REI DIY Sebut Ada Banyak Faktor yang Membuat harga Rumah di DI Yogyakarta Mahal

Ketua Real Estate Indonesia (REI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ilham Muhammad Nur mengungkapkan alasan harga rumah bisa mahal terutama

Penulis: Nanda Sagita Ginting | Editor: Kurniatul Hidayah
glynniscoxrealtor.com
ilustrasi 

"Untuk tahap perizinan pembangunan di sini berbeda dengan wilayah lain. Kalau di tempat lain, misalnya ada 5 step (tahapan) pengurusan bisa dilakukan dalam 1 kali pertemuan. Sedangkan, di sini harus satu-satu (per tahap) jadi memerlukan modal yang lebih banyak," ujarnya. 

Lalu untuk biaya kontruksi pembangunan, lanjut ilham, cenderung relatif tidak begitu mempengaruhi.

Karena, harga konstruksi di wilayah lain relatif sama.

"Untuk konstruksi tidak masalah. Harganya cenderung masih sama dengan daerah lain," tuturnya.

Sementara itu, berdasarkan rata-rata harga rumah di DI Yogyakarta yang dihimpun REI DIY paling rendah jenis rumah subsidi seharga Rp 150 juta. Sedangkan untuk non subsidi bisa mencapai miliaran.

Harga Rumah di DIY Tak Sebanding Dengan Pendapatan Rata-Rata Penduduk

Permintaan rumah hunian di DI Yogyakarta masih sangat tinggi dengan backlog sebanyak 250 ribu rumah.

Namun, angka tersebut tidak selaras dengan pemenuhan kebutuhan hunian di DI Yogyakarta.

Masih kata Ilham, rendahnya pendapatan masyarakat tidak sebanding dengan harga rumah yang setiap tahunnya naik begitupun dengan permintaan rumah

"Sebagian besar, masyarakat di wilayah Yogyakarta berpenghasilan di antara Rp2juta-Rp4 juta. Tentu, dengan pendapatan seperti itu akan kesulitan jika ingin membeli rumah dengan kisaran harga mulai Rp200 juta. Padahal, harga segitu untuk ukuran rumah non-subsidi yang paling murah,"paparnya.

Ia mengatakan, memang sudah ada program rumah subdisidi yang dilakukan pemerintah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah.

Namun, realisasinya tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan.

"Betul ada program rumah subsidi yang harganya Rp 150 juta per rumah. Namun, bangunan itu dijatah untuk DI Yogyakarta  setiap tahunnya hanya 500-700 rumah, tak sebanding dengan permintaan yang tinggi. Lihat saja backlog tahun ini sebanyak 250 ribu rumah, sangat jomplang sekali," terangnya.

Sementara itu, dari sisi pengembang (developer) juga tak berani menjual rumah dengan harga murah.

Karena, untuk biaya pembangunan saja memerlukan modal yang besar.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved