Berita Magelang Hari Ini
Sekitar 20 Warga Wayuhrejo Terdampak Perluasan TPA Pasuruhan, Kadus: Sudah Dilakukan Sosialisasi
Pemkab Magelang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memberanikan diri untuk membeli lahan milik warga untuk perluasan TPA Pasuruhan
Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Muhammad Fatoni
Laporan Reporter Tribun Jogja, Nanda Sagita Ginting
TRIBUNOGJA.COM, MAGELANG - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Magelang berencana melakukan perluasan pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Pasuruhan seluas sekitar 2,1 hektare.
Kepala Dusun Wayuhrejo, Pragen, Pasuruhan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Ismawan, mengatakan setidaknya ada 20 warganya yang lahannya terdampak proyek perluasan TPA Pasuruhan tersebut.
"Sekitar 20-an orang kalau dari Dusun Wayuhrejo. Karena, itu kan beberapa juga ada yang terkena tanahnya dari Desa Deyangan, sekitar 8 orang mungkin," ujarnya saat ditemui di kantornya pada Kamis (30/06/2022).
Menurutnya, tujuan dari perluasan itu adalah sebagai langkah penyelematan kepada warga, terutama mereka yang terdampak langsung dari over kapasitas yang terjadi di TPA Pasuruhan.
Sehingga, Pemkab Magelang melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memberanikan diri untuk membeli lahan milik warga.
"Jadi, pemerintah mengambil langkah dengan membeli lahan yang berbatasan langsung dengan TPA Pasuruhan, kalau tidak salah dibutuhkan sekitar 2 hektare-an, karena kan (rencananya) akan mendatangkan mesin pengolah sampah itu butuh lahan. Jadi, itu harus menambah lahan,"terangnya.
Ia menambahkan, rencana perluasan pun sudah disosialisasikan kepada warga Wayuhrejo yang lahannya terkena proyek tersebut.
Warga yang lahannya terdampak perluasan TPA Pasuruhan pun sudah dipanggil secara langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Magelang.
"Jadi, mereka yang terdampak langsung sudah dipanggil oleh DLH, sosialisasi masalah dampak dan juga perluasan,"ucapnya.
Ia menuturkan, sejauh ini khususnya warga Wayuhrejo yang lahannya terkena proyek perluasan tidak ada yang keberatan atau menolak.
"Belum, ada yang menolak. Maksudnya, karena kan posisi itu (lahan) mau dibeli. Tapi, memang belum ada kesepakatan mau dilepas dengan harga berapa, karena baru tahap sosialisasi mau dibeli atau tidak, ternyata mereka (warga yang lahannya terkena proyek perluasan) menyatakan boleh,"jelasnya.
Sementara itu, terkait penetapan harga lahan yang terdampak, Ismawan mengatakan masih menunggu tim appraisal untuk meninjau.
"Untuk harga belum ditentukan, masih menunggu tim apresial yang menaksir harga itu kan. Jadi kesepakatan harga belum ada masih menunggu tim itu. Nanti kan dilihat juga, karena rata-rata lahan terdampak merupakan area pertanian dan perkebunan tempat warga bekerja," tuturnya.
Terpisah, Mahbub (45), seorang warga Wahyurejo yang lahannya terkena proyek perluasan TPA Pasuruhan mengatakan tidak keberatan soal lahannya yang akan dibeli untuk perluasan TPA.
Asalkan, memang diperuntukkan mengatasi polemik sampah yang tak kunjung usai.
"Lahan saya yang terkena itu, sekitar 1000 meter persegi, itu lahan pertanian. Ini kan sampah di Kabupaten tidak ada solusinya. Kalau kita bersikeras, tidak mengalah tidak ada solusinya. Saya sebagai warga, dan teman disini serta pak Kadus sudah setujulah ,kalau itu benar-benar diperuntukkan sebagai pengelolaan sampah, ya mari kami tinggal ikuti jalannya ,"ucapnya.
Namun memang harus ada pertimbangan soal harga lahan yang akan dibeli.
Pasalnya, sebagian besar lahan yang terkena proyek perluasan TPA Pasuruhan merupakan area pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber mata pencaharian warga.
Ditambah, lahan tersebut merupakan harta warisan yang sudah diturunkan secara turun temurun.
"Ya, kalau kami berharap harganya bisa di atas standar atau tukar tanah malah lebih baik lagi, karena kami bukan ingin menjual tanah. Apalagi, itu sumber mata pencaharian kami. Kebetulan itu lahan milik keluarga, jadi itu yang punya (lahan) satu garis keturunan memang harta warisan, sebetulnya agak berat tapi kami wes ngalah agar ada solusinya,"ujarnya.
Mahbub pun bercerita sebenarnya dampak dari over capacity di TPA Pasuruhan sudah dirasakannya sejak tahun 2000-an.
Di antaranya, aroma tidak sedap yang dapat mengganggu pernapasan.
Serta air lindi dari sampah juga merusak tanaman pertanian milik warga.
"Ya, kalau kami bisa segera lah dilakukan untuk mengatasi sampah," urainya. (*)