Penjagaan Kawasan Malioboro Ketat, Malam Tahun Baru Aman dari Kerumunan
Ada 1.200 petugas terdiri dari Polda, Polres dan Polsek serta Satpol PP Kota dan DIY, Jogoboro dan Satgas Komunitas
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi menegaskan, pada malam pergantian tahun dari 31 Desember 2020 ke 1 Januari 2021, tidak ada kerumunan yang berarti di kawasan Malioboro dan sekitarnya.
Penegasan ini mengklarifikasi berita di Tribun Jogja edisi Sabtu (2/1) kemarin tentang pengunjung di Malioboro dan sekitarnya pada malam tahun baru.
“Kalau (wartawan Tribun Jogja) melihat dan datang pada malam tahun baru, pasti bisa bicara lain. Sebab jika dibandingkan dengan hari-hari biasa saja, masih lebih banyak di hari biasa. Jika dibandingkan dengan Sabtu dan Minggu umumnya, juga jauh lebih rendah. Ada 1.200 petugas terdiri dari Polda, Polres dan Polsek serta Satpol PP Kota dan DIY, Jogoboro dan Satgas Komunitas,” paparnya.
Petugas berjejer dari ujung ke ujung untuk menertibkan penggunaan Prokes Covid-19 berupa 4M.
“Setiap kerumunan langsung di bubarkan. Termasuk menutupi tempat-tempat yang biasa dipakai selfi,” tambahnya.
Menjelang pukul 00.00, pengunjung bergerak ke Selatan, tetapi hendak pulang, mengambil kendaraan di parkiran. Sebab tidak lama sudah sepi.
Saat Kamis (31/12) sejak pagi sampai malam jumlah pengunjung tercatat dalam QR Code hanya 2.015 saja. Pada saat itu, kondisi sangat diperketat, karena pembatasan jumlah per zonanya.
“Bandingkan pada hari-hari biasa mencapai 2.500-3.000-an dan pada Sabtu Minggu mencapai 4.000-5.000 lebih. Bahkan jika dibandingkan dengan liburan akhir Oktober selama 5 hari mencapai 19.000 lebih,” ungkap Heroe Poerwadi.
Soal lockdown atau pembatasan yang diusulkan DPRD Kota Yogyakarta, menurut Heroe itu sebenarnya adalah sebuah metode atau cara, tetapi tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kerumunan.
Lockdown atau pembatasan akses sama-sama ingin mengurangi terjadinya kerumunan. Dan tidak hanya di seputar Malioboro, tapi seluruh kota pada malam tahun baru itu.
Sejak dalam perencanaan dengan Polresta, lanjut Heroe Poerwadi, sejak menyiapkan strategi mengurai kerumunan di malam Natal dan tahun baru yang menjadi pembahasan diskusi; yaitu penutupan atau pembukaan Malioboro.
Dalam pembahasan, berkaca dari peryaaan tahun baru-tahun baru sebelumnya ketika waktu itu, Malioboro kita tutup total.
Yang terjadi adalah kerumunan yang besar dan masyarakat duduk-duduk di tengah jalan. Ada yang tiduran dan sebagainya.
Dan jika ditutup maka kerumunan akan menyebar di ruas jalan lainnya yang tidak bisa diantisipasi. Seperti balon, kata Heroe Poerwadi, dipencet satu yang lain yang akan menggelembung. Seperti air, dibendung satu tempat akan mengalir ke tempat lainnya.
“Oleh karena itu, untuk menghindari kerumunan dan mengurainya, maka dalam masa pendemi itu kita melihat lebih efektif membuka jalur kendaraan di Malioboro dan melakukan pembatasan masuk ke Malioboro. Dimulai dengan pembatasan masuk kendaraan menuju Ring 1 seputaran Malioboro dan mulai melakukan pengaturan arus lalu lintas sejak di pinggir Kota, sehingga