Kisah Tuna Netra asal Klaten Terjemahkan Modul Pengurangan Risiko Bencana ke Huruf Braille
Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, seorang tuna netra berhasil menerjemahkan modul pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam huruf Braille
Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Hari Braille Sedunia atau World Braille Day diperingati setiap tanggal 4 Januari.
Peringatan Hari Braille Sedunia ini untuk menghormati kelahiran penemu huruf Braille yakni Louis Braille.
Adanya Braille, orang-orang yang memiliki gangguan penglihatan memiliki kesempatan besar untuk bisa membaca dengan cara menyentuh huruf timbul atau huruf Braille itu.
Di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, seorang tuna netra berhasil menerjemahkan modul pengurangan resiko bencana (PRB) ke dalam huruf Braille.
Modul tersebut kini telah diperbanyak dan digunakan sebagai panduan bagi para penyandang tuna netra di Klaten untuk mitigasi bencana.
"Ini translate huruf, dari huruf visual ke huruf braille. Kebetulan, saya sebagai tuna netra punya peralatan untuk membuat modul dengan menggunakan huruf braille.
Saya latarnya tidak bisa melihat permanen sejak kelas 3 SMP atau saat umur 16 tahun hingga sekarang.
Sejak saat itu, saya belajar huruf braille selama 7 bulan hingga akhirnya bisa membaca," ujar Penerjemah modul PRB itu, Eko Suwasto, saat TribunJogja.com temui di sekretariat Perkumpulan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK), Selasa (4/1/2022).
Menurut pria yang baru saja purna tugas sebagai PNS pada tiga tahun lalu itu, untuk membuat huruf Braille ada tiga cara.
Pertama menggunakan reglet atau sebuah benda untuk membuat titik-titik timbul yang akan membentuk suatu pola yang mengacu pada huruf-huruf Braille.
Kemudian, dengan menggunakan mesin tik Braille dan terakhir printer Braille.
"Kalau printer braille ini, input datanya pakai laptop. Kalau yang pakai reglet itu hanya bisa pada satu sisi kertas, sementara yang pakai printer braille itu dua sisi kertas bisa di pakai untuk dibaca, kalau mesin tik juga hanya satu sisi," jelasnya.
Diakui Eko, modul PRB dengan menggunakan huruf Braille itu dibuat pada tahun 2019. Dirinya tidak butuh waktu lama untuk menerjemahkan modul PRB biasa ke dalam huruf Braille.
"Untuk mem-braille modul ini saja saya kerjanya sehari saja. Kertas yang kita gunakan untuk modul ini, kertas braille," paparnya.
Menurut Eko, modul PRB yang ia terjemahkan ke huruf Braille terdiri dari 76 halaman. Materinya ada 6 matra tentang tata cara evakuasi dan mitigasi bencana bagi para penyandang disabilitas khususnya tuna netra.
"Ini sudah kita sebar di komunitas tuna netra di Klaten. Masing-masing komunitas dapat satu modul. Di sekolah luar biasa juga ada di kirim," jelasnya.
Sebelum adanya modul PRB dengan huruf Braille itu, lanjut Eko, selama ini wawasan terkait PRB bagi para tuna netra hanya dari ceramah atau praktek.
"Ini sebagai pelengkap atau pegangannya. Istilahnya ini untuk kelengkapan. Ini modul PRB perdana ya," jelas pria kelahiran 18 Agustus 1958 itu.
Menurut Eko, untuk menyusun modul PRB itu, dirinya tidak bekerja sendiri, ada beberapa penyandang disabilitas lainnya yang juga ikut membantu.
Namun untuk menerjemahkan Braille adalah dirinya.
"Kendalanya tidak ada, ini kita kerjasama dan lancar dan lancar saja," ucapnya.
Kemudian kata Eko, untuk jumlah penyandang tuna netra di Kabupaten Klaten berjumlah sekitar 900 orang yag tersebar di berbagai wilayah.
"Tapi yang saat ini aktif di organisasi itu hanya sekitar 200 orang," imbuh Eko.
Dari jumlah itu, 4 orang termasuk dirinya termasuk aktif di relawan kebencanaan.
Sementara itu, Wakil Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Klaten (PPDK), Qoriek Asmarawati menambahkan yang dilakukan saat ini adalah edukasi dan simulasi terkait dengan kesiapan kebencanaan bagi penyandang disabilitas.
"Penyandang disabilitasi di Kecamatan Kemalang ada sekitar 600 orang. Itu data 2014 atau 2015 ya. Untuk ring satu atau KRB 1 atau KRB 2 kita belum punya data lengkap. Nanti akan didata kembali," jelasnya.
( tribunjogja.com/ almurfi syofyan )