Kisah Porter Stasiun Tugu Yogyakarta, Memilih Tidur di Stasiun untuk Menghemat Uang

Pembatasan mobilitas di tengah pandemi dianggap merugikan bagi pekerja informal oleh beberapa orang, salah satunya Suratman warga Wonosari

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Miftahul Huda
Suratman dan beberapa pekerja porter di Stasiun Tugu Yogyakarta menunggu penumpang, Senin (23/8/2021) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pembatasan mobilitas di tengah pandemi dianggap merugikan bagi pekerja informal oleh beberapa orang, salah satunya Suratman warga Wonosari, Kabupaten Gunungkidul.

Pria berusia 52 tahun itu adalah seorang porter di Stasiun Besar (Tugu) Kota Yogyakarta.

Sebagai seorang porter di stasiun, Suratman hafal betul jadwal keberangkatan dan kedatangan kereta api di Stasiun Tugu Yogyakarta.

Begitu terlihat calon penumpang atau mereka yang baru tiba di stasiun, dan merasa kesusahan mengangkat barang bawaan, maka dengan sigap ia menawarkan jasa angkat barang kepada siapa saja yang membutuhkan.

Namun semejak berlakunya pembatasan mobilitas karena adanya pandemi Covid-19 saat ini, Suratman lebih banyak terdiam di lorong pintu masuk Stasiun Tugu.

Suratman dan rekan-rekan porter lainnya tetap tabah, meski terkadang harus pasrah di tengah keadaan yang semakin tak jelas ini.

Dia mulai bekerja di lingkungan Stasiun Tugu sejak 1980. Dulunya Suratman merupakan petugas kebersihan, dan setelah itu ia memilih menjadi porter atau pramuantar. 

Baca juga: Kurs Rupiah-Dollar di Awal Pekan Hari Ini Senin 23 Agustus 2021, Berikut Nilai Tukar di 5 Bank

"Saya sudah dari 1980 masuk stasiun sini. Sebelumnya nyapu-nyapu di sini, setelah itu saya dikasih kesempatan menjadi porter," kata bapak dua anak ini ditemui, Senin (23/8/2021)

"Pokoke sengsara karo sengsara (pokoknya sengsara dan sengsara)," ucapnya saat ditanya soal PPKM Level 4 yang diterapkan di Kota Yogyakarta saat ini.

Pendapatannya selama ini hanya bergantung pada mobilitas masyarakat yang menggunakan kereta api. 

Namun dia hanya pasrah karena saat ini kondisi Stasiun Tugu Yogyakarta masih sepi.

Agar penghasilannya terkumpul banyak, Suratman pun memilih tidur di stasiun supaya uang transport untuk pulang ke rumahnya sebesar Rp 35 ribu bisa utuh.

"Istri saya Wonosari kalau saya pulang biaya Rp 35 ribu sekali jalan. Kalau kaya gini saya lebih baik nggak pulang tidur di stasiun di sini," katanya. 

Dia menjelaskan, sebelum PPKM diberlakukan, Suratman seringkali menglaju dari Wonosari ke Stasiun Tugu Yogyakarta.

"Dulu laju. Kan ini satu haru satu malam. Ini masuk besok 10 siang libur lagi. Untuk menghemat. Kedua perjalanan sana ke sini kan sayang jadi untuk makan sehari-hari. Terkumpul saya kirim sana (rumah)," ujarnya. 

Ia menjelaskan, tarif angkut para porter ini berkisar Rp 20 ribu. Namun tak jarang penumpang memberikan lebih. Di hari sebelum pandemi, tiap porter bisa mengantongi penghasilan di atas Rp 100 ribu. 

Akan tetapi, menurutnya untuk mendapat Rp 60 ribu ditengah pandemi seperti saat ini mereka harus menunggu lebih lama. Kadang juga hingga larut malam. 

"Sehari saya kan sering masuk jadi ngagk pulang jadi dapat 2 kali 3 kali angkut. Jadi sehari sekiar Rp 60an ribu," ujarnya. 

Dia menjelaskan bahwa sebenarnya jumlah penumpang sudah lumayan banyak sebelum kebijakan PPKM. 

Namun karena Juni ada lonjalan kasus corona, kebijakan pengetatan ini mau tak mau harus diambil pemerintah. 

"Yang penting tlaten, sabar. Pasti dapat walau pun satu hari satu malam (menunggu)," katanya optimis. 

Suratman bersyukur mendapat sejumlah bantuan dari pemerintah juga pihak lain. Namun, bukan itu yang dia harapkan untuk jangka panjang. Dia ingin ekonomi Yogyakarta sebagai kota periwisata menggeliat. 

Dia sadar nasib kurang baik saat ini tidak hanya menimpa dirinya, tetapi juga para pekerja informal lain. Seperti tukang becak, andong, dan lain sebagainya. 

"Paling diharapkan kembali normal. Perputaran uang kan dari itu tadi. Hotel pada tutup juga kasihan. Tukang becak juga terdampak," ujarnya. 

Baca juga: RAMALAN ZODIAK Besok Selasa 24 Agustus 2021 : Ada yang Ingin Anda Gagal

Suroso (45) asal Sleman adalah rekan Suratman sesama porter. Dia sudah 7 tahun bekerja di sini. Kondisi pandemi ini menurut Suroso memaksa rekan-rekan lainnya mencari pekerjaan lain. 

"Kita porter ada 100 dibagi 2 shift. Satu shift 50 orang. Sekarang paling yang berangkat 15. Lain cari kerja di luar ada di proyek (pembangunan), asal dapat penghasilan," kata Suroso. 

Saat ini kereta belum banyak jalan. Jika dulu satu hari satu malam setidaknya ada 30 perjalanan kereta, kini menyusut hanya sekitar 8 perjalanan. 

"Kereta belum banyak yang jalan. Ada aturan usia 12 tahun ke bawah kan belum boleh naik. Yang boleh 12 tahun ke atas dengan syarat sudah vaksin dan rapid antigen.  Sepi. Satu rangkaian paling penumpang 100an," ujarnya. 

Lantaran mayoritas penumpang adalah pekerja, maka mereka tidak membawa banyak barang seperti wisatawan. Ketika penumpang tak membawa banyak barang otomatis jasa porter terabaikan. 

"Kalau sekarang tidak bisa diprediksi (pendapatan sehari-hari). Yang pengaruh dari Jakarta, Bandung itu bawaannya banyak," ujarnya. (hda)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved