Headline
Gubernur Diminta Selesaikan Persoalan Pungli Sekolah di Masa Pandemi
Yuliani Putri S: "Silang sengkarut pendidikan di DIY ini dari 2007 tidak berakhir sampai sekarang. Akhirnya kami putuskan somasi terbuka.
Penulis: Tribun Jogja | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X mendapat surat somasi terbuka dari Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) terkait persoalan pendidikan. Para perwakilan AMPPY itu mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pada Senin (9/11/2021) siang, untuk menyuarakan surat somasi tersebut.
Ada tiga persoalan pendidikan yang membuat mereka merasa tak puas, hingga kemudian melayangkan surat somasi kepada Gubernur DIY. Pertama, masih dijumpai pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah baik jenjang SMP maupun SMA/SMK. Persoalan kedua, terkait penahanan ijazah. Ketiga, terkait penjualan seragam sekolah.
"Silang sengkarut pendidikan di DIY ini dari 2007 tidak berakhir sampai sekarang. Akhirnya kami putuskan somasi terbuka untuk Gubernur DIY dan Disdikpora DIY," jelas Koordinator AMPPY, Yuliani Putri Sunardi, di kantor LBH Yogyakarta.
Yuli mengklaim, biarpun saat ini dunia dilanda pandemi, pungutan di sekolah itu masih banyak dijumpai. Meskipun dari pihak sekolah menyebut, bahwa pungutan itu sesungguhnya merupakan uang sumbangan peningkatan mutu. Namun, oleh Yuli hal itu tetap saja dinilai memberatkan para wali murid.
"Fakta, di musim pandemi tidak berubah. Di aturannya jelas, pungutan apa pun tidak dibolehkan. Dinas sudah keluarkan SE (surat edaran), tapi enggak mempan. Ini kan yang kami persoalkan sekolah negeri, kan negara yang nanggung," tegas dia.
Dijelaskan Yuli, besaran uang yang dipungut pihak sekolah sangat beragam. "Alasannya untuk peningkatan mutu. Kedua, untuk bangun gapura, dan lain-lain. Indikatornya apa? Dan yang bikin miris, kalau (pungutan) itu enggak diselesaikan (dibayar) ijazahnya ditahan," urainya.
Yuli memaparkan, beban siswa luar daerah semakin berat sebab mereka harus mengeluarkan biaya tambahan transportasi, apabila harus mengambil ijazah yang ditahan karena belum terbebas dari biaya-biaya yang dimaksud.
"Pihak sekolah ada yang mengklarifikasi kalau itu sebenarnya tidak ditahan, melainkan belum cap tiga jari. Padahal, siswanya sudah datang untuk cap tiga jari cuma ditolak, karena belum melunasi uang itu," ujarnya.
Berdasarkan data yang didapat dari Sekretariat Persatuan Orang Tua Peduli Pendidikan (Sarang Lidi) Yogyakarta, ada 57 ijazah tingkat SMA dan SMK di Bantul yang masih tertahan di sekolah sepanjang 2021.
Sedangkan di Kabupaten Kulon Progo, sedikitnya ada 19 ijazah SMA dan SMK yang masih tertahan di sekolah sepanjang 2021. Untuk Kota Yogyakarta, total ijazah SMA dan SMK yang masih tertahan di sekolah mencapai 1.139 lembar.
Data tersebut terus diperbarui tim Sarang Lidi Yogyakarta, terutama untuk kabupaten lainnya yang ada di DIY, yakni Gunungkidul dan Sleman. "Jadi ini aturan sudah jelas, tidak ada pungutan liar dan penahanan ijazah. Sri Sultan mengatakan di DIY sudah tidak ada lagi pungutan," jelasnya.
Sementara itu, orang tua wali yang turut mengadu ke LBH Yogyakarta, Robani mengatakan, anaknya masuk ke sekolah berdasarkan perolehan nilai. Begitu sang putra sudah masuk ke sekolah menengah pertama negeri, ia kemudian diberi undangan oleh pihak sekolah terkait sosialisasi.
"Di situ dibahas soal sumbangan itu. Intinya bahwa untuk peningkatan mutu sekolah. Itu harus ada sumbangan dari wali murid, yang intinya waktu dan besarannya ditentukan. Nah, itu sumbangan apa tuntutan?" ujarnya.
Robani mengaku, dalam pertemuan dengan komite itu berisi sosialisasi Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS) terkait besaran anggaran per tahun yang akan ditempuh. Serta dijelaskan pula berapa kekurangan anggaran belanja sekolah di tahun itu yang nantinya wajib dipenuhi oleh para wali murid.
"Dari kekurangan itu, ketemu jumlah uang yang harus dipenuhi oleh wali murid sekian," terang dia. "Kemudian SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan), itu kan sejak 2017 Pemda DIY sudah menghapus SPP. Tapi tetap masih ada," ungkap Robani.
Sedangkan Bidang Advokasi LBH Yogyakarta, Ryan Akbar menyatakan, melalui surat somasi itu, diharapkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Kepala Disdikpora DIY merespons persoalan di dunia pendidikan tersebut.
"Kami meminta kepada gubernur sebagai pemangku kebijakan tingkat provinsi untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Mulai hari ini (kemarin) somasi terbuka ini sudah harus dijalankan," tandas Ryan.
Sorotan ORI
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DIY meminta Pemda DIY, dalam hal ini Disdikpora DIY untuk melakukan pengawasan lebih tegas ke sekolah. Sebab masih ada keluhan mengenai praktik pungli.
Kepala ORI Perwakilan DIY, Budhi Masturi mengatakan, hingga saat ini masih banyak pungli di sekolah yang berkedok sumbangan. Padahal faktanya sumbangan tersebut wajib diberikan dan sejak awal nominalnya sudah ditentukan.
“Kami mendorong Pemda DIY untuk menghentikan praktik tersebut. Kami selalu menerima keluhan terkait sumbangan tersebut, sudah kami sampaikan juga ke Disdikpora DIY. Tapi sampai saat ini masih terjadi," jelasnya, Selasa (9/11/2021).
Budhi menilai, masih adanya pungli di sekolah menunjukkan kurang seriusnya Pemda DIY dalam mengatasi pungli. Menurut dia pengawasan dan penindakan Disdikpora DIY masih kurang serius.
Budhi mendorong agar Pemda DIY merevisi Perda No. 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Pendanaan Pendidikan. Dalam Perda tersebut memang memperbolehkan sekolah meminta sumbangan. Hanya saja pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat.
Menurut dia, perda tersebut harus direvisi agar menutup ruang bagi sekolah untuk mengambil pungutan. Ia juga mendorong agar sekolah lebih kreatif dalam mengumpulkan pendanaan.
"Sekolah bisa lebih kreatif, bisa dengan CSR (corporate social responsibilty) perushaan. Kami mendorong agar Perda nomor 10 Tahun 2013 direvisi," ujarnya.
Budhi menambahkan, pengawasan yang harus dilakukan meliputi legalitas, akuntabilitas, dan transparansi penggunaan anggaran. Sehingga uang yang diterima sekolah legal untuk digunakan.
"Sekolah bilangnya untuk pengembangan sekolah atau untuk institusi. Bunyinya seperti itu tetapi faktanya enggak ada. Apakah kemudian bangku sekolah baru setiap tahunnya? Kan tidak. Nah, ini yang harus diawasi," imbuhnya. (hda/maw)