Berita Jogja Hari Ini
Jatuh Bangun Transpuan Yogyakarta Membuka Identitas Gender Saat Berekspresi
Sudah dua dekade lebih, transpuan berusia 47 tahun itu menggantungkan hidupnya dengan mengamen
Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: Ikrob Didik Irawan
Hidup sebagai waria, transpuan masih dimarginalkan. Akses pekerjaan sangat diskriminatif. Paling banyak sebatas menjadi pengamen dan pekerja seks yang rentan diusik aparat. Saat mengeskpresikan diri sebagai seniman dan penulis, transpuan pun masih tak aman dari perundungan, diskriminasi, dan pelecehan oleh publik. Tak sedikit yang berjuang tetap eksis, meskipuntetap membuka identitas diri sebagai transpuan.
Liputan yang ditulis jurnalis Tribun Jogja, Yuwantoro Winduajie ini bagian dari program workshop dan fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.
Aku sudah dandan cantik... Sudah mirip Dewi Persik... Tapi mengapa sikapmu, masih takut kepadaku..
Petikan syair lagu berjudul “Dandan Ambyar” ciptaan Gendru Nugroho itu dinyanyikan Wik Wik Ambyar dengan kenes ketika mengamen di tengah hiruk pikuk kawasan Malioboro,Yogyakarta, Kamis (2/6/2022) malam. Seperti syairnya, transpuan itu mengenakan wig pirang yang lurus dan panjang terurai.
Bulu matanya tak pernah absen dibuat lentik. Ujung kepalanya ditutup topi bucket putih yang tampak kontras dengan setelan hitam dan sneakers kuning yang dikenakan. Bahu kanannya berselempang bas betot yang dibuat ala kadarnya. Tangan kirinya menggenggam kecrekan dari kayu dan setangkup logam.
“Ini senjataku untuk menghibur,” kata Wik Wik Ambyar sambil menunjuk kedua alat musiknya kepada Tribun Jogja yang menemui malam itu.
Sudah dua dekade lebih, transpuan berusia 47 tahun itu menggantungkan hidupnya dengan mengamen. Ia biasa menyusuri kawasan Malioboro sekitar pukul 21.00 WIB hingga tengah malam. Berdandan maksimal dengan membawakan syair lagu jenaka yang mengundang gelak tawa adalah ciri khas pemilik nama Ike Irinda.
Nama panggung Wik Wik Ambyar menjadi tenar berkat ulah seorang netizen yang tidak ia kenal, mengunggah video ngamennya ke jagat maya pada 2018. Cuplikan video itu berujung viral di YouTube. Banyak orang yang mencari keberadaannya. Wisatawan yang melintas pun mengajak foto bareng.
Di luar kesibukan mengamen, Ike kerap diundang tampil ke berbagai acara, baik di wilayah DIY maupun luar daerah. Tawaran endorse atau jasa promosi di media sosial pribadinya juga terus berdatangan.
Sejumlah artis ternama, seperti Charlie Van Houten, Ageng Kiwi, Tiara Marleen, dan Tri Suaka pun pernah mengajaknya berkolaborasi membuat konten di media sosial.Transpuan asal Surakarta itu menganggapnya sebagai berkah.
Ike, Diana, Tiara, Perjuangan Si Trio Badak

Namanya yang kian melejit tak membuat Ike Irianda melupakan dua rekan transpuannya, Diana Mariska (48) dan Mutiara Anzella (35)yang bergabung bersama dalam Trio Badak.
Kata “badak” dalam grup vokal waria yang dibentuk pada 2012 itu bukanlah sebutan untuk hewan bercula, melainkan singkatan dari “banci mendadak”.
Meskipun pembentukannya berawal dari kegemaran mereka bertiga menonton konser dangdut di daerah sejak belasan tahun lalu, nama “Trio Badak” muncul mendadak.
“Waktu ada acara,kami diajaknyanyi di panggung. Waktu ditanyain namanya apa, kami bilang Trio Badak. Ya sudah berlanjut sampai sekarang,” kenang Diana saat ditemui Tribun Jogja di sebuah kafe di Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Selasa (7/6/2022) malam.
