Tak Penuhi Aspek Legalitas, Pemkot Yogyakarta Tegaskan Pedagang Asongan Dilarang Jualan di Malioboro

Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menegaskan, pedagang asongan tetap dilararang berjualan di kawasan Malioboro.

Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Muhammad Fatoni
Tribun Jogja/ Azka Ramadhan
Suasana pedestrian Malioboro, Kota Yogyakarta, yang kini semakin bebas dari aktivitas pedagang asongan 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Puluhan pedagang asongan di kawasan Malioboro menyambangi gedung DPRD Kota Yogyakarta, Senin (14/3/2022).

Mereka datang untuk mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat, setelah aktivitas ekonominya dilarang, pascapenataan pedagang kaki lima (PKL) tempo hari. 

Tetapi, pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menegaskan, pedagang asongan tetap dilararang berjualan di kawasan Malioboro.

Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menandaskan mereka tidak memiliki aspek legalitas, sehingga tidak bisa berdagang di area tersebut. 

"Secara prinsip, kami memang melarang asongan di Malioboro, bahkan sebelum relokasi dilakukan. Semuanya tidak teregister, sama Jogoboro juga sudah dilarang. Cuma, karena jumlahnya banyak, masih ada yang kucing-kucingan, sehingga luput dari petugas," tandas Yetti. 

Karena itu, dengan keberadaan pedagang asongan yang luput dari petugas keamanan di Malioboro, bukan berarti pihaknya memberikan izin bagi mereka untuk berdagang.

Terlebih, ia memastikan, pihak UPT Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya juga tidak pernah memberikan izin. 

"Kita nggak pernah mengeluarkan itu. Bahkan, kita pernah mengeluarkan salah satu petugas di sana karena bermain. Kami ingin membersihkan itu, dari oknum-oknum yang melakukan, dengan mengatasnamakan UPT," tegasnya. 

Menurutnya, penanganan asongan jelas tak bisa disamakan dengan PKL yang sebelumnya memiliki legalitas namun tidak diperpanjang dan ditempuh relokasi.

Sementara pedagang asongan, katanya, statusnya ilegal, sehingga petugas di lapangan pun sejak dulu sudah getol melakukan upaya pembersihan. 

"Asongan sama sekali tidak punya legitas, bahkan kami sudah melarang mereka berada di kawasan Malioboro pada waktu itu, sebelum relokasi. Tapi, yang namanya asongan, mereka pintar bermain di lapangan," terangnya. 

"Kemudian, sekarang (setelah PKL direlokasi) mereka jadi semakin kelihatan, misalnya ada asongan yang berkeliaran di Malioboro. Sehingga, Jogoboro menjadi lebih sigap untuk mengeluarkan dari Malioboro," imbuh Yetti. 

Hal tersebut, katanya, jelas sangat berbeda dengan saat PKL masih memenuhi pedestrian, maupun lorong-lorong toko, dimana pedagang asongan seringkali membaur dengan mereka.

Sedangkan, petugas yang disiagakannya di sepanjang Malioboro bisa dibilang sangat terbatas. 

"Satu shift hanya 24 petugas Jogoboro itu, ya, tentu tidak memadahi. Sehingga, dulu sangat susah untuk mendeteksi asongan yang harus dikeluarkan. Apalagi, begitu kami keluarkan, ada yang masuk lagi," tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved