Kisah Penjual Pakaian di Masa Pandemi, Hilangnya Momen Anak Sekolah Beli Seragam

SUASANA muram begitu terasa di lorong lantai 1 Pasar Argosari, Wonosari, Gunungkidul

Penulis: Alexander Aprita | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUN JOGJA/Alexander Ermando
Sutarman (54), duduk di depan lapak yang tutup di Pasar Argosari, Wonosari, Gunungkidul. Sejumlah toko tutup sejak PPKM Darurat diberlakukan, namun lainnya memilih tetap bertahan. 

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat sejak 3 Juli lalu langsung berdampak pada aktivitas di pasar tradisional di Gunungkidul. Sejumlah pedagang pun memilih menutup lapak usahanya demi menghindari kerugian.

Sutarman (54), duduk di depan lapak yang tutup di Pasar Argosari, Wonosari, Gunungkidul. Sejumlah toko tutup sejak PPKM Darurat diberlakukan, namun lainnya memilih tetap bertahan.
Sutarman (54), duduk di depan lapak yang tutup di Pasar Argosari, Wonosari, Gunungkidul. Sejumlah toko tutup sejak PPKM Darurat diberlakukan, namun lainnya memilih tetap bertahan. (TRIBUN JOGJA/Alexander Ermando)

 SUASANA muram begitu terasa di lorong lantai 1 Pasar Argosari, Wonosari, Gunungkidul pada Rabu (7/7/2021).

Area yang didominasi penjual pakaian tersebut terlihat sangat lengang dan banyak kios tutup.

Sutarman (54), duduk termenung dengan tatapan hampa di depan lapaknya.

Sudah beberapa hari ini tak ada pembeli.

Lapak di belakangnya pun banyak yang tutup.

"Banyak yang memilih tutup karena benar-benar sepi pembeli," kata pedagang pakaian tersebut.

Pria asal Kepek ini menuturkan, sejak PPKM darurat diberlakukan, pendapatan langsung turun drastis dan menyisakan omzet sekitar 3-4 persen belaka.

Pasalnya, warga pun mulai mengurangi aktivitas berbelanja ke pasar.

Selain karena pandemi dan kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi juga membuat mereka harus menahan diri.

"Sejak pandemi (pendapatan) sudah turun, ditambah PPKM darurat makin anjlok," ujar Sutarman.

Ia memilih tetap berjualan karena hanya itulah satu-satunya sumber penghasilan utamanya saat ini.

Ada kebutuhan pokok keluarganya yang masih harus dipenuhi tiap hari.

Ia juga merasakan kekhawatiran bakal terpapar Covid-19, namun tidak pilihan lain agar kehidupan keluarganya tetap bertahan.

"Yang penting di sini saya patuh protokol kesehatan (prokes), sambil berharap ada satu-dua pembeli yang datang," ujarnya.

Rini (55), pedagang pakaian lainnya mengaku sempat senang saat Lebaran lalu, karena bisa menangguk sedikit untung.

Kini, ia harus kembali menelan pil pahit dengan situasi pandemi yang kembali memburuk ditambah PPKM darurat.

Ia mengaku sudah beberapa hari ini tak ada pembeli.

"Harapannya pas momen anak-anak sekolah pada beli baju seragam, ternyata belajarnya tetap daring kan," kata warga asal Tawarsari ini.

Rini tak hanya menanggung beban kebutuhan keluarga, tapi juga pinjaman usaha dari bank.

Itu sebabnya ia memilih tetap berjualan demi bisa memenuhi dua hal tersebut.

Ia kini juga mencoba berjualan secara daring, mulai dari produk pakaian hingga kebutuhan sehari-hari.

Baik Sutarman dan Rini bisa memahami kebijakan pemerintah.

Sebab bagi mereka, hal terpenting saat ini adalah menekan penyebaran Covid-19, sehingga warga bisa kembali beraktivitas, termasuk memulihkan ekonomi.

Kepala Administrasi Pasar Kemantren Wonosari, Sularno mengungkapkan setidaknya 30 persen pedagang di Pasar Argosari menutup usahanya sejak hari pertama PPKM darurat.

"Kebanyakan pedagang kelontong, pakaian, serta toko emas," katanya.

Selain menghindari kerugian, Sularno mengatakan langkah penutupan diambil karena ada 12 pelaku pasar yang terpapar Covid-19 dan tengah menjalani isolasi mandiri (isoman).

Ia mengakui jumlah pengunjung pasar kini menurun 50 persen setelah PPKM darurat diterapkan.

Saat ini pengunjung lebih banyak di lantai 2, yang menyediakan kebutuhan pokok. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved