Kecelakaan Bus di Imogiri

Cegah Kecelakaan Maut di Bukit Bego Imogiri, Pustral UGM: Perlu Adanya Jalur Penghentian Darurat

Infrastruktur lain adalah jalur penghentian darurat ketika ada kendaraan dengan rem yang blong atau mundur karena tidak kuat menanjak

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM / Miftahul Huda
Bus pariwisata terlibat kecelakaan di Jalan Imogiri-Mangunan, tepatnya di bawah Bukit Bego, Imogiri Bantul, Minggu (6/2/2022) siang. 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kecelakaan bus di Bukit Bego, Imogiri, Bantul pada Minggu (6/2/2022) kemarin ernyata bukan yang pertama kali terjadi.

Faktanya, ada empat kecelakaan maut lain yang pernah terjadi di kawasan tersebut sejak tahun 2014. Beberapa di antaranya merenggut nyawa penumpang.

Sebagian besar kecelakaan melibatkan bus pariwisata yang remnya mendadak blong ketika melewati jalan menurun.

Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), Dr Ir Arif Wismadi MSc menjelaskan pada daerah dengan geometri jalan yang rawan kecelakaan memang harus mendapatkan prioritas lebih pada aspek keselamatan.

Dia menilai, sesungguhnya, di ruas-ruas jalan seperti di kawasan Dlingo, Imogiri, telah terdapat rambu-rambu peringatan tentang tanjakan dan tikungan.

Akan tetapi, di daerah blackspot atau rawan kecelakaan, harus ada upaya ekstra agar tidak ada maut yang terjadi lagi.

“Yang harus ditekankan pertama adalah upaya menekan risiko kecelakaan, seperti perambuan dan marka untuk traffic calming atau mengurangi kecepatan laju kendaraan,” ucap Arif kepada Tribun Jogja, Senin (7/2/2022).

Kemudian, hal lain yang wajib diperhatikan adalah mencegah kemungkinan kecelakaan tunggal maupun kecelakaan yang melibatkan pengguna kendaraan lain.

“Banyak kecelakaan melibatkan pengguna yang tidak memahami medan yang dilalui. Kondisi permukaan jalan yang bagus juga dapat menimbulkan kesalahan tindakan sopir yang tidak mengenal medan,” bebernya.

Lantaran tidak mengenal medan, sopir bisa saja tidak tahu kapan harus menahan laju, serta kapan menyiapkan tenaga akselerasi untuk menghadapi tanjakan.

Untuk itu, dikatakan Arif, perambuan harus memberikan informasi yang cukup, tidak hanya informatif, tapi juga instruktif untuk pengendara.

“Jika dua upaya tadi tidak mampu menghindarkan kejadian kecelakaan maka infrastruktur tambahan untuk menghindari korban harus disediakan,” tambah Arif.

Baca juga: Korban Kecelakaan Bus Pariwisata di Bantul Dirujuk ke RS Bethesda Yogyakarta

Baca juga: Selama Olah TKP Kecelakaan Maut Bus Pariwisata di Bukit Bego, Polisi Buka Tutup Arus Lalu Lintas

Ia mencontohkan, misalnya, infrastruktur keselamatan pada tebing dan jurang yang meminimalkan atau meredam benturan keras. 

“Infrastruktur lain adalah jalur penghentian darurat ketika ada kendaraan dengan rem yang blong atau mundur karena tidak kuat menanjak,” ungkapnya.

Ditambahkannya, infrastuktur dan fasilitas lain yang diperlukan merupakan untuk respon cepat ketika terjadi kecelakan. 

Di setiap titik dan area blackspot diperlukan fasilitas pertolong keselamatan serta penanganan kejadian.

“Untuk pengguna jalan, semestinya bisa sangat mematuhi instruksi keselamatan di setiap ruas jalan. Selain itu, kesiapan kendaraan menjadi sangat penting,” kata Arif.

Kendaraan yang tidak kuat menanjak dan mundur atau melaju terlalu kencang bisa terjadi karena kendaraannya tidak disiapkan secara prima.

Arif mengatakan, dalam masa pandemi, dimana banyak bisnis tertekan secara keuangan, termasuk sektor transportasi, perlu ada perhatian terhadap kelayakan operasi kendaraan.

“Untuk kendaraan wisata, maka surat perintah jalan bus pariwisata semestinya tidak hanya formalitas, tapi harus dikeluarkan dengan pengecekan fisik kendaraan untuk memastikan kondisi prima,” tuturnya.

Ditanya mengenai fasilitas penyelamatan di area rawan kecelakaan, itu juga bisa menggunakan jaringan fasilitas kesehatan, termasuk puskesmas dan rumah sakit.

Peralatan untuk kejadian kecelakaan bisa ditambahkan. Peralatan untuk evakuasi korban jumlah dan jenisnya bisa ditambahkan, termasuk dongkrak hidrolik yang bisa melepaskan himpitan.

“Jalur penghentian darurat perlu disiapkan dengan infrastruktur tepi jalan yang didesain untuk menahan laju dengan pasir dan kerikil sebagai jalur evakuasi kendaraan dengan kondisi darurat,” terangnya.

Jalur itu bisa dibuat pada sisi tebing yang dipotong dengan geometrik yang menahan laju. 

Ia mengungkapkan, jika jalur dibuat di sisi jurang, maka harus dipastikan konstruksi yang sangat kuat dan panjang yang mencukupi.

“Selain itu di sisi tebing bisa dipasang jaring pengaman bertingkat yang khusus dibuat juga untuk sistem keselamatan dari kecelakaan jalan,” tandasnya. (Tribunjogja)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved