Feature

Harga Belalang Mentah Terlalu Tinggi, Nasib Penjual Walang Goreng di Tengah Wisata yang Belum Dibuka

Meski harga bahan bakunya sedang melambung, ia tidak menaikkan harga setoples walang goreng sama sekali, karena tak ingin dikomplain pembeli.

Penulis: Alexander Aprita | Editor: Agus Wahyu
TRIBUNJOGJA.COM / Alexander Ermando
MELAPAK - Sutini, pedagang Walang Goreng di pinggir Jalan Yogya-Wonosari, sekitar Rest Area Bunder, Playen, Gunungkidul. 

Hanya ada sekitar 5 toples berisi belalang goreng yang disiapkan Sutini (40) di lapaknya, persis di pinggir Jalan Yogya-Wonosari, dekat Rest Area Bunder, Playen, Gunungkidul. Sementara kendaraan di depannya hanya lalu lalang tanpa ada yang sejenak menepi.

SATU toples belalang goreng, atau yang populer disebut walang goreng itu dijualnya seharga Rp25 ribu. Terbilang standar, namun rupanya tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan Sutini.

"Walang sekarang lagi ndak musim, harga mentahnya mahal sampai Rp130 ribu per kilogram," tutur Sutini ditemui pada Kamis (7/10/2021) sore lalu.

Sutini adalah satu dari sekian penjual Walang Goreng yang membuka lapaknya di sepanjang kawasan Rest Area Bunder itu. Profesi ini pun sudah dilakoninya sekitar 5 tahun terakhir. Ibu dua anak asal Kalurahan Mulo, Wonosari, ini mengungkapkan, bahwa memang saat ini belum musim belalang.

Menurutnya, persediaan belalang baru melimpah saat memasuki musim hujan. "Kalau lagi musim harga mentahnya Rp50 ribu sampai Rp60 ribu sekilo, (musim) kemarau seperti ini memang sulit untuk mendapatkan belalang," ujar Sutini.

Meski harga bahan bakunya sedang melambung, ia tidak menaikkan harga setoples walang goreng sama sekali, karena tak ingin dikomplain pembeli. Siasatnya, ia kurangi sedikit isi dari toples tersebut.

Sutini kini tak hanya dihadapkan dengan harga bahan baku tinggi. Sejak PPKM diberlakukan, praktis pembeli yang mampir ke lapaknya merosot tajam, mengingat kebanyakan adalah wisatawan.

"Pas sebelum pandemi bisa habis 50 toples sehari, sekarang 20 toples terjual saja sudah bersyukur," katanya.

Sutini seakan tak ada pilihan. Pasalnya suami hanya bekerja sebagai buruh bangunan, anak tertuanya kini menggarap lahan pertanian, sedangkan ia juga masih harus menanggung biaya sekolah si bungsu.

Sama warga lainnya, ia berharap pintu wisata segera kembali dibuka. Sebab dari situlah hasil pendapatan untuk kehidupannya sehari-hari bisa diperoleh. "Mau bagaimana, ndak mungkin saya nganggur karena tetap butuh makan," ujar Sutini.

Tutup lapak
Lain cerita dengan Suhartini (39), penjual walang goreng di Pedukuhan Gadungsari, Wonosari. Ia tergolong penjual veteran, sudah punya tempat bahkan sempat menyewa dua kios di kawasan Siyono dan Gading, Playen.

Namun, dua kios tersebut kini tinggal cerita. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak dua kios tersebut karena pandemi menerpa sejak 2020 lalu. "Kalau yang Gading tutup tahun lalu, Siyono baru Agustus ini," ungkap Suhartini.

Kondisi ekonomi yang sulit ditambah hasil penjualan yang menurun membuat ia terpaksa memutus kontrak dua kios itu. Penjualan pun kini hanya terpusat di rumahnya.

Sebelas dua belas dengan Sutini, Suhartini juga menyebut harga belalang mentah kini tengah membubung tinggi. Lantaran penjualan juga menurun, produksi walang goreng pun ikut ia kurangi. "Biasanya bisa 20 kilo sehari, sekarang cuma tak siapkan 5 kilo sehari. Itu pun syukur-syukur habis terjual," katanya.

Beruntung, Suhartini masih bisa mengandalkan pelanggan setianya. Paling banyak dari Jakarta dan Surabaya, namun tak sedikit pula pesanan datang dari Kalimantan hingga Sulawesi.

Pembeli yang datang ke rumahnya langsung masih cukup banyak. Pun begitu, penjualan secara daring tetap ia upayakan demi menambah penghasilan. "Semua dilakoni pokoknya," ujar Suhartini. (Alexander Ermando)

Baca Tribun Jogja edisi Selasa 12 Oktober 2021 halaman 01

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved