Kumpulan Puisi Umbu Landu Paranggi yang Tak Lekang Oleh Waktu

Umbuh Landu Paranggi lahir 10 Agustus 1943 Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. Dan meninggal 6 April 2021 Sanur, Bali.

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Mona Kriesdinar
zoom-inlihat foto Kumpulan Puisi Umbu Landu Paranggi yang Tak Lekang Oleh Waktu
style.tribunnews.com
Umbu Landu Paranggi Bersama Cak Nun

TRIBUNJOGJA.COM - Umbu Landu Paranggi penyair yang berasal dari Indonesia. Ia kerap disebut sosok misterius di kancah sastra di Indonesia tepatnya mulai dari tahun 1960-an.

Dan juga melalui Komunitas Persada Studi Klub di Malioboro. Umbu, menjalankan perannya sebagai guru yang membimbing penyair dan seniman muda tahun 1970-an di Yogyakarta.

Seperti toko-toko terkenal seperti Emha Ainun Nadjib, Eko Tunas, Korie Layun Rampan, Linus Suryadi AG, dan Ebiet G. Ade.

Umbuh Landu Paranggi lahir 10 Agustus 1943 Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur. Dan meninggal 6 April 2021 Sanur, Bali.

Kemudian, semasa hidup ia banyak mendapatkan penghargaan. Sebagaimana dikabarkan oleh Wikipedia antara lainnya berikut ini penghargaannya:

Pada tahun 2018, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia memberikan Penghargaan Anugerah Budaya kepada Umbu Landu Wulang Paranggi untuk kategori seniman modern.

 Umbu juga menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 2020 kategori ‘Pencipta, Pelopor, dan Pembaru’ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Oleh karena itu, berikut ini puisi-puisi Umbu Landu Paranggi, sebagaimana mengutip di kepadapuisi.blogspot.com:

Sajak Dalam Angin

Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana

(Yogya, 1968)

Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240-241). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, Minggu, 26 April 1970.

 

Sajak Kecil

(1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku

(2)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari nafasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi

Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240). Puisi ini diambil dari Pusara, No. 1, Th. 43, Januari 1970.

 

Sabana

memburu fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang

sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda

sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu

lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala

Sumber : “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.

 

Aide Memoire 

bukalah jendela, di luar angin

menyiapkan pelaminan kemarau

sebelum burung-burung dan daunan

luput dari nyalang pandang dukaku

catatan-catatan mengubur segala kecewa

upacara kecil hari-hari kelampauanku

bukalah kerudung jiwa di sini

gemakan kenangan pengembaraan sunyi

jauh atau dekat, dari ruang ini

sebelum sayap-sayap derita dan kerja

pergi berlaga mendarahi bumi

dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu

di mana mengkristal rindu dendamku abadi

(1967)

Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 239). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 12 April 1970.

 

Ibunda Tercinta

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya

(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.

( MG – M. Febi Anggara )

 

 

 

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved