Headline

Hanya Tersisa Air Mata, Duka Tak Bertepi di Kala Pandemi

"Saya berangkat pagi, enggak mikir nanti mau dapat apa yang penting keluar (rumah) aja," ujar Sri Prapti.

Editor: Agus Wahyu
TRIBUNJOGJA.COM / Azka Ramadhan
Suasana Jalan Malioboro yang tampak lengang seiring diterapkannya penyekatan selama PPKM Darurat, Kamis (8/7/2021). 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun benar-benar menyesakkan dada. Akhir-akhir ini berita duka terus saja merasuk, nyaris setiap hari. Entah itu tentang kabar kehilangan atau mengenai orang yang semakin terimpit ekonomi yang sulit. Ini sekelumit kisah-kisah duka di Yogyakarta.

Sri Prapti (49) saat ditemui Tribun Jogja di kawasan Malioboro sebelumnya terlihat mondar-mandir. Sesekali ia bercanda dengan rekan sesama pedagang di kawasan termasyhur itu pada Minggu (18/7/2021) siang.

Sri tak membawa dagangan apa pun, karena sebelum pandemi menggila, dia adalah pedagang kaki lima (PKL) yang menjual kaus oblong di Malioboro. "Ini pedagang semua. Kondisi sekarang yang buat dimakan enggak ada," katanya memulai obrolan.

Karena lapak jualan kausnya sudah dirapikan petugas dan diminta untuk tidak berjulan sementara waktu, Sri kini beralih menjadi penjual tisu di beberapa persimpangan jalan Kota Yogyakarta. "Itu pun susah lakunya," ucapnya.

Padahal tanggungan dia saat ini banyak. Seperti harus membayar uang sewa indekos per bulan sebesar Rp500 ribu. Belum lagi kebutuhan makan sehari-hari bersama suami harus tetap dipenuhi, serta uang listrik, dan kebutuhan mendesak lainnya.

Sri tak pernah minum multivitamin atau suplemen lain untuk menjaga kondisi tubuh di tengah wabah ini. Untuk makan saja diakui olehnya sangat sulit. Bahkan, ia mengaku tidak peduli lagi jika dirinya terpapar Covid-19.

Bukan karena ia tak percaya dengan virus tersebut, akan tetapi keadaan yang membuat dirinya berpikir demikian. "Saya sudah enggak mikir mau kena Covid-19 tidak. Memang Covid-19 itu ada, tapi kalau kami mikir terus malah enggak bisa apa-apa," jelasnya, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Emosi Sri mulai tak terkendali lagi siang terik itu. Ia sempat menitikkan air mata karena sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa dengan kondisi saat ini. Nasib baiknya, pemilik rumah yang ia sewa masih peduli dan sesekali memberinya makan ketika ia pulang dari aktivitasnya.

"Saya berangkat pagi, enggak mikir nanti mau dapat apa yang penting keluar (rumah) aja. Kalau enggak dapat apa-apa bu kos tanya, ‘gimana, Sri?’ Saya jawab, sepi, Bu. Saya sampai disediakan makan sama bu kos," ungkapnya.

Rasa tak enak hati itu selalu muncul, oleh sebab itu Sri selalu keluar rumah untuk mencari apa pun yang ada di luar sana. "Beberapa hari makan saya yang masak bu kos. Tetap saya pekewuh. Saya tinggal di Gowangan," ujar Sri.

Sebagai pekerja informal, Sri menilai kebijakan pemerintah kali ini tidak cukup memberikan solusi karena bantuan sembako atau lainnya tidak ada. "PPKM sekarang tidak ada solusi. Kalau dulu meski ada pembatasan sembako masih ada," paparnya.

Keinginan Sri sederhana, ia berharap suasana riuh wisatawan di Malioboro dapat kembali dirasakan. Karena dari wisatawan itulah dapur rumah Sri bisa ngebul, dan ia tidak lagi terbebani biaya ongkos sewa tempat tinggal.

"Sekarang saya nunggak bayar uang sewa (indekos). Untung saja ibu pemiliknya baik, dan bisa mengerti kondisi sekarang. Jadi, ya, saya ke sini (Malioboro) cuma nongkrong saja, nunggu ada yang ngasih bantuan sembako," ujarnya.

Siang itu, Sri memang sudah mendapat satu plastik berisi beras. Rencananya beras itu mau diberikan ke pemilik rumah tinggal yang ia sewa. "Ya, gitu, enggak enak saya dimasakin terus. Jadi beras ini biasanya saya taruh, biar bu kos enggak terlalu berat," tutur dia.

Perempuan asal Wates, Kulon Progo ini enggan kembali ke kampung lantaran itu hanya akan menjadi beban orang tuanya di rumah. Penghasilan suaminya yang setiap hari mengamen di kawasan kuliner Jalan Marga Utama (Mangkubumi) tidak mencukupi untuk bekal pulang ke rumah.

"Mau pulang, ya, tambah beban saya di rumah. Suami kerja ngamen di Mangkubumi, ya, sekarang sepi, enggak ada yang jualan," ucap Sri dia dengan pelupuk mata yang terus membasah.

Dirinya mengaku sama sekali tidak memiliki mental berpangku tangan. Hanya sekarang saja kondisi serba susah, sehingga ia harus tetap keluar rumah agar ada sesuatu yang bisa ia bawa pulang. “Biarpun ada orang mau beli tisu saya dan menolak membawa tisu tetap tak paksa buat bawa. Aku bukan pengemis, kok," ungkapnya.
Ia merasakan beban terberat semasa pandemi mulai terasa akhir-akhir ini, perjuangannya bertahan dalam situasi sulit ini menurutnya diperparah dengan kebijakan PPKM Darurat dari pemerintah. “Sekarang kami menaruh harapan ke pemerintah juga enggak ada. Mana, pemerintah enggak mau tahu, kami sakit apa enggak, kami makan apa enggak," ujar Sri

Tak Berpenghasilan
Beban berat yang sama juga dirasakan perempuan bernama Sari Setiasih yang sehari-hari berjualan air mineral di sekitar Pasar Beringharjo. Sari juga sama seperti Sri, harus rutin membayar sewa tempat tinggal setiap bulannya.

Sementara sejak 3 Juli lalu, ia mengaku sama sekali tidak mendapat penghasilan lantaran Pasar Beringharjo tutup.
Rupanya mereka sengaja berkumpul untuk saling menguatkan dan menanti uluran tangan dari orang baik yang memberi bantuan sembako atau yang lainnya. "Ya, di sini hanya duduk-duduk, syukur, ya, ada orang yang mau beli, sama ngasih bantuan sembako atau apa," ungkap Sari.

Kondisi serupa juga dirasakan pekerja informal lainnya, yakni Sakijo (55), seorang tukang becak kayuh. Ditemui tak jauh dari Gedung Agung, dia sibuk menawarkan jasa becaknya kepada siapa pun yang melintas. "Sekarang cari penghasilan sepi. Jalan ditutup, kalau malam lampu dimatikan. Keluarga kami butuh makan," katanya.

Sampai sekitar 30 menit setelah mentari tepat di atas kepala, Sakijo mengaku belum mendapat satu pun penumpang yang bersedia diantar. Padahal ia sudah mangkal di Gedung Agung sejak pukul 08.00 WIB.

Yang diharapkannya hampir sama dengan para pejuang nafkah harian lainnya, yakni dinormalkan kembali kondisi jalanan dan akses masyarakat seperti sedia kala. "Ya, penginnya kembali lagi. Lah pripun, sekarang enggak ada penghasilan, bantuan juga enggak ada. Sementara keluarga harus tetap makan," papar dia.

Cerita kehilangan
Tepat pada hari Iduladha kemarin pagi, Tribun Jogja berada di satu tempat pengisian ulang oksigen medis di Yogyakarta. Antrean panjang sudah mengular sejak pukul 08.30 atau bahkan lebih pagi. Harapan para pengantre terus membuncah untuk mendapatkan oksigen demi orang-orang tercinta yang menanti di rumah.

Namun, beberapa pengantre harus menerima kenyataan lain. Satu orang mendapatkan kabar duka di tengah antrean. Simbahnya meninggal dunia. Tak pantang semangat, dia tetap melanjutkan antrean karena oksigen medis ini ternyata juga dibutuhkan sang ayah.

Pengantre lain, tak jauh dari Tribun Jogja berdiri, tiba-tiba mundur dari antrean. Orang-orang pun bertanya mengapa tidak melanjutkan antre, dengan nada getir dia berkata sudah tidak membutuhkan oksigen itu lagi. Kabar kehilangan adalah penyebabnya.

Tak berhenti di situ, ada pula seorang wanita yang turut mengantre sendirian. Waktu berlalu. Setelah mengisi tabung, dia memasang regulator dan mulai menghirup oksigen tersebut. Ternyata wanita itu sendiri yang membutuhkannya. (hda/bad/hdy)

Baca selengkapnya Tribun Jogja edisi Rabu 21 Juli 2021 halaman 01.

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved