Feature

KISAH Pak Musimin Sang Pelestari Anggrek Lereng Gunung Merapi

Musimin enggan disebut pakar anggrek atau bapak anggrek meski kiprahnya membudidayakan anggrek sudah tidak bisa dipandang sebelah mata.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUN JOGJA
Gunung Merapi 

Musimin enggan disebut pakar anggrek atau bapak anggrek meski kiprahnya membudidayakan anggrek sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Sesederhana itu jalan hidupnya. Semua dilakukan di dalam kesunyian, jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan sorotan lampu ketenaran.

Musimin, yang dalam dua dekade belakangan bergelut membudidayakan anggrek, termasuk spesies anggrek langka dan hampir punah yang pernah tumbuh di lereng Gunung Merapi.
Musimin, yang dalam dua dekade belakangan bergelut membudidayakan anggrek, termasuk spesies anggrek langka dan hampir punah yang pernah tumbuh di lereng Gunung Merapi. (TRIBUNJOGJA.COM / Ardhike Indah)

IA hanya melakukan apa yang sudah seharusnya dilakukan sebagai umat manusia, yakni ikut menjaga kelestarian seisi alam yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Sebagai wujud konkret rasa syukur dengan segala nikmat yang selama ini diberikan.

“Saya bekerja sama dengan pencipta anggrek ini, Dia juga pencipta seisi alam raya. Sehingga, anggrek-anggrek ini bisa hidup lagi di sini dan di habitat."

"Kalau kita hanya menggantungkan pada satu orang atau organisasi, maka tidak bisa hidup,” papar Musimin dengan makna filosofis.

Niat untuk melestarikan sang mahkota hutan seolah-olah menemui jalan terang.

Di tahun 2010, Musimin mulai berkenalan dengan seorang peneliti atau periset anggrek bernama Sulistyono.

“Saya belajar nama-nama latin dari anggrek ini juga dari Mas Sulis. Cara anggrek berkembang biak di habitatnya pun saya belajar dari beliau."

"Waktu didata di tahun 2011, cuma ada 53 spesies anggrek, padahal sebelum erupsi 2010 itu ada 90-an spesies,” jelasnya lagi.

Baca juga:  Musimin Menyelamatkan Mahkota Hutan Lereng Merapi

Perkenalan dengan peneliti anggrek itu membuatnya semakin tertantang untuk mengenal tanaman tersebut lebih dalam.

Dari situlah, Musimin mengenal Vanda tricolor (Anggrek Pandan), Dendrobium sagittatum (Anggrek Gergaji/Keris), Paphiophedilum javanicum (Anggrek Lorek) serta Arundina graminifolia (Anggrek Bambu/Sempritan).

“Dari data itu, saya juga belajar cara hidup anggrek. Ada yang epifit, semiepifit, terestrik, saprofit, dan litofit,” katanya sambil menghitung di jari tangan kanan.

Beberapa waktu belakangan, Musimin harus waspada dengan hujan deras yang sering turun di kawasan Turgo.

Kadangkala, anggrek yang sudah berbunga harus layu kembali lantaran kebanyakan air yang diserap.

Kenalkan pada siswa

Sebelum pandemi, Musimin sering membantu siswa-siswa sekolah untuk mengenal lebih dekat tentang anggrek dan alam sekitar.

“Kalau dulu, sebelum pandemi, ada siswa sekolah yang ke sini untuk ikut mengamati konservasi. Bukan hanya yang setara SMA, ya, bahkan TK begitu juga sering ke sini,” ucap Musimin sembari tersenyum.

Biasanya, ia akan mengajak anak-anak sekolah untuk mengingat-ingat ciri-ciri anggrek yang ada.

Ketika mereka diajak berjalan di kawasan Turgo, mereka akan diminta menyebutkan jenis anggrek yang terlihat.

Apabila mereka mampu menyebutkan setidaknya tiga jenis anggrek, mereka berhak membawa pulang anggrek untuk bisa dipelihara di rumah.

“Sekarang sudah jarang, ya, karena pandemi juga. Dulu saya sering menyiapkan 20 anggrek. Kalau ada 20 orang yang bisa sebutkan tiga jenis anggrek, ya, 20 anggrek bisa dibawa pulang oleh mereka,” ungkapnya tertawa.

Dari kegiatan itu, harapan Musimin hanya satu, yakni ada lebih banyak orang mau melestarikan alam dan seisinya, termasuk anggrek.

Sehingga, anggrek-anggrek langka tidak akan punah dan bisa kembali menjadi mahkota hutan.

Enam tahun setelah pertama kali tim Tribun Jogja menyambangi rumah Musimin, ternyata ada banyak kemajuan yang tercatat di tempat budi daya anggrek miliknya.

Musimin menunjukkan anggrek jenis langka yang berhasil dibudayakan di green house yang berada di dusun Turgo, Purwobinangun, Pekem, Sleman, Sabtu (21/2/2015).
Musimin menunjukkan anggrek jenis langka yang berhasil dibudayakan di green house yang berada di dusun Turgo, Purwobinangun, Pekem, Sleman, Sabtu (21/2/2015). (Tribun Jogja/Santo Ari)

Musimin adalah seorang laki-laki yang dalam dua dekade belakangan bergelut membudidayakan anggrek, termasuk spesies anggrek langka dan hampir punah yang pernah tumbuh di lereng Gunung Merapi.

Hingga kini, ia sudah membudidayakan sekitar 170 jenis anggrek. Jumlah ini bertambah dari tahun 2015 yang hanya 80 jenis anggrek saja.

Rumah Musimin berada di satu tempat di mana dia membangun dua rumah hijau untuk budi daya anggreknya.

Terletak 6 km dari Gunung Merapi, dari jalan utama, rumah laki-laki paruh baya itu berada di dataran yang lebih tinggi dengan jalan setapak berbatu yang hanya bisa dilalui oleh kendaraan roda dua, termasuk sepeda.

Sehingga, siapa pun yang berkunjung, harus sabar memacu kendaraannya sampai ke atas demi mencapai tempat budidaya anggrek milik Musimin.

Satu rumah hijau di depan diberi poster ‘Budi Daya Anggrek Merapi Bp Musimin’ untuk memudahkan pengunjung memastikan bahwa mereka mengunjungi tempat yang tepat.

“Ya, kalau akhir pekan begini kadang ramai. Ini katanya ada mahasiswa yang mau ke sini, tapi belum dipastikan lagi. Hujan terus tidak menentu, kasihan kalau mereka harus ke atas,” paparnya sembari tersenyum, di satu hari akhir tahun lalu.

Tanpa basa-basi lebih panjang, Musimin memperkenalkan rumah hijau berukurang 6x15 meter, tempatnya membudidayakan anggrek-anggrek itu yang terletak di belakang rumah.

Satu per satu, Musimin memperkenalkan anggrek yang berhasil ia budi daya, termasuk Vanda tricolor yang begitu terkenal di kalangan pecinta anggrek.

Dengan teliti, Musimin menunjuk beberapa tanaman anggrek, seperti Galeola javanica, Luisia javanica, dan sederet Dendrobium yang ia gantung satu per satu dengan rapi di sebilah kayu.

Kecintaan Musimin terhadap anggrek memang sudah lama. Apalagi ketika letusan Gunung Merapi meluluhlantakkan kawasan Turgo di tahun 1994.

Sejak itu, ia berusaha untuk mengumpulkan anggrek-anggrek yang mati terkena sapuan awan panas. Di tahun 2001 ketika kebakaran melanda Hutan Turgo, membuatnya semakin gigih berburu anggrek endemik Gunung Merapi.

“Anggrek itu mahkota hutan. Makanya sejak 1996, saya cari-cari semampu saya anggrek-anggrek yang dulu hilang tersapu awan panas. Perlahan-lahan, sambil saya tanyakan ke ahlinya apa nama latin dari anggrek yang saya temukan,” ungkap Musimin.

Kerja kerasnya itu pun membuahkan hasil.

Dia mampu mengumpulkan 110 spesies anggrek lokal kawasan Gunung Merapi dari total 173 spesies.

Dengan begitu, anggrek-anggrek endemik itu tidak lagi disebut langka karena sudah dibudidayakan oleh Musimin.

“Ini saya tidak pakai pupuk atau apa, ya, untuk membudi daya ini. Paling 3 hari sekali sudah disiram agar mereka terkena air. Anggrek-anggrek ini harus bisa berdiri sendiri agar tetap hidup ketika kembali ke habitat,” paparnya sembari membersihkan hama-hama yang menempel di tanamannya. (Ardhike Indah)

Baca Tribun Jogja edisi Rabu 9 Februari 2022 halaman 01

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved