruh tempat yang ada.
Beberapa kali mereka menemukan gundukan tanah yang diduga sebagai timbunan baru, tapi gagal.
Baru setelah itu ada seorang warga menunjukkan tempat lain di bawah pohon pisang, berupa sumur tua yang sudah ditimbun dan disamarkan.
Ia pun meminta semua personel Peleton 1 Kompi Tanjung terus menggali lubang secara bergantian dengan warga.
Ditemukan timbunan dedaunan segar, batang pohon pisang dan pohon lainnya.
Mereka semakin yakin lubang itu adalah lubang jenazah para jenderal ditimbun karena menemukan potongan kain yang biasa digunakan sebagai tanda oleh pasukan Batalion Infanteri 454/Banteng Raider dari Jawa Tengah dan Batalion Infanteri 530/Raiders dari Jawa Timur.
Baru di kedalaman 8 meter tercium bau busuk.
Malam semakin larut, seorang personel RPKAD berteriak ketika menemukan kaki yang tersembul ke atas dari dalam timbunan.
Sintong meminta penggalian terus dilakukan hingga jenazah para jenderal terlihat agak jelas di kedalaman 12 meter.
Versi sedikit berbeda diutarakan mantan Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa, Kolonel CPM Maulwi Saelan seperti dikutip dari bukunya berjudul Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Presiden (2014).
Pada 1 Oktober 1965 siang, pasukan patroli Resimen Tjakrabirawa yang tengah mengontrol perumahan perwira di Pasar Rebo menemukan Agen Polisi Dua Sukitman di depan kantor PENAS, Bypass, Jakarta Timur.
Sukitman, yang terlihat kebingungan, lalu dibawa ke Markas Tjakrabirawa untuk dimintai keterangan.
Baca juga: Mengenang Kembali 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur Dalam Gerakan 30 September 1965
Keesokan harinya, 2 Oktober 1965, Sukitman diserahkan ke Kodam V Jaya, yang saat itu dipimpin oleh Brigjen Umar Wirahadikusuma.
Lalu Sukitman kembali dibawa ke Mako Kostrad di Gambir, Jakarta Pusat.
Pada 3 Oktober 1965, Maulwi melaporkan perkembangan, termasuk penemuan agen polisi itu kepada Presiden Sukarno.
Maulwi juga ditugasi Sukarno mengawal pencarian para jenderal.
Ia ditemani Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT (Pasukan Gerak Tjepat) Poniran dan Kolonel Penerbang Tjokro melakukan pencarian ke lokasi seperti diceritakan Sukitman.
Saat mereka menemukan sebuah rumah, tiba-tiba pasukan RPKAD yang dipimpin Mayor CI Santoso datang dengan membawa Sukitman sebagai penunjuk jalan.
Tim Maulwi dan Santoro bernegosiasi dan akhirnya melakukan upaya pencarian dan menggali sumur tua tersebut.
Sumur tua berdiameter 75 cm dengan kedalaman lebih dari 12 meter menyulitkan evakuasi jenazah.
Pada 4 Oktober 1965, Soeharto meminta bantuan kepada Komandan Korps Komando Angkatan Laut (KKO) Brigjen Hartono untuk meminjam peralatan dan tim penyelam dari Kompi Intai Para Amfibi (Kipam) ke Lubang Buaya.
Tim terdiri atas sembilan penyelam, di antaranya Letnan Satu (Lettu) Mispam Sutanto, Pembantu Letnan Satu (Peltu) Kandouw, Peltu Sugimin, serta dua dokter dr Kho Tjio Ling dan drg Sumarno.
Selain polisi Sukitman yang kebingungan, ada orang lain yang hadir di Lubang Buaya, yakni sekitar 60 gadis kebanyakan anggota PR dan beberapa anggota biasa Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Di tengah malam mereka dibangunkan oleh kebisingan yang dibuat oleh komplotan, menyaksikan pemukulan dan penembakan ketiga jenderal yang masih hidup, tapi tubuhnya dibuang begitu saja.
Sebagian besar dari mereka melarikan diri dari lokasi lantaran dilanda kepanikan.
Mereka lari ke rumah mereka atau ke markas Gerwani, tempat Sulami dan Sudjinah, pengurus Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerwani biasa tidur.
Ada yang bertahan sampai 2 Oktober 1965 ketika mereka ditemui oleh tentara RPKAD untuk memeriksa informasi yang diberikan Sukitman.
Sukitman meninggal dunia 13 Agustus 2007 di usia 64 tahun. Pria kelahiran 30 Maret 1943 itu akhirnya mendapatkan kenaikan pangkat dari Ajun Komisaris Polisi (AKP) menjadi Ajun Komisaris Besar Pollisi (AKBP)
( Tribunjogja.com / Bunga Kartikasari )