Sejak itu, berbagai macam undangan pentas sudah disambangi. Mulai dari acara khitanan, hajatan, hingga pesta ulang tahun. Dan sempat vakum beberapa tahun karena fokus bersolo karier.
Malam itu, ketiganya berdandan dan kompak berpakaian serba merah yang tampak serasi. Mereka memesan lagu di kafe yang menyediakan panggung kecil untuk bernyanyi.
"Mbak, aku request Goyang Heboh ya," kata Ike kepada seorang pelayan kafe. Lagu yang dimaksud dipopulerkan pedangdut Nita Thalia.
Beberapa pengunjung yang mengenalnyamenyapa hangat saat ketiganya berjoget penuh energi. Setidaknya dapat mengobati kerinduan mereka untuk manggung. Mengingat undangan manggung Trio Badak tak selalu datang saban hari.
"Kemarin Trio Badak aku bawa tampil ke Malang. Aku sendiri memang ada panggilan event di Malang. Tapi aku usulin ke panitia agar pakai trio. Pokoknya kalau ada event-event, aku usulkan ke panitia mau pakai trio. Kalau panitia oke, mereka ini aku bawa," jelas Ike.
Tak menutup kemungkinan nama Trio Badak menjadi tenar sejalan naik daunnya nama Wik Wik Ambyar. Apalagi dalam waktu dekat, Trio Badak akan merilis dua buah single lagu.
Salah satu judul lagu yang dibocorkan Ike berjudul “Jangan Ganggu” yang pernah diciptakan penulis lagu asal Yogyakarta,almarhum Pras Virgo. Syair lagu itu dinilai Ike sangat mewakili diri mereka karena mengisahkan soal perjalanan hidup transpuan.
"Lagunya ya perjalanan hidup seorang yang begini (transpuan)," kata Ike.
Sepanjang bersolo karir sebagai Wik Wik Ambyar, Ike pun sudah merilis lagu berjudul Dandan Ambyar dan Jangan Geli ciptaan Gendru Nugraha.
Salah satu karya Gendru yang cukup populer adalah Ati Dudu Wesi yang pernah dibawakan sejumlah penyanyi ternama mulai dari Yeni Inka, Didi Kempot, dan Happy Asmara.
"Saya dibantukarenasesamaseniman, sayaberterimakasihsekalikepadamereka. Lagunyaakubawainwaktu pentas, ngamen, atausama trio," terang Ike.
Jessica, Amuba ‘Membelah’ menjadi Penulis

Di Kota Yogyakarta, transpuan muda berusia 29 tahun, Jessica Ayudya Lesmana dikenal aktif menulis dan berkesenian.Hampir enam bulan ini, Jessica juga bekerja di organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pengarsipan seni visual, Visual Art Archive (IVAA) di Mergangsan, Yogyakarta.
Saat ini, Jessica berfokus mengembangkan bakatnya dalam menulis. Pada 2020, dia mulai aktif menjadi kontributor di media online yang mengusung perspektif perempuan dan minoritas, Konde.co.
Ada 30 artikelnya sudah diterbitkan. Rencananya, kumpulan tulisan itu akan dibukukan. Selain itu, dia juga menulis cerpen, puisi, dan beragam isu ketubuhan.
“Itu kan previlege yang kudapat untuk karir penulisan aku,” terang Jessicasaat ditemui Tribun Jogja di tempat kerjanya,Jumat (27/5/2022).
Tulisan-tulisannya mengerucut pada isu minoritas seperti perempuan, transgender, hingga seksualitas. Salah satu esai yang dibuatnya menyinggung kondisi transpuan yang terus mengalami praktik diskriminasi.
Kehidupan mereka tersingkirkan, termasuk ketika mencari pekerjaan formal. Imbasnya, pekerjaan wariapun identik hanya sebagai pengamen dan pekerja seks.
Dia juga pernah merangkum kata-kata umpatan yang kerap dilontarkan sebagian masyarakat kepada transpuan. Praktik perisakan memang masih akrab dialami transpuan yang tak disadari juga berdampak pada kesehatan mental mereka.
“Dengan nulis ada harapan untuk membangun empati dan kesadaran masyarakat soal kondisi transpuan. Karena mereka mengalami penindasan berlapis, dijadikan bahan tertawaan, dan olok-olokan,” terang Jessica yang tampil feminin dengan kaos tanpa lengan.
IVAA juga menyediakan ruang baginya untuk menulis. Dia memanfaatkan kesempatan itu untuk mengarsipkan upaya pertahanan hidup kelompok transpuan di Yogyakarta melalui karya tulis.
Satu di antaranya ialah Mami Tata, transpuan separuh baya yang memiliki empat anak asuh. Juga Rully Mallay sebagai figur yang aktif memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar bagi transpuan.
Jessica menggambarkan pula strategi transpuan untuk bertahan hidup di tengah tekanan sosial dan stigma buruk yang menyertai.
"Aku menulis dari segudang pengalaman dan pengetahuanku dari membaca banyak referensi. Transgender juga berhak menulis," tutur dia.
Sebelum menulis, Jessica pernah aktif berkesenian dengan membuat karya instalasi dan melakukan seni pertunjukan. Perjalanan berkeseniannya diawali saat dia bergabung menjadi anggota grup vokal Amuba yang dibentuk pada 2018. Seluruh personilnya adalah transpuan.
Media internasional, Vice Asia yang meliput langsung pada 2019 melabelinya sebagai vokal grup waria pertama di Indonesia.
Dari situ, namanya mulai dikenal, baik dari pemberitaan media dan konser-konser yang dijalani. Jessica berkesempatan untuk terus memperluas pergaulan dan menjalin komunikasi dengan orang di luar komunitasnya, termasuk dengan kurator dan para seniman.
Dua tahun kemudian, dia mengumumkan penguduran diri dari Amuba.
"Aku ingin mengembangkan diri lebih dalam ke kepenulisan yang butuh konsentrasi banyak banget,” kata penghobi semua jenis keseniansejak kecil itu.
Pada 2021, Jessica menjadi aktor transgender dalam Bangkok International Performing Art Meeting. Pertunjukan itu terpaksa digelar secara daring akibat pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda. Meski begitu, Jessica mengaku sangat menikmati proses yang dia jalani.
"(Project) Itu juga akan berlanjut, tapi masih dipikirin temanya apa untuk sekuelnya," jelas Jessica.
Pada tahun yang sama, Jessica juga terlibat dalam Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Dia membuat karya instalasi dengan metode montase. Metode itu membuat karya seni tempel dengan mengkombinasikan gambar-gambar dari berbagai sumber untuk menjadi susunan karya seni baru.
Jessica memaknai montase merupakan upaya adaptasi kelompok transgender di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam proses penyesuaian itu, transpuan juga kerap mengalami diskriminasi, perisakan, dan ketidakadilan.
"Jadi minoritas juga nggak salah kok, nggaksemuaharusngikutinmayoritas. Yang pentingadanilai-nilaikemanusiaan yang diusung," papar Jessica.
Tamarra, Bertahan di Jalur Seni

Seniman Tamarra saat ditemui di kediamannya di Kapanewon Purwomartani, Kabupaten Sleman, Rabu (1/6/2022). Foto Yuwantoro Winduajie/Tribun Jogja
Tamarra tengah sibuk menggarap karya seni instalasi terbarunya saat ditemui Tribun Jogja di kediamannya yang juga difungsikan untuk tempat workshop di Kapanewon Purwomartani, Kabupaten Sleman, Rabu (1/6/2022).
Bentuknya serupa baju dengan bahan material seadanya.Transpuan berusia 32 tahun itu enggan mengungkapkan makna dibalik penciptaan karya seninya karena belum dipamerkan kepada publik.
"Itu pakai material yang ada di rumah. Untuk pameran di ArtJog bulan Juli," ungkap Tamarra.
Sembari membuat karya instalasi, Tamarra sesekali mengintip layar laptop di atas meja. Rupanya, mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Angkatan 2018 di Universitas Sanata Dharma itu juga disibukkan mengikuti kuliah daring.
"Kayaknya tahun depan aku off (berhenti berkesenian) dulu deh. Fokus skripsi," terang Tamarra sambil memantengi layar laptop.
Transpuan asal Tasikmalaya, Jawa Barat itu memutuskan pindah ke Yogyakarta pada 2008. Setelah belasan tahun menetap di Yogyakarta, sosok Tamarra dikenal sebagai seniman multidisiplin.
Dia kerap menciptakan karya seni instalasi di berbagai galeri seni dan melakukan pertunjukan performatif.
Ketenaran Tamarra sebagai seniman tak ujug-ujug datang. Dia belajar dan memahami proses kreatif seniman secara otodidak dalam waktu yang tak singkat. Ketertarikannya terhadap dunia seni berawal ketika Tamarra bertemu sekelompok seniman yang menggagas Makcik Project pada 2012. Komunitas waria juga dilibatkan di dalamnya.
Proyek yang berlangsung lebih dari dua tahun itu menjembatani dirinya untuk bertemu dengan banyak seniman, kurator, maupun akademisi. Tamarra berkesempatan mengunjungi studio-studio seni di wilayah selatan Yogyakarta. Hasilnya antara lain berupa seni pertunjukan, lukisan, juga instalasi.
"Awalnya kan hanya ngenyek(mengejek), apaan sih ini? Karena nggak tahu apa-apa,” kenang Tamarra yang dulu dikenal dengan nama Tamara Pertamina.
Sejak saat itu, Tamarra bertekad mengubah jalan hidupnya dari seorang pengamen dan pekerja seks menjadi seorang seniman.
Penampilan pertama Tamarra adalah sebuah pertunjukan seni yang sebenarnya tak ia pahami. Pertunjukan yang berlangsung di sebelah Gedung Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 2013 itu untuk merespons penebangan pohon di lingkungan kampus.
"Di situ nggak ngerti performance art itu apa karena aku cuma ikut-ikutan. Setelah dijalani, oh menarik juga ya ternyata," imbuh Tamarra.
Dia kian aktif berkesenian. Karya-karya Tamarra kebanyakan berbicara tentang kemanusiaan, gender, seksualitas, hingga sejarah keberadaan transgender di Indonesia.
Sekitar tahun 2013, Tamarra menginisiasi proyek berjudul “We Are Human” yang melibatkan komunitas anak jalanan dan waria ke dalam serangkaian kegiatan seperti workshop pengembangan diri hingga pertunjukkan.
Masih dalam rangkaian proyek tersebut, pada 2018 Tamarra meluncurkan grup vokal waria Amuba. Dia dan Jessica menjadi salah satu personilnya.
Akhir September mendatang, Tamarra akan terbang ke Turki untuk mengikuti biennale di negara Eurasia tersebut. Dia datang bersama sejumlah pelaku seni yang tergabung dalam Hyphen. Project kolektif itu digagas sejumlah seniman pada 2011 lalu.
Diolok-olok, Dilempar Sandal hingga Dilecehkan secara Seksual
Perjalanan Trio Badak tak sepenuhnya mulus. Saat tampil, Ike Irianda, Diana Mariska, dan Mutiara Anzellapernah mengalami perundungan dari penonton.
"Kami dibalangi (dilempari) macem-macem. Botol plastik, sandal, wadah botol kosong, semuanya yang ada. Meskipun ada omong-omongan dan perlakuan itu, kami cuek aja gitu," kenang Diana mengisahkan penampilan awal mereka di Kulon Progo.
Setelah punya jam terbang pun, celetukan kata “bencong” dan “banci” masih terdengar dari arah penonton. Dua kata itu kerap jadi bahan untuk mengolok-olok waria.
"Ada yang bisik-bisik eh bencong, teriak-teriak terus kabur," imbuh Tiara.
Perlakuan serupa juga dialami saat mereka menyambung hidup dengan mengamen di jalanan sebelum Trio Badak lahir. Diana dan Tiara biasa ikut Mami Ike – panggilan akrab keduanya untuk Ike Irianda – untukmengamen di kereta api pada tahun 2000.
Mereka menumpang kereta Fajar Utama dari Stasiun Wates yang menghubungkan Yogyakarta ke Stasiun Pasar Senen di Jakarta.
"Ya sebetulnya kamimlethek (terbit)-nya karena ngamen. Kami ikut ngamen sama dia (Mami Ike). Kami pernah sampai ketiduran terus ditinggal (di kereta api oleh Mami Ike), kayak orang hilang," kenang Diana.
"Padahal aku ora sangu blas (tidak bawa uang) ke Jakarta," sambung Tiara sambil tertawa mengenang momen itu.
Mengamen di kereta api tak hanya menghadapi cacian petugas, tetapi juga harus bertaruh nyawa. Tak jarang pengamen harus terjun dari kereta api yang melaju kencang agar tak diciduk petugas. Meski begitu, ketiganya merasa beruntung karena belum satupun dari mereka yang pernah ditangkap.
"Kereta mulai jalan,kami lari buat ngejar. Kereta belum berhenti,kami loncat hindarin petugas," ucap Diana.
Pada tahun 2015, mereka terpaksa pindah lokasi mengamen karena PT Kereta Api Indonesia melarang keberadaan pengamen, pengemis, maupun pedagang asongan di lingkungan kereta api. Ike memilih mengamen di kawasan Malioboro dan dua rekannya bergeser ke Alun-Alun Wates.
Waktu terus bergulir, Diana dan Tiara mulai meninggalkan pekerjaannya sebagai pengamen sejak pemerintah intensif mengimplementasikan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 1/2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis.Waria yang mengamen juga ikut kena imbas.
Sementara perundungan yang dialami Jessica berlangsung sejak di bawah umur. Sedari usia tiga tahun, Jessica merasa dirinya bukanlah laki-laki. Saat yang sama, dia juga tak pernah bisa benar-benar menjadi perempuan.
"Aku nggak mau dipakaiin baju laki-laki. Waktu TK kan pakai pecis, itu aku nggak mau, aku lempar. Dan aku merasa identitasku bukan ini," terang Jessica.
Namun upaya menampilkan secara jujur identitas gender yang dipilih membuat Jessica diusir orang tuanya pada usia 13 tahun. Dia kemudian diasuh neneknya di Semarang, Jawa Tengah hingga lulus dari bangku SMA.
Setelah beberapa tahun bekerja di tanah kelahirannya, Jessica mengadu nasib ke Yogyakarta pada tahun 2012. Alasannya sederhana, dia terbuai dengan semboyan “Jogja Berhati Nyaman”. Dia yakin tempat itu akan membuatnya berkembang.
Tiba di sana, Jessica sempat menjadi pekerja seks karena akses pekerjaan terhadap transpuan amatlah terbatas. Meski dianggap rendah oleh masyarakat, bagi Jessica, pekerja seks tetaplah manusia dan warga negara yang berhak mendapat perlindungan dan kesejahteraan. Pekerjaan itu juga menawarkan kesetaraan.
“Pelacur mampu memperlakukan tamu mereka setara, baik dari kalangan pejabat sampai tukang becak, hitam-putih warna kulit. Secara moralitas, mereka bisa memperlakukan manusia sebagaimana adanya,” kata Jessica.
Saat berkecimpung di dunia seni pun, perundungan itu masih mengusiknya. Jessica mengalami pelecehan seksual saat Amuba tampil dalam acara musik underground di Jakarta.
Malam itu, Amuba pentas di urutan paling akhir. Penonton yang mayoritas laki-laki tiba-tiba menginvasi panggung saat keempat personilnya tampil.
Jessica sempat diraba anggota tubuhnya oleh beberapa penonton di sana. Salah satu alasan itu yang menguatkan Jessica hengkang dari grup musik yang ditekuninya selama dua tahun, lalu berfokus sebagai penulis.
Meski menjadi penulis, Jessica tetap eksis di dunia seni. Dia berpartisipasi dalam beberapa pameran dan proyek kolaborasi dengan sejumlah seniman lokal maupun internasional.Prosesnya tak mudah. Jessica sempat merasa diremehkan karena tak memiliki latar belakang pendidikan seni sebagaimana mayoritas pelaku seni lainnya.
"Seniman, kurator, atau orang-orang yang berkegiatan seni kan banyak banget. Lalu tiba-tiba ada waria. Itu kan mulainya nggak dari nol lagi, tapi minus," ucap Jessica.
Tetap Bertahan dengan Identitas Transpuan
Sebagai transpuan, Ike Irianda sangat menikmati kehidupannya menjadi pengamen dan penyanyi. Dia tak menampik masih menemui perlakuan tak mengenakkan yang menyasar waria. Namun dengan konsisten berkesenian, Ike meyakini, masyarakat akan pelan-pelan menerima. Harapannya kelak, dia bisa bebas mengekspresikan diri sebagai seorang waria.
“Bahkan kalau pentas sekarang kayak artis besar, dielu-elukan. Aku memang punya jiwa perempuan, nggak mau terikat dan dikurung-kurung,” kata Ike.
Dengan konsisten berkesenian, tak hanya memperluas ruang penerimaan, transpuan juga bisa berkontribusi untuk masyarakat luas.Ike mencontohkan, dia bersama sejumlah seniman lain pernah berpartisipasi dalam konser penggalangan dana merespons bencana kekeringan di Kulon Progo serta pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu.
“Dulu bisa bagi-bagi 1.500 masker untuk orang dijalanan. Aku bersyukur sekali waktu pandemi tetap dapat job lewat endorse. Kalau ada kelebihan, aku biasa berbagi dengan yang butuh,” ujar Ike.
Ike pun yang tak ingin meninggalkan pekerjaannya sebagai pengamen.
"Saya masih tetap ngamen karena saya dibesarkan dengan ngamen. Saya juga nggak mau ninggalin nama saya yang dikenal dari ngamen," tegas Ike.
Sementara perilaku diskriminatif dan perundungan yang pernah dialami, diyakini Diana karena masyarakat belum bisa menerima ekspresi seni dari transpuan. Meski sakit hati, Diana bertekad untuk tetap berkesenian tanpa meninggalkan identitas gender yang dipilihnya.
“Siapa yang nggak sakit kalau digituin (dirundung). Tapi kami memang kayak begini. Meskipun mereka sampai ngelempar pakai botol, nyatanya setelah kami sabar-sabar, lambat laun mereka juga bisa menerima,” sambung Diana.
Dia berharap kelahiran Trio Badak bisa menjadikannya seorang bintang besar. Lantaran panggung hiburan tak hanya dimiliki perempuan dan laki-laki saja.
Pilihan Diana terjun di dunia seni terinspirasi jejak duo pesinden transpuan, Mimin dan Apri. Dulu keduanya biasa pentas bersama dalang kondang asal Yogyakarta, almarhum Ki Seno Nugroho.
Sedangkan bagi Tiara, tampil di atas panggung bukanlah sebatas hiburan. Melainkan jadi wadah baginya untuk terus berekspresi sembari menyalurkan kegemarannya merias wajah, bergoyang, dan bernyanyi dari panggung ke panggung.
"Kalau jiwa seni kan nggak bisa hilang. Meski kami punya usaha, kami tetap senang tampil," kata Tiara.
Kini Tiara memiliki bisnis sampingan berjualan busana muslim. Sedangkan Diana disibukkan mengelola warung kelontong kecil milik komunitas Warkop, Waria Kulon Progo. Namun keduanya tetap menantikan momen untuk pentas kembali bersama Trio Badak.
Kepiawaiannya menulis dan berkesenian pun, tak ingin membuat Jessica menghilangkan jati dirinya sebagai transpuan.
“Aku adalah seorang transgender yang menulis dan berkesenian. Perkara orang mau berpikir apa tentang aku, ya itu urusannya dia," tukas Jessica.
Kesempatan yang pernah dimiliki untuk bergabung dengan Amuba pun dianggapnya sebagai sebuah hak istimewa. Sebab hingga saat ini masih banyak transpuan yang belum sepenuhnya bebas mengkespresikan diri. Kondisi itu tak lepas dari anggapan, bahwa eksistensi waria merupakan masalah sosial yang harus diberantas.
"Di Yogyakarta, rata-rata teman-teman transgender terjebak menjadi pekerja seks dan pengamen. Tapi yang lebih luas lagi juga begitu, karena nggak ada wadah dan ruang untuk mereka," ucap dia.
Jessica meyakini, di luar sana masih banyak transgender berbakat yang kehilangan kesempatan untuk tampil dan berkarya. Suara-suara mereka seolah tenggelam di tengah berbagai macam persoalan sosial yang menyelimuti mereka.
“Transgender punya hak untuk berkesenian. Kami ingin dilihat dan didengar,” jelasnya.
Bagi Tamarra, dunia seni menawarkan banyak kesempatan kelompok transgender untuk berkecimpung di dalamnya. Mengingat masih segelintir transpuan yang mendalami bidang itu. Selama berkesenian, Tamarra tak merasakan adanya praktik diskriminasi meskipun transpuan menjadi kelompok minoritas di sana.
“Malahan kalau dalam kesenian lebih banyak opportunity (kesempatan) nya. Kan karena nggak banyak waria yang jadi seniman. Buatku nggak ada diskriminasi sama sekali, malah banyak kesempatannya,” kata Tamarra.
Alasan Tamarra untuk terus bertahan di dunia seni cukup sederhana, yakni menyalurkan hasratnya untuk terus berkarya sembari merefleksikan pengalaman pribadi dan peristiwa sosial yang terjadi di sekelilingnya.
Proses berkesenian juga menawarkan kebebasan. Seniman bebas mengeksplorasi kemampuannya tanpa memikirkan adanya batasan-batasan, seperti identitas maupun gender.
“Seni adalah media untuk berbicara. Lewat seni,kami bebas ngomongin apa saja. Kayak nggak ada batasnya,” terang Tamarra.
Melalui proyek “We Are Human” yang pernah digagasnya dulu, dia ingin mengajak kelompok transpuan terlibat dalam pergaulan yang lebih luas. Mengingat kehidupan waria masih termarjinalkan. Mereka seolah diasingkan oleh masyarakat sehingga memilih hidup di dalam komunitas yang homogen.
"Aku sadar ruang lingkup pergaualannya cuma di situ-situ saja atau dengan komunitasnya sendiri. Nggak pernah ada di luar. Terus aku merasa, penting juga ya menarik teman-teman waria kelaur dari zona nyaman ke zona lain untuk berbaur dengan masyarakat umumnya," ucap Tamarra.
Saat ini, Tamarra mampu membangun sebuah rumah di kawasan Watu Lumbung, Kapanewon Girisubo, Kabupaten Gunungkidul yang diprioritaskan menjadi tempat singgah para transpuan. Mereka diperkenankan tinggal menetap di rumah itu dan bersama-sama mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
“Semoga ada yang ngoleksi (membeli) karyaku lagi, jadi bisa segera nambah bangunan lagi. Kalau bangunannya punya beberapa kan seru, bisa memfasilitasi banyak teman yang butuh tempat ‘menyepi’,” imbuh Tamarra.
Belum Ada Program Khusus Transpuan
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengaku belum ada program kegiatan yang secara khusus dibuat untuk mewadahi kelompok minoritas, termasuk transgender untuk berkespresi dan berkesenian.
Meski begitu, transgender yang aktif di ranah seni tetap bisa dilibatkan dalam program yang sudah ada.
"Kalau secara khusus belum, saya bilang tidak. Khusus itu maksudnya nama program kegiatan. Tapi kalau secara substansi sangat bisa kami sinergikan bareng dengan program lain. Kebudayaan kan hak semua orang," terang Dian saat ditemui di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, (6/6/2022).
Dian mencontohkan, pada 2021 lalu Disbud DIY menyalurkan hibah seni yang menyasar seniman-seniman lokal. Program itu merespons pandemi Covid-19 yang membuat seniman kehilangan mata pencaharian. Disbud pun memberi bantuan keuangan dan kesempatan kepada seniman untuk tampil secara daring di kanal YouTube Disbud DIY.
Hanya saja, tidak ada seniman transpuan yang mencoba mengirim proposal untuk mendapat hibah tersebut. Dian juga menjamin bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif kepada kelompok tertentu dalam proses seleksi proposal.
"Ya kapan-kapan kalau ada yang kerso (mau) main ke dinas, kemudian kami diskusikan kalau ada semacam paguyuban, komunitas, atau apapun. Nggak masalah," kata Dian.
Pada 2022 ini, program hibah seni rencananya bakal dilanjutkan meski pandemi Covid-19 sudah melandai. Namun pihaknya masih menyiapkan pola pelayanan dan sistem pendaftaran yang sesuai. Kepada seniman yang ingin mendapat hibah tersebut diperkenankan mengirim proposal ke Kantor Disbud DIY nantinya.
"Misal ada keinginan ya sudah kirim saja proposal ke dinas. Nanti mesti akan kami tanggapi," janji Dian.
Tokoh Transpuan Terus Bermunculan
Sosiolog sekaligus Ketua Gaya Nusantara, Dede Oetomo mengatakan, adanya tekanan sosial terhadap kelompok transgender, tak lantas membuat eksistensi mereka tergerus. Saat ini justru terus bermunculan tokoh-tokoh transgender yang hadir di tengah kehidupan masyarakat.
Dede mencontohkan sosok dokter transpuan pertama Alegra Wolter dan Hendrikus Kelan yang dikenal sebagai pejabat publik transpuan.
"Memang keadaan tidak sempurna dan masih terjadi kekerasan. Tapi ya komunitas transpuan, transpria, dan lainnya juga terus bermunculan, eksis, dan berusaha bangkit," kata Dede saat dihubungi melalui telepon seluler, Sabtu (18/6/2022).
Selain itu ada banyak transpuan yang berupaya menunjukkan bakat dan kreativitasnya dengan berkesenian. Terlebih seni dapat menjadi medium bagi kelompok minoritas untuk menampilkan identitas yang dipilih, termasuk membuka ruang-ruang interaksi kepada masyarakat untuk menyampaikan gagasan.
Bagi Dede, mengamen pun dapat dikatagorikan sebagai praktik berkesenian. Mengamen merupakan salah satu strategi waria untuk mencari nafkah hingga tampil dihadapan publik.
“Memang masih ada transpuan yang sembunyi-sembunyi menutupi diri. Ada yang tidak berkesenian karena memang nggak mampu atau karena definisi keseniannya yang terbatas. Mengamen itu sebenarnya bisa dianggap berkesenian,” jelas Dede.
Hingga saat ini, kelompok transgender masih dihadapkan dengan berbagai macam persoalan sosial seperti menjadi bahan lelucon hingga mengalami kekerasan fisik dan verbal. Dia berpendapat, hal itu disebabkan karena masyarakat Indonesia belum menerima keberadaan gender di luar laki-laki dan perempuan.
"Masyarakat kebanyakan tidak mau melihat kenyataan, bahwa gender nggak hanya dua. Itu karena konservatisme agama dan paham sekuler moderenitas yang ketinggalan zaman hanya mengakui dua gender," terang Dede.
Pemikiran itu patut disayangkan, mengingat banyak produk kebudayaan Nusantara yang telah mengakui keberagaman ekspresi gender. Sebut saja kesenian ludruk yang sudah lama mengakar dalam masyarakat Jawa Timur di mana penari ludruk biasanya seorang waria.
"Ludruk kini sudah tergerus. Abad 18 juga ada Tari Bedhaya di Keraton Ngayogyakarta yang ditarikan remaja laki-laki yang didandani perempuan," imbuh Dede.
Sementara Kandidat PhD dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICSR) UGM, Khanis Suvianis menambahkan, di era reformasi ini negara masih menempatkan transpuan sebagai masalah sosial.
Seiring kemunculan Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 yang mengatagorikan waria sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian mengganti penyebutan PMKS menjadi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Dalam hal ini, negara pun berperan melanggengkan stigma negatif terhadap transpuan sehingga mereka selalu diindentikkan dengan pengemis, pengamen, dan pekerja seks yang membutuhkan uluran tangan pemerintah dan butuh penanganan.
"Artinya, secara norma aturan mereka (transgender) dianggap masuk katagori yang bermasalah dan membutuhkan uluran. Tapi sebenarnya UU ini bias dengan waria di pinggir jalan.Seolah-olah semua waria itu pengamen dan pekerja seks di pinggir jalan," kata Khanis. (*)