Feature

Menilik Sejarah Masjid Selo Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I

Yogyakarta menjadi gudangnya sejarah. Mulai dari sejarah era Mataram Islam hingga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia masih mudah dijumpai.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Mona Kriesdinar
Tribunjogja/Miftahul Huda
CAGAR BUDAYA - Fasad depan Masjid Selo di Panembahan, Kraton, Yogyakarta, Senin (4/4/2022). 

TRIBUNJOGJA.COM - Yogyakarta menjadi gudangnya sejarah. Mulai dari sejarah era Mataram Islam hingga masa-masa awal kemerdekaan Indonesia masih dapat dengan mudah dijumpai jejaknya.

Salah satu peninggalan Kasultanan Ngayogyakarta yang tak boleh terlewatkan untuk dikunjungi di Ramadan kali ini adalah Masjid Batu atau Selo.

Masjid Selo adalah karya dari Sri Sultan Hamengku Buwono I. Saat itu Sultan mendirikan masjid khusus untuk kegiatan ibadah orang Ndalem. Letak masjid itu berada di kampung Panembahan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta, atau sekitar 1,9 kilometer dari Titik Nol Km Yogyakarta.

Bangunan itu berada di gang sempit Kampung Panembahan, Kota Yogyakarta. Terdapat papan penanda bertuliskan "Masjid Selo" Panembahan Yasan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono I di samping gapura gang tersebut.

Gang menuju masjid bersejarah itu tidak dapat dilalui mobil. Jika ingin berkunjung ke masjid Selo, kendaraan harus diparkir di pinggir jalan utama kampung itu.

Lalu pengunjung dapat berjalan kaki lebih kurang 100 meter dari jalan utama perkampungan.

Masjid itu terletak di antara permukiman warga. Kesan sempit sangat terasa saat berada di depan masjid tersebut.

Jelas kondisi saat ini berbeda jauh dengan 233 tahun silam, di mana Masjid Selo mulai digunakan untuk aktivitas keagamaan kala itu.

Konon, halaman masjid itu dulunya adalah kolam bertingkat yang airnya mengalir jernih setiap saat.

Air tersebut menurut bendahara takmir Masjid Selo bernama Sunarwiyadi, berasal dari Kali Winongo.

"Sebelah utara ini kira-kira 200 meter. Itu kalau di dalam petanya ini masjid panepen, masjid khusus, dan yang untuk umum ada sendiri, terletak di utara," ucapnya saat saya jumpai, Senin (4/4/2022).

Masjid itu berdiri pada 1.709 tahun Caka atau 1.789 Masehi.

Konon, dulunya jika hendak masuk ke Masjid Selo dari Keraton harus dari arah Plengkung Wijilan ke selatan.

"Itu pas ketika bangunan Ndalem masih ada, lewatnya arah Plengkung Wijilan ke selatan. Tetapi kemudian bangunan Ndalem sudah tidak ada lagi," jelas Sunarwiyadi.

Ketika bangunan-bangunan Keraton lambat laun mulai beralih fungsi menjadi permukiman warga, tersisa satu bangunan masjid yang saat ini berdiri kokoh di perkampungan ini. Akan tetapi, sempat ada masa masjid terbengkalai, karena tidak difungsikan oleh masyarakat.

"Kemudian sekitar tahun 1965 beberapa tokoh masyarakat melihat, kok, ini ada bangunan masjid enggak dipakai. Kemudian mengirim surat kpada Keraton yang intinya mohon izin untuk menggunakan bangunan," jelas pria yang akrab disapa Narwi ini.

"Oleh kraton mengizinkan, keno nganggo nanging ora keno owah-owah (boleh digunakan tetapi tidak boleh mengubah bangunan)," imbuhnya.

Mulai saat itu, warga bergotong royong membersihkan masjid yang dulunya digunakan untuk menyimpan keranda tersebut. Awal dimanfaatkan masyarakat, lantainya masih bermodel lama, yakni jerambah bersemen lalu ditutup tikar.

Gaya arsitektur

Fasad bangunan Masjid Selo menyerupai Tamansari. Maklum, arsitek dari bangunan masjid itu sama dengan arsitek Tamansari, taman air masyhur yang berada di sebelah barat Keraton Yogyakarta.

Di mana kubah masjid itu mengerucut berbahan semen dan batu menyerupai bangunan di Tamansari.

Tembok di masjid itu juga tebalnya 75 sentimeter.

Model jendela yang digunakan berupa teralis terbuat dari kayu.

Tidak banyak ornamen yang digunakan dalam pembangunan masjid itu. Langit-langitnya juga berbentuk mengerucut persis seperti bangunan Tamansari.

"Atap pintunya agak rendah, boleh jadi orang ketika masuk harus menunduk. Itu filosofinya," tutur Narwi. "Menunduk tadi maksudnya menghormat.”

Fondasi masjid ini juga sangat dalam masuk ke tanah. Bahkan ketika terjadi gempa bumi besar di DIY, relatif bangunan ini tidak terdampak. “Lah, kemarin orang buat sumur irigasi katanya melihat fondasi masjidnya," terang dia.

Luas awal masjid itu lebih kurang 6x8 meter persegi, hanya bisa menampung sekitar 30 jemaah.

Saat ini masjid itu dilakukan perluasan dengan menambah serambi di kanan dan kiri bangunan utama masjid.

Otomatis daya tampung bertambah, yakni lebih kurang 150 jemaah. Kini Masjid Selo masuk ke dalam Bangunan Cagar Budaya. (Miftahul Huda)

Baca Tribun Jogja edisi rabu 06 April 2022 halaman 01

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved