Menjaga Eksistensi Perjalanan Hidup Lewat Sumbu Filosofi
Menjaga Eksistensi Awal Hingga Akhir Perjalanan Hidup Lewat Sumbu Filosofi Yogyakarta
Penulis: Santo Ari | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY terus berupaya mensosialisasikan Sumbu Filosofi untuk menjadi Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Dari upaya tersebut, diungkapkan bahwa Panggung Krapyak merupakan bangunan yang berada di sisi paling selatan dan merupakan lambang awal perjalanan manusia.
Sedangkan Komplek Makam Raja-Raja Imogiri merupakan simbol dari akhir perjalanan hidup manusia. Kedua bangunan ini merupakan awal dan akhir dari sebuah kehidupan.
Kedua lokasi ini baik Panggung Krapyak maupun Makam Raja-Raja Imogiri berada di wilayah Kabupaten Bantul.
Terkait hal tersebut, Kabid Warisan Budaya, Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kabupaten Bantul, Risman Supandi menuturkan bahwa kondisi Panggung Krapyak saat ini dilaporkan dalam kondisi baik.
Beberapa upaya rehab telah dilakukan seperti yang dilakukan Kraton pada tahun 2015 melalui program anggaran Disbud DIY, perawatan oleh Kraton pada tahun 2018 dan pada tahun 2020 dilakukan pengecatan melalui program Disbud DIY.
"Dan saat ini Panggung Krapyak juga telah memiliki Juru Pelihara," ungkapnya.
Ia juga menyatakan bahwa Kabupaten Bantul melalui lintas OPD diberikan tugas dukungan kepada kawasan penyangga Panggung Krapyak saja, bukan pada kawasan inti.
Adapun dukungan yang diberikan antara lain sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka penyiapan Yogyakarta sebagai Kota Warisan Dunia (City of Heritage).
Baca juga: Reresik Pagebluk ala Ki Joko Wasis, Melukis Sambil Berjalan Kaki Menyusuri Sumbu Filosofi Yogyakarta
"Kundha Kabudayan Kabupaten Bantul terus memberikan dukungan untuk Kundha Kabudayan DIY dalam akselerasi dan sosialisasi kawasan sumbu filosofi menuju penetapan Yogyakarta sebagai kota warisan dunia oleh UNESCO," imbuhnya.
Ia menyebutkan bahwa Sumbu Filosofi merupakan siklus kehidupan manusia yang menggambarkan 'Sangkan Paraning Dumadi'" di mana Makam Raja-Raja Imogiri mewakili filosofi 'Paraning Dumadi'
"Artinya kita kembali ke sang pencipta. Maka Makam Raja-Raja imogiri ini merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia, menghadap kepada sang khalik," terangnya.
Maka dalam pelestariannya, pihaknya juga melakukan upaya dan dukungan dalam pelestarian Makam Raja-Raja Imogiri.
Seperti penyiapan perangkat hukum penataan ruang di kawasan penyangga yang saat ini ada Rencana Tata bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk kawasan Giriloyo dan Banyusumurup.
Termasuk penyiapan koneksi wifi berbasis fiber optik dan panduan wisata berbasis QR Code di Kawasan Makam Raja-Raja Imogiri dan program serta kegiatan lainnya.
Sementara itu Panewu Anom Kapanewon Imogiri, Sunarto menyatakan bahwa Makam Raja-Raja Imogiri merupakan pintu gerbang budaya yang terdapat di wilayah Kalurahan Wukirsari dan sedikit ada di wilayah Girirejo.
Ia menyatakan bahwa keberadaan Makam Raja-Raja Imogiri ini berdampak luar biasa dalam pengembangan sektor pariwisata, ekonomi dan pendidikan budaya.
"Kaitannya ekonomi banyak berdirinya kuliner di sepanjang jalan maupun di sekitar lokasi pintu masuk. Dari sisi pendidikan, mengajarkan masyarakat untuk sadar untuk meng-handarbeni (rasa memiliki) dibuktikan dengan adanya organisasi kemasyarakatan yang dinamakan forum pecinta budaya (forcib)," ungkapnya.
Berbagai ritual dilakukan oleh forum ini seperti pelaksanaan Kirab Budaya Imogiri dengan 'Nguras Enceh' oleh masyarakat. Ritual ini merupakan salah satu bentuk kerjasama dengan Dinas Kebudayaan.
"Kita selalu sosialisasi agar kaum muda ikut melestarikan budaya yang yang ada. Bahkan banyak berdiri kerajinan yang mendukung, misalnya banyak industri keris di wukirsari dan Girirejo dan kerajinan lain seperti wayang dan sebagainya. Ini salah satu bentuk upaya kita melestarikan budaya adiluhung di Indonesia," tandasnya.(Tribunjogja)
