Tribun Inspiring Award

PROFIL GKR Hemas, Anggota DPD RI dari DIY Penerima Penghargaan Tribun Inspiring Award

Sebagai wakil daerah, GKR Hemas fokus pada isu-isu lingkungan yang berkelanjutan dan memberikan berkat bagi siapapun yang tinggal di sekitar.

Instagram @gkr_hemas
PROFIL GKR Hemas, Anggota DPD RI dari DIY Penerima Penghargaan Tribun Inspiring Award 

TRIBUNJOGJA.COM - Kiprah Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas di kancah perwakilan rakyat tak bisa dipandang sebelah mata.

Perempuan yang memiliki nama lahir Tatiek Dradjad Supriastuti itu kini masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI daerah pemilihan DI Yogyakarta.

Sebagai wakil daerah, GKR Hemas fokus pada isu-isu lingkungan yang berkelanjutan dan memberikan berkat bagi siapapun yang tinggal di sekitar.

Dia juga bakal menjadi penerima penghargaan dari Tribun Inspiring Award 2022. Rencananya, agenda tersebut diselenggarakan pada Jumat (22/4/2022) di Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Diketahui, Tribun Inspiring Award termasuk menjadi bagian dari 11 tahun Tribun Jogja.

Ada sejumlah tokoh dan kepala daerah di Jawa Tengah serta DI Yogyakarta yang mendapatkan Tribun Inspiring Award karena prestasinya dalam berbagai bidang.

Di tahun 2022 awal, ia sudah menaruh perhatian pada rumitnya masalah pertambangan pasir di DIY.

Dalam berita yang dihimpun tim Tribun Jogja saat itu, dia pernah menyebutkan, peliknya persoalan tambang pasir tidak lepas dari masalah perizinan dan transparansi pemberian izin operasional produksi.

Termasuk juga, adanya potensi kerusakan lingkungan hidup serta tata kelola tambang yang masih semerawut.

“Bagi masyarakat, potensi ekonomi ini membuka lapangan kerja dan menumbuhkan kesempatan berusaha masyarakat sekitar. Sedangkan bagi daerah, potensi ekonomi ini dapat memberikan pemasukan daerah sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tutur GKR Hemas saat menerima audiensi dari Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP), Sabtu (20/1/2021), di Kantor DPD RI DIY Jalan Kusumanegara Yogyakarta.

Audiensi tersebut merupakan tindak lanjut dari surat permohonan PMKP, paguyuban masyarakat yang melingkupi empat dusun yaitu Dusun Jomboran dan Dusun Nanggulan, Kalurahan Sendangagung, Kapanewon Minggir, Kabupaten Sleman serta Dusun Pundak Wetan dan Dusun Wiyu, Kalurahan Kembang Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo.

Masyarakat merasa pertambangan itu membuat air di daerah tempat tinggal menjadi kering.

Mereka sulit beraktivitas, selain karena air kering, suara mesin pengeruk pasir pun cukup memekakkan telinga.

Lebih lanjut, permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X ini menyatakan pertambangan pasir yang diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 dikenal dengan istilah pertambangan batuan, khususnya di daerah aliran Sungai Progo, menjadi salah satu potensi ekonomi bagi daerah.

Berdasarkan aspirasi masyarakat, maka perlu ada tindak lanjut dengan melibatkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui kementerian terkait.

“Isu ini juga memungkinkan untuk diangkat menjadi isu alat kelengkapan DPD RI yang membidangi sumber daya alam, agar dapat dibahas dengan kementerian terkait, sebagai salah satu materi pengawasan atas pelaksanaan UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” kata dia.

GKR Hemas adalah anak ketiga dan putri tunggal dari tujuh bersaudara.

Ia dibesarkan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ayahnya, Kolonel Soepono Digdosastropranoto, adalah seorang pejabat TNI yang lahir di Yogyakarta.

Ibunya, Raden Nganten Susamtilah Soepono, adalah seorang ibu rumah tangga asal Wates, Kulonprogo.

Hemas bersekolah di Jakarta hingga lulus SMA dan melanjutkan studinya di jurusan Arsitektur Universitas Trisakti.

Dia tidak menyelesaikan studinya di universitas dan menikah dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada tahun 1968.

Baca juga: PROFIL Bupati Magelang Zaenal Arifin, Penerima Penghargaan Tribun Inspiring Award

Hemas kemudian mengikuti suaminya dan tinggal di Yogyakarta. Setiap tahun keluarga Tatiek memiliki tradisi keluarga untuk pergi ke rumah kakeknya di Soronatan, Yogyakarta.

Kakeknya adalah seorang pensiunan pejabat istana. Pada akhir 1960-an, Tatiek bertemu dengan putra tertua mendiang Sultan Hamengkubuwono IX, Herjuno Darpito, yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai Sultan Hamengkubuwono X.

Pada usia 19 tahun Hemas menikah dengan Herjuno Darpito (6 tahun lebih tua) dan meninggalkan studinya di universitas.

Namanya pertama kali diubah menjadi Bandara Raden Ayu Mangkubumi, sebelum akhirnya diubah menjadi Gusti Kanjeng Ratu Hemas ketika Herjuno Darpito naik tahta dan menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Pernikahannya dikaruniai lima anak, Putri Mangkubumi, Putri Candrakirana, Putri Maduretno, Putri Hayu, dan Putri Bendara.

Pada awalnya, kegiatan Ratu Hemas di keraton Yogyakarta kebanyakan bersifat sosial.

Ia aktif di Yayasan Sayap Ibu dan pemberantasan buta huruf di Yogyakarta. Ia menjadi anggota MPR periode 1997-1999 dari Fraksi Utusan Golongan dan pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Kartini.

Ratu Hemas selalu aktif dalam mendorong partisipasi perempuan dalam proses politik.

Untuk lebih memajukan hak-hak perempuan, pada tahun 2004, GKR Hemas mencalonkan diri sebagai anggota DPD untuk mewakili provinsinya, sebagai calon independen. Dia memenangkan mayoritas suara dari wilayahnya.

( Tribunjogja.com | Bunga Kartikasari )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved