Kisah Inspiratif

Asal Usul Cokelat Monggo Jadi Oleh-oleh Khas Yogyakarta, Bermula dari Sunday Morning UGM

Cokelat Monggo lahir 2005 di Yogyakarta kini menjadi alternatif oleh-oleh khas Yogyakarta

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Iwan Al Khasni
IST
Cokelat Monggo 

Cokelat Monggo kini menjadi alternatif oleh-oleh khas Yogyakarta. Puluhan jenis produk dan rasa Cokelat Monggo pun menjadi favorit kalangan anak-anak hingga orang tua. Seperti apa sejarah dan proses perjalanan Cokelat Monggo hingga menjadi perusahaan besar seperti saat ini? Apa saja perkembangan Cokelat Monggo terkini?

Pendiri Cokelat Monggo, Thierry Detournay.
Pendiri Cokelat Monggo, Thierry Detournay. (TRIBUNJOGJA.COM / Maruti Asmaul Husna)

Berikut laporan reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna, melakukan wawancara dengan sang pendiri Cokelat Monggo, Thierry Detournay :

Anda berasal dari Belgia, bagaimana awal cerita mengembangkan usaha cokelat di Yogyakarta?

Di 2001 saya mulai tinggal di Yogyakarta dan tidak ketemu cokelat seperti di Belgia. Yang saya temui adalah cokelat yang mungkin supaya murah, maka dieliminasi bahan-bahan yang penting, saya enggak suka.

Jadi saya coba buat untuk diri sendiri dan teman. Teman saya yang mengatakan harus jualan. Jadi awalnya sama sekali enggak ada ide untuk bisnis. Latar belakang saya orang sosial, bukan orang bisnis.

Apa benar awalnya pernah berjualan menggunakan vespa di Sunday Morning UGM?

Ya benar, di 2001 sampai 2002 jualan dengan vespa pink di Sunmor (Sunday Morning UGM) selama beberapa bulan. Di sana cocok untuk jualan karena pagi sekali, jam 05.00-07.00 WIB mataharinya masih rendah.

Dari sana saya belajar banyak karakter konsumen Indonesia kalau ingin membeli sesuatu. Saya juga banyak bagi-bagi karena ingin tahu orang suka atau enggak.

Kemudian, sebagai orang luar harus bikin bisnis yang lebih serius. Cokelat Monggo lahir 2005 di Yogyakarta, dari saya dan beberapa teman yang mau bikin usaha cokelat. Awalnya CV lalu jadi PT dan saya menjadi pemilik resmi.

Mengapa nama "Monggo" yang dipilih?

Kami berpikir apa sih kata-kata yang selalu orang ingat kalau ke Yogya. Dari beberapa kata, akhirnya "monggo" yang dipilih, itu sangat representatif dari orang Yogya.

Monggo sangat terpengaruh dari bahasa Jawa, itu juga kan sesuatu yang sangat ramah. Kita sebagai produsen, kecil maupun besar, harus ramah. Ramah pada lingkungan, masyarakat, diri sendiri juga. Jadi filosofi utamanya ramah, tidak sombong.

Bagaimana perkembangan Cokelat Monggo setelah itu?

Untuk menghasilkan uang itu lama sekali, butuh waktu 8 tahun dari 2001. Di 2009 baru Monggo terkenal. Oleh orang Jakarta, saya dikenal sebagai bule gila yang bikin cokelat di Yogya. Mereka jadikan itu cerita, lalu banyak media yang meliput. Itu sangat membantu sih.

Pabrik pertama Monggo di rumah kecil di sebuah kampung dekat Jalan Parangtritis. Setelah gempa, pindah ke Kotagede. Lalu sejak 2017, kami bangun pabrik dan museum cokelat di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul.

Apa ciri khas Cokelat Monggo dibanding cokelat lain?

Ciri khasnya di kualitas. Dari awal enggak pengin ikut-ikutan yang ada, saya pengin bikin sesuatu yang spesial. Tapi enggak pengin jualan hanya ke orang kaya, jadi harganya juga dibuat terjangkau.

Bedanya dengan cokelat murahan, di dalam real cokelat ada yang namanya kokoa butter, itu minyak dari biji kakaonya sendiri. Itu di kami harus ada karena itu penting untuk rasa dan tekstur. Kalau di cokelat murah itu dieliminasi dan diganti dengan lemak murah dan gulanya banyak, sehingga bahan kakaonya sedikit.

Bagaimana perkembangan produk Cokelat Monggo dari awal hingga saat ini?

Awalnya produk kami bikin satu dark cokelat, yang tidak terlalu pahit dan cukup creamy, supaya bisa diterima lidah orang sini. Kami bikin khas Belgia, praline, bentuknya cokelat batangan.

Sekarang variasinya banyak sekali, ada berbagai jenis dark cokelat sampai 100 persen dark cokelat ada. Ada dark cokelat dengan mangga, pala, juga dengan bumbu seperti cabe, rendang. Sekarang ada sekitar 50-an jenis dan rasa kalau termasuk praline.

Kalau untuk event, kami ciptakan juga produk khusus event, seperti sekarang ada produk ramadan dan lebaran, yaitu kurma praline. Kami juga kembangkan biskuit, cookies, juga gelato. Akan datang yang baru terus, kami enggak berhenti ciptakan itu.

Ke mana saja distribusi produk Cokelat Monggo saat ini? Apakah akan ekspor?

Jualan produk kami fokusnya di Indonesia. Karena dari awal misi saya memberikan pengalaman cokelat yang benar ke orang Indonesia. Saat ini Monggo sudah ada di semua Jawa dan Bali. Daerah-daerah lain juga bisa pesan online meski kami tidak hadir di sana.

Sejauh mana Cokelat Monggo memberdayakan masyarakat lokal?

Sebisa mungkin saya ambil orang daerah. Selain itu, lebih banyak pilih perempuan, yang tidak semudah laki-laki dalam mendapat pekerjaan. Sekitar 70 persen perempuan, mereka tidak hanya di posisi rendah, tetapi di posisi tinggi juga perempuan.

Kami juga kerja sama dengan supplier lokal. Kalau bisa hindari impor kami hindari, sebisa mungkin kerja sama dengan supplier lokal, juga petani Yogya.

Sebab value utama Monggo adalah care, peduli. Peduli pada alam juga, sebisa mungkin enggak pakai plastik. Itu kontribusi kami untuk dunia yang lebih baik.

Sejak 2017, dibangun Museum Cokelat Monggo di Bangunjiwo, apa saja aktivitas yang bisa dilakukan di sana?

Di museum kami ingin berikan pengalaman edukatif tentang makanan, terutama tentang cokelat. Pengunjung bisa belajar sejarah cokelat, seperti apa di kebun, proses produksinya.

Kemudian digabungkan dengan kegiatan lebih menarik, mereka bisa membuat cokelat sendiri. Baik anak-anak maupun orang dewasa. Juga bisa melihat proses produksi cokelat di belakang.

Awal tahun depan kami ingin kembangkan pabrik yang ada di museum, sehingga pengunjung bisa melihat proses pembuatan Cokelat Monggo dari awal hingga dikemas. ( Tribunjogja.com | Maruti Asmaul Husna )

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved