Wawali Yogyakarta Sebut 65 Persen Pelaku Klitih di Kota Jogja Berasal dari Keluarga Bermasalah
Kurangnya arahan dan pendampingan dari orangtua pun disinyalir membuat fenomena tersebut seakan sukar terurai.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sebanyak 65 persen pelaku kekerasan jalanan atau kerap disebut klitih di Kota Yogyakarta akhir-akhir ini, berasal dari keluarga bermasalah.
Kurangnya arahan dan pendampingan dari orangtua pun disinyalir membuat fenomena tersebut seakan sukar terurai.
Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi, mengatakan klitih yang terjadi belakangan merupakan aksi anggota geng pelajar.
Segala daya upaya sudah dilakukan, supaya tindak kriminal itu terputus rantainya.
Tapi, tanpa peran keluarga, rasanya pembinaan pada remaja tak akan maksimal.
"Kasus terakhir itu 65 persen pelaku berasal dari broken home, dititipkan kakek, atau kerabat. Kemudian, rata-rata selalu diawali minum miras (minuman keras), kayak es teh itu, plastikan, padahal miras," katanya, saat didapuk sebagai narasumber Sosialisasi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, di Gedung DPD RI DIY, Sabtu (17/4/2022).
Heroe menyatakan, sejak 2018 Pemkot Yogyakarta mulai melakukan langkah-langkah penanggulangan klitih, serta berdialog dengan berbagai pihak.
Hanya saja, setiap fenomena ini mencuat, pola yang muncul senantiasa berubah. Sehingga, pola penanganannya pun otomatis harus menyesuaikan.
"Awal-awal sasarannya acak, empat lima tahun lalu, yang jadi korban banyak yang tidak tahu apa-apa. Tapi, akhir-akhir ini tidak lagi acak, sudah jelas anggota geng," katanya.
Oleh sebab itu, pihaknya sudah menekakan pada seluruh sekolah, baik negeri, atau swasta, agar bertindak lebih keras dalam memberantas tumbuh kembang geng pelajar.
Upaya kaderisasi yang dilakukan alumni, supaya kelompok itu bisa terus eksis, harus bisa disumbat oleh sekolah.
"Kita sudah undang semua pihak, akhirnya ada rumus, buat tata tertib yang keras. Siswa yang gabung geng dikeluarkan, dan tampaknya itu efektif. Kepala sekolah dan guru BP terus memonitor, tidak boleh ada kegiatan setelah 17.00," urainya.
"Kemudian, kami juga berharap peran serta dari masyarakat untuk mengawasi lingkungan masing-masing, karena sudah mulai bergeser ke sana juga. Kejadiannya, paling sering kisaran 02.00, atau 03.00," tambah Wawali.
Sementara itu, Anggota DPD RI Dapil DIY, Cholid Mahmud menyampaikan, rentetan kriminalitas jalanan yang terjadi di kota pelajar tersebut merupakan permasalahan bersama, dan penyelesaiannya butuh sinergitas semua pihak.
Alhasil, tidak cukup jika hanya Polri dan pemerintah saja.