India Dihantam 'Tsunami Covid', Pelajaran Apa yang Bisa Diambil?
Serbuan gelombang kedua Covid-19 benar-benar memporak-porandakan India. Bahkan muncul istilah 'Tsunami Covid'.
Penulis: Mona Kriesdinar | Editor: Mona Kriesdinar
TRIBUNJOGJA.COM - India terhitung cukup berhasil mengendalikan pandemi covid-19 gelombang pertama, namun kalangan ahli menilai mereka terlena dan terlalu percaya diri dengan mendeklarasikan diri bebas covid-19 terlalu dini. Hingga akhirnya, serbuan gelombang kedua Covid-19 benar-benar memporak-porandakan India. Bahkan muncul istilah 'Tsunami Covid'.
Bagaimana tidak, dalam sepekan terakhir terjadi penambahan kasus tertinggi dibandingkan tempat mana pun di dunia. Nahasnya, kalangan ahli percaya bahwa angka riilnya jauh melebihi angka yang dipublikasikan.
"Kami sangat berhati-hati ketika masuknya covid-19 pertama kali atau di gelombang pertama," kata Dr Om Srivastava, Konsultan dan Profesor Tamu di Pusat Penyakit Menular, Mumbai sebagaimana dilansir BBC News.
Baca juga: TSUNAMI Covid-19 di India: Kisah Pria 70 Tahun Terpaksa Bawa Jenazah Istrinya dengan Sepeda
Bahkan menurut dia, apa yang dilakukan India kemudian dicontoh oleh negara-negara lainnya. Semisal lockdown dan hukuman bagi yang melanggar.
Hasilnya sejak November tahun lalu India dinilai cukup berhasil mengendalikan pandemi covid-19. Warga pun sudah meyakini bahwa Covid-19 sudah benar-benar hilang.
Dampaknya protokol kesehatan mulai longgar. Ini diperparah pula dengan adanya sejumlah kegiatan massal yang digelar setelah pelonggaran protokol kesehatan. Satu di antaranya adalah gelaran festival Kumbh Mela yang diyakini menjadi salah satu pemicu munculnya lonjakan angka positif covid-19.
Ancaman Gelombang Lanjutan
Hingga kini India masih berjibaku mengendalikan lonjakan angka positif Covid-19. Ini diperparah dengan kelangkaan pasokan oksigen dan juga vaksin.
Baca juga: Varian Baru Virus Corona dari India dan Afrika Telah Ditemukan di Indonesia, Ini Kata Menkes
Sebagaimana dilansir Reuters, seorang penasihat ilmiah utama pemerintah India, K. VijayRaghavan memperingatkan pada hari Rabu (5/5/2021) bahwa India pasti akan menghadapi gelombang lebih lanjut dari pandemi virus corona, karena hampir 4.000 orang meninggal dalam ruang sehari.
"Gelombang 3 tidak dapat dihindari, mengingat tingginya tingkat virus yang beredar," katanya kepada sebuah briefing berita.
"Tetapi tidak jelas kapan gelombang 3 ini akan terjadi, tapi kita harus mengantisipasinya," tambahnya.
Dengan kondisi kurangnya tempat tidur rumah sakit dan krisis pasokan oksigen, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan dalam laporan mingguannya bahwa India menyumbang hampir setengah dari kasus virus corona yang dilaporkan di seluruh dunia minggu lalu dan seperempat dari kematian.
Baca juga: Polisi Tetapkan 4 Tersangka Kasus Lolosnya WNI dari India Tanpa Karantina di Bandara Soetta
Kritikan Terhadap Pemerintah
Di tengah situasi yang tak menentu, Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi telah banyak menerima kritikan lantaran dinilai tidak bertindak lebih cepat untuk menekan gelombang kedua.
Acara festival keagamaan dan unjuk rasa politik yang telah menarik puluhan ribu orang dalam beberapa minggu terakhir, menjadi media penyebaran dari 'super spreader'.
Dalam laporan Reuters, Kamis (6/5/2021), terjadi lonjakan jumlah kematian dengan mencapai angka 3.780 jiwa selama 24 jam terakhir.
Data kementerian kesehatan menunjukkan, dan infeksi harian naik 382.315 pada hari Rabu. Jumlahnya lebih dari 300.000 setiap hari selama dua minggu terakhir.
Para ahli medis mengatakan angka yang sebenarnya bisa lima hingga 10 kali lipat dari laporan resmi. Negara ini telah menambahkan 10 juta kasus hanya dalam waktu empat bulan, setelah membutuhkan waktu lebih dari 10 bulan untuk mencapai 10 juta pertamanya.
Oposisi telah mendesak dilakukannya lockdown nasional, tetapi pemerintah enggan memaksakan langkah itu karena adanya kekhawatiran kejatuhan ekonomi. Namun beberapa negara bagian telah melakukan lockdown secara lokal.
Semisal di negara bagian Timur Benggala Barat, dilakukan penangguhan layanan kereta lokal dan jam kerja terbatas untuk bank dan toko perhiasan.
Bank sentral meminta bank-bank pada hari Rabu untuk memungkinkan lebih banyak waktu bagi beberapa peminjam untuk membayar kembali pinjaman, karena krisis mengancam kebangkitan ekonomi yang baru-baru ini.
Krisis Vaksin
Lonjakan infeksi ini bertepatan dengan penurunan dramatis program vaksinasi karena masalah pasokan dan pengiriman. Hal ini menjadi ironis lantaran India merupakan produsen vaksin utama.
Setidaknya tiga negara bagian, termasuk Maharashtra, rumah bagi ibukota komersial Mumbai, telah melaporkan kelangkaan vaksin, menutup beberapa pusat inokulasi.
Antrean panjang terbentuk di luar dua pusat di kota barat yang masih memiliki persediaan vaksin, dan beberapa dari mereka yang menunggu memohon polisi untuk membuka gerbang mereka sebelumnya.
Pemerintah mengatakan kapasitas produksi untuk remdesivir obat antivirus, yang digunakan untuk mengobati pasien COVID-19, telah dinaikkan menjadi 10,3 juta botol per bulan, naik dari 3,8 juta botol sebulan yang lalu.
Tetapi pengujian harian telah turun tajam menjadi 1,5 juta, Dewan Penelitian Medis India yang dikelola negara mengatakan, dari puncak 1,95 juta pada hari Sabtu.
Pelajaran Apa yang Bisa Diambil?
Indonesia kini tengah menyongsong agenda tahunan yang melibatkan begitu banyak orang, yakni tradisi mudik yang memungkinkan perpindahan orang dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pemerintah telah mengantisipasi hal ini dengan melakukan penyekatan di berbagai daerah perbatasan.
Pemerintah pun sudah melarang mudik, demi untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Bersamaan dengan itu, penerapan protokol kesehatan sejatinya tak boleh dikendurkan. Jangan sampai kita lengah, menganggap covid-19 sudah hilang. Jika tidak, mimpi buruk yang terjadi di India bisa saja terjadi pula di Indonesia. (*/CNN/Reuters/BBC News)