Warga Sleman Ini Mendadak Jadi Miliarder Setelah Terima UGR Tol Yogyakarta-Bawen, Ini yang Dilakukan
Sejumlah warga di Padukuhan Pundong Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati yang terdampak proyek pembangunan tol Yogyakarta-Bawen telah menerima ganti
Penulis: Ahmad Syarifudin | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Sejumlah warga di Padukuhan Pundong Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati yang terdampak proyek pembangunan tol Yogyakarta-Bawen telah menerima ganti rugi.
Satu di antaranya Arif Ikhsan Nur Fitri, warga Pundong IV. Banyak cerita tetangga, uang ganti rugi pembangunan proyek tol digunakan untuk membeli mobil.
Namun bagi dia, uang ganti rugi harus dimanfaatkan dengan bijak. Karenanya, Ia memilih membelanjakan uang untuk kembali membeli tanah dan membangun rumah.
Baca juga: Ini Alasan DI Yogyakarta Masih Terapkan PPKM Level 4, Begini Penjelasan Sekda DIY
"Sebenarnya kan tanah dan rumah tidak ingin dijual. Tapi, karena dibutuhkan negara, maka terpaksa (dijual). Makanya uang dari tanah dibelikan lagi ke tanah, kalau bisa malah lebih luas," kata dia, ditemui di rumahnya, di padukuhan Pundong IV, Selasa (31/8/2021).
Fitri dan keluarganya telah mendapat uang ganti rugi proyek tol Yogyakarta - Bawen pada 19 Agustus lalu sekira Rp 2,5 miliar.
Uang tersebut atas ganti rugi sebidang tanah dan bangunan seluas 380 meter dengan nominal Rp 1.985.000.000-.
Kemudian, Ia juga memiliki kebun pisang di Padukuhan Pundong III seluas 210 meter, dihargai Rp 251 juta.
Dari uang tersebut, Fitri sudah membelanjakan untuk membeli tanah seluas 600 meter.
Kemudian membangun kembali rumah di Padukuhan Pundong V, masih di Kalurahan Tirtoadi.
Menurut dia, sebagai warga terdampak pembangunan tol tidak lantas bahagia.
Perasaannya campur aduk. Memang benar memiliki uang ganti cukup banyak.
Namun baginya ada hal yang tidak bisa dinominalkan dengan materi. Yaitu, sejarah dan kenangan.
"Di rumah ini, saya punya banyak kenangan. Saya kecil dan besar di sini. Nantinya, akan berubah menjadi jalan tol, yang kita sendiri tidak mesti melewati jalan tol itu," ucap dia.
Fitri bercerita, dirinya memiliki simbah dan keberatan untuk pindah.
Tidak mau menjual rumah. Karena menganggap rumah dan tanah adalah tumpah darah kelahiran. Namun sekuat apapun berusaha mempertahankan, negara membutuhkan untuk dibangun fasilitas jalan.