Mutiara Ramadhan Tribun Jogja LDNU DIY
Ramadan untuk Latihan Kezuhudan
Ada hal menarik yang bisa kita petik dari rangkaian ibadah pada bulan Ramadan. Ia menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.

Oleh: Khairul Imam, Pengasuh PPTQ Ibnu Sina Yogyakarta; Dosen Fakultas Ushuluddin IIQ An Nur Yogyakarta
TRIBUNJOGJA.COM - Ada hal menarik yang bisa kita petik dari rangkaian ibadah pada bulan Ramadan.
Ia menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dan menguatkan, sekaligus memaknai lebih dalam dari sekadar ibadah seremonial.
Bahwa di dalam rutinitas pada bulan ini setiap insan dilatih untuk memasuki gerbang kezuhudan.
Satu latihan khusus untuk menciptakan gaya hidup baru (a new life style) dalam rangka menggapai keridhaan Allah SWT.
Dalam pandangan Yahya bin Mua’dz ar-Razi, term zuhud terdapat dalam tiga hal; sedikit (al-qillah), lapar, dan khalwat (menepi dari keramaian).
Pertama, membatasi diri dari harta benda duniawi, termasuk makan dan minum. Kata ini juga bermakna qana’ah dalam pandanngan ar-Raghib al-Isfahani, yang berarti merasa ridha atau puas dengan yang ada.
Dalam arti, setiap orang yang berpuasa dilatih dengan batasan tertentu dan tidak berlebihan.
Semisal, ketika dalam kondisi puasa, setiap kita pasti berangan-angan untuk berbuka dengan beragam hidangan lezat.
Kita menahan lapar seharian penuh dan, seakan-akan hendak balas dendam melahap semua hidangan.
Namun apa yang terjadi, ternyata tubuh kita tak bisa menerima ragam jamuan dan hidangan lezat yang kita bayangkan sebelumnya, atau telah kita persiapkan.
Kita akan mencukupkan diri dengan sepiring nasi dan lauk seadanya. Dengan itu saja, kita telah merasa kenyang dan sesak.
Jika pun kita menelan semua hidangan tersebut, kita sendiri yang akan kesusahan beraktivitas.
Badan terasa berat, mata terasa kantuk, dan akan malas melakukan ibadah selanjutnya dengan ragam jamuan ruhani dari Allah di malam hari.
Kedua, lapar. Dalam berpuasa, sejatinya kita akan menginsafi diri bahwa tujuan hidup manusia bukanlah untuk makan, tetapi makan untuk hidup.