Kasus Paket Sate Beracun, Pakar Psikologi UGM: Pelaku Sudah Miliki Ekspektasi Tinggi Terhadap Target

Kasus Paket Sate Beracun, Pakar Psikologi UGM: Pelaku Sudah Miliki Ekspektasi Tinggi Terhadap Target

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Hari Susmayanti
KOMPAS.COM/MARKUS YUWONO
NA, tersangka pengiriman paket sate beracun, di Mapolres Bantul Senin (3/5/2021) 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Teka-teki pengirim sate maut misterius sudah terkuak. Diketahui, NAN (25) adalah pelaku yang mengirim sate kepada T melalui ojek online bernama Bandiman.

Sayangnya, T tidak mau menerima paket makanan tersebut dan meminta Bandiman untuk membawa pulang sate itu.

Takdir berkata lain, bukan T yang menjadi korban melainkan NFP, anak kedua T yang menyantap sate itu untuk berbuka puasa.

Motif NAN mengirim sate sianida, menurut keterangan polisi karena sakit hati dengan T yang pernah memiliki hubungan khusus dengannya beberapa tahun lalu.

Setelah menjalin hubungan, T justru menikah dengan perempuan lain.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Drs Koentjoro MBSc PhD mengatakan, apa yang dilakukan oleh NAN itu merupakan bentuk balas dendamnya terhadap T.

Dia memperkirakan, NAN sudah kepalang berekspektasi tinggi terhadap T.

“Pelaku ini bisa saja sudah membayangkan, kalau jadi istri T ini seperti apa. Dalam ranah psikologi, ada yang namanya need of power atau kebutuhan akan kekuasaan,” bukanya kepada Tribun Jogja, Senin (3/5/2021).

Dilanjutkannya, kebutuhan akan kekuasaan adalah hasrat untuk memiliki dampak, berpengaruh, dan mampu mengendalikan orang lain.

Baca juga: Polisi Buru Pria yang Sarankan NA Kirim Paket Sate Beracun Hingga Tewaskan Bocah di Bantul

Baca juga: Pengirim Paket Sate Beracun Tertangkap, Begini Respon Bandiman, Berharap Pelaku Dihukum Berat

Orang yang memiliki kebutuhan akan kekuasaan tinggi ini biasanya berupaya untuk memengaruhi orang lain.

Dia lebih suka ditempatkan pada situasi yang kompetitif dan berorientasi pada status atau kedudukan

Dia juga cenderung lebih memperhatikan gengsi dan mendapatkan pengaruh atas orang lain ketimbang kinerja yang efektif.

“Ya, jadi ini memang berbicara tentang materi. Pengaruh itu adalah segalanya,” tambahnya.

Apapun profesi T, kata Prof Koentjoro, pasti dia bekerja sebagai seorang yang menjadi idola di tempat tinggal asal NAN.

Sehingga, NAN sudah berandai-andai, apa yang akan tetangga atau lingkungannya bicarakan jika dia bisa menikah dan membangun biduk rumah tangga bersama T.

Mungkin saja, NAN sudah membayangkan pujian dan perhatian dari keluarga dan tetangganya di kampung apabila dia bisa menggaet T yang memiliki profesi tersohor.

Nahas, mimpi itu lenyap tatkala dia tahu T justru menikah dengan perempuan lain.

“Ketika dia tiba-tiba terbangun, ternyata realita tidak sama dengan ekspektasinya, maka bisa saja dia menyimpan dendam terhadap T,” paparnya.

Dendam dan amarah yang terkumpul itu mendorongnya untuk menyakiti T, salah satunya dengan racun.

Prof Koentjoro menjelaskan, NAN pasti akan semakin jengkel jika selama ini dia ingat hanya dimanfaatkan oleh T.

“Ada rasa kecewa mendalam dari NAN terhadap T yang sudah melambungkannya setinggi langit kemudian menjatuhkannya,” ucapnya.

Meski begitu, Prof Koentjoro yakin sebenarnya NAN merasa bersalah karena sate yang dibumbui sianida justru memakan korban orang lain.

Apalagi, korban adalah anak-anak dari keluarga yang tidak tahu apa-apa tentang masalahnya dengan T.

“NAN itu hanya mengutamakan emosi pada saat membumbui sate dengan sianida itu. Strateginya amburadul karena sudah disulut benci. Dia tidak mikir panjang, bagaimana jika satenya disantap orang lain. Dia juga tidak teliti,” tandasnya. (Tribunjogja/Ardhike Indah)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved