Inilah Empat Orang Indonesia yang Pertama Injakkan Kaki di Dasar Kaldera Tambora
Erupsi Tambora mencapai level 7, atau Volcanic Explosivity Index (VEI) 7. Ini hanya satu strip dari indeks maksimum letusan gunung berapi di bumi
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Letusan paroksimal Gunung Api Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sudah dikenal luas. Kisahnya mendunia lewat karya tulis para geolog, vulkanolog, antropolog dan ahli sejarah barat maupun nasional.
Gubernur Jenderal Stamford Raffles juga menyinggung peristiwa itu dalam buku legendarisnya “The History of Java”.
Tambora meletus ketika Inggris mengambilalih kekuasaan Belanda di Nusantara.
Letusan Tambora dianggap paling spektakuler di muka bumi, sesudah letusan katastrofik purba Gunung Toba di Sumatera Utara.
Erupsi Tambora mencapai level 7, atau Volcanic Explosivity Index (VEI) 7. Ini hanya satu strip dari indeks maksimum letusan gunung berapi di permukaan jagat ini.
Gunung yang diperkirakan tadinya berketinggian 4.300 mdpl, terpangkas menyisakan tubuh gunung hingga tepian kalderanya kini 2.772 mdpl.
Puluhan ribu orang tewas di Sumbawa dan daerah-darah lain termasuk Bali. Tiga kerajaan kuno di kaki gunung itu, Tambora, Pekat dan Sanggar, lenyap tak berjejak.
Gelegar ledakan ketika gunung meletus terdengar hingga Bengkulu, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi. Pulau Jawa tersiram abu vulkanik tebal.
Bubungan debu vulkanik menjangkau atmosfer dan terbang hingga ke benua Eropa, menjadikan cuaca berubah sangat ekstrem dan masa itu dijuluki tahun tanpa cahaya matahari.
Sebanyak 150 kilometer persegi material dimuntahkan dari Tambora. Hampir sebagian besar puncaknya lenyap, menyisakan kaldera maha luas yang tampak hingga hari ini.
Pengetahuan tentang peristiwa itu selama berpuluh-puluh tahun sejak terjadinya letusan spektakuler 11 April 1815, banyak disandarkan pada laporan dan tulisan orang-orang Eropa.
Sejumlah orang Belanda dan pakar gunung api dunia telah menjejaki tepian kaldera raksasa Tambora sesudah 1815.
Tapi tahukah Anda, siapa orang yang pertama kali menginjakkan kaki di dasar kaldera Tambora sesudah meletus hebat?
Sebuah buku kusam bersampul hijau, yang diketik mesin manual, menggunakan ejaan lama, menguak fakta menarik tentang sisi lain sejarah Tambora.

Buku itu berjudul “Laporan Kawah G Tambora (Djazirah Utara P Sumbawa)”.
Diterbitkan Bagian Urusan Gunung Api Djawatan Pertambangan Republik Indonesia masih sangat belia umurnya ketika itu.
Buku laporan berusia 70 tahun itu jadi satu di antara koleksi Perpustakaan BPPTKG Yogyakarta.
Bagian Urusan Gunung Api itu sekarang dikenali sebagai Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Lembaga ini di bawah Badan Geologi Kementerian ESDM, yang berpusat di Kota Bandung, Jawa Barat. Laporan itu diterbitkan 24 Desember 1951, disusun MI Adnawijaya dan M Chatib.
Keduanya pegawai Urusan Gunung Api di Djawatan Pertambangan pada masa itu. Adnawijaya dan Chatib disertai dua pegawai lain, O Rukman dan Hamim, dikirim ke Sumbawa guna menelisik Tambora.

Misi pendakian, eksplorasi , survei dan pemetaan Tambora itu dilaksanakan hampir 3 bulan, antara April hingga Juni 1951.
Ekspedisi berlangsung sangat lama karena sarana transportasi masih menggunakan kapal laut, jukung, dan kuda. Alam Tambora juga masih sangat rapat dan ganas.
Bagian paling menarik dari laporan proyek ini terdapat di halaman 17, ketika Adnawijaya dan Chatib menulis laporan hasil peninjauan kawah Tambora.

Mengutip laporan vulkanolog WA Petroeschvsky yang menginjakkan kaki di puncak Tambora pada 1947, ada sejumlah orang yang sebelumnya telah melihat keadaan puncak gunung itu.
Secara berurutan dimulai dari M Zollinger yang pada 11 Agustus 1847 tiba di tepi kaldera timur Tambora. Ia berada di lokasi itu sekira satu jam lamanya.
Orang kedua II Pannekoek van Reden yang pada 14 September 1913 tiba di tepi kaldera selatan. Beberapa jam ia meninjau keadaan puncak Tambora.
Berikutnya ada ahli bernama C.A.N de Voogd dan P Kloster yang pada 5 November 1933 tiba di tepi kaldera barat dan berada di lokasi itu sejam lamanya.
Selanjutnya ada G Bjorklund, administrator Perkebunan Kopi Tambora yang 2 atau 3 kali muncak ke Tambora antara 1935-1940.

Berikutnya P Bloomberg pada 1941 mendaki ke puncak Tambora, disusul ekspedisi WA Petroeschvskypada pada 28-29 Mei 1947.
Peneliti terakhir ini sekira 5 jam berada di tepi kaldera barat Tambora dan melakukan sejumlah pengamatan meliputi kedalaman kaldera, danau di dalam kaldera dan temperatur kawah.
Adnawijaya dan Chatib dalam laporan itu menuliskan, di antara para peninjau itu seorang pun tidak ada yang jadi pemeriksa kawah dan turun ke dasar kaldera.
“Menurut perslah tersebut, sedjak letusan tahun 1815 baharu ini kali (Mei 1915) dasar kawah Tambora diindjak2 oleh pemeriksa Dinas Gunung Berapi. Sekian dan inilah sebagai keterangan jang tersingkat,” tulis Adnawijaya.

Dalam laporan cukup rinci ini, yang menulis secara kronologis dan mendetil urutan eksepedisi berikut kesukaran-kesukaran yang dihadapi, dilampirkan banyak foto perjalanan lapangan.
Foto-foto cetakan hitam putih itu ditempelkan secara urut disertai keterangan di masing-masing foto. Kondisi foto yang berukuran kecil-kecil cetakan 1951 itu masih sangat baik.
Di antaranya memperlihatkan kuartet pegawai Djawatan Pertambangan itu di berbagai lokasi, termasuk di dasar kaldera raksasa yang diameternya sekira 7 kilometer itu.

Ekspedisi Tambora oleh empat petugas Djawatan Pertambangan RI sempat mengalami kegagalan dari rencana awal.
Penyebabnya, mereka ketinggalan kapal laut yang berlayar ke Pulau Sumbawa. Semula, ekspedisi akan dilaksanakan mulai 17 Maret 1951, berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Dalam buku laporan itu ada tertulis demikian, “Setelah tiba saatnja, semua tepat mendjalankan rentjana. Akan tetapi, tg 16 Maret 1951 djam 22.00 ketika datang di Penginapan Sukahati Djakarta saja tertjengang,” tulis Adnawijaya.
Ternyata kapal laut yang hendak mereka tumpangi, sudah berangkat dari Priok ke Sumbawa pada 13 Maret 1951, atau tiga hari sebelumnya.

Ini halangan pertama yang dihadapi para petugas, di tengah masih minimnya alat komunikasi jarak jauh. Akhirnya Adnawijaya dan semua anggota tim berikut peralatannya kembali ke Bandung.
Dinas Gunung Berapi (DGB) yang kala itu dipimpin Drs GA de Neve, kelabakan. De Neve yang kala itu berada di Gunung Lokon, Sulawesi Utara terkejut karena semua rencana sudah dipersiapkan matang.
Termasuk koordinasi dengan pemerintah setempat di Sumbawa. Akhirnya misi ditunda dan baru dilanjutkan bulan berikutnya.

Pada 10 April 1951, Adnawijaya, Chatib, Rukman dan Hamim berangkat menumpang kapal laut De Eerens dari Tanjung Priok menuju Pulau Sumbawa.
Kapal singgah di Tanjung Perak Surabaya, dan baru tiba di Labuhan Badas Sumbawa pada 16 April 1951. Di pelabuhan ini hanya Andawijaya dan Chatib yang turun.
Hamim dan Rukman melanjutkan pelayaran ke Bima, karena barang bawaan dan peralatan diturunkan di kota ini.
Butuh waktu empat hari hingga tim berkumpul lagi di Sumbawa, dan melanjutkan perjalanan ke Labuhan Kananga menggunakan perahu jukung layar.

Sebelumnya mereka singgah di Pulau Moyo, dan baru 22 April tiba di Labuhan Kananga. Dari titik inilah perjalanan mendaki Tambora akan dimulai.
Tim disambut Camat Sanggar, Djeneli, kepala kampung dan para tetua serta para pekerja yang ditugaskan membantu ekspedisi ini ini ke puncak Tambora.
Para penyelidik gunung berapi dari Bandung ini kemudian bermalam di Perkebunan Kopi Tambora. Perjalanan menuju puncak akhirnya dimulai hari berikutnya, 23 April 1951.(Tribunjogja.com/xna)
