Fleksibilitas Riset Jadi Kunci Keberhasilan GeNose C19 UGM
Di UGM, fleksibilitas itu salah satunya ditunjukkan oleh para peneliti GeNose C19. Dr Dian K Nurputra selaku Co-inventor GeNose C19 menjelaskan
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Salah satu sifat riset sains yang dilakukan di kala pandemi ialah harus memiliki fleksibilitas.
Di UGM, fleksibilitas itu salah satunya ditunjukkan oleh para peneliti GeNose C19.
Dr Dian K Nurputra selaku Co-inventor GeNose C19 menjelaskan, penemuan GeNose C19 terkait erat dengan tugasnya sebagai Ketua Satgas Covid-19 pada salah satu rumah sakit di DIY sejak 7 Maret 2020 sekaligus risetnya mengenai breathalyzer untuk volatile organic compound (senyawa organik yang mudah menguap/ VOC) Tubercolusis (TBC) yang sedang berlangsung.
Saat itu, ia melihat kecepatan pengetesan Covid-19 di Indonesia menggunakan PCR sangat lama.
Dian bersama Prof Kuwat Triyana dan rekan-rekan peneliti lainnya menyusun proof of concept (evaluasi gagasan) mengenai VOC terkait Covid-19.
Baca juga: UPDATE Covid-19 Jumat 5 Maret 2021 Petang: Kasus Baru Tambah 6.971, Berikut Peta Sebarannya
“Tujuan proof of concept itu adalah untuk memetakan dan membandingkan VOC orang sakit Covid-19 dengan VOC orang sehat atau berpenyakit lain,” jelas Dian yang juga merupakan Peneliti Neurogenetic dan Protein Sensing UGM, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh The Conversation Indonesia dan Direktorat Pengembangan Usaha dan Inovasi (DitPUI) UGM, Kamis (4/3/2021).
Pada tahap evaluasi gagasan tersebut, protokol proof of concept divalidasi oleh Komite Etik FK UGM, Clinicaltrials.gov, dan Dirjen Farmalkes Kemenkes.
Setelah itu, tim peneliti diizinkan oleh Komite Etik FK UGM melakukan proof of concept dengan alat prototipe. Alat prototipe itu menskrining VOC orang sehat, pasien sakit non-covid (asma, TBC, penyakit paru obstruktif kronis/PPOK), dan orang sakit Covid-19 di RS Bhayangkara dan RS Lapangan Khusus Covid-19. Napas semua pasien diambil berulangkali pada tahap itu.
Berdasarkan hasil proof of concept, tim peneliti menyusun hipotesis bahwa alat prototipe GeNose C19 bisa menskrining VOC pasien penyakit Covid-19. Hasil tersebut dilaporkan tim peneliti ke Komite Etik dan DitPUI UGM yang telah menaungi tahap proof of concept.
“Kami juga meninjau pustaka terkait penelitian breathalyzer untuk VOC TBC dan menemukan tingkat sensitivitasnya rendah sekali. Setelah kami tinjau, desain secara teknis kurang tepat yaitu pada sampling system-nya,” ungkap Dian.
Ia melanjutkan, sampling system GeNose C19 jauh lebih stabil daripada alat serupa dari negara lain. Pengeluaran VOC akan berbeda-beda tergantung pada cara seseorang menghembuskan napas.
“Kami mencari Alveolar VOC yang hanya didapat ketika pasien tidak meniupkan langsung pada alat, sehingga kami sediakan kantong plastik agar pasien dapat hembuskan napas seperti biasa,” jelas Dian.
Dian dan tim peneliti memantau dinamika perubahan VOC pasien Covid-19 dari hari pertama pasien dinyatakan positif Covid-19 hingga negatif. Melalui pemantauan ketat itu, tim peneliti GeNose C19 menemukan bahwa pola VOC pasien positif Covid-19 benar-benar berbeda dari orang yang negatif.
Setelah itu, penelitian masuk ke tahap validasi. “Saya sebagai klinisi dan pengguna alat kesehatan juga sangat berpatokan pada validasi alat kesehatan sehingga saya sangat memahami keharusan tahap validasi dan realibilitas itu,” tuturnya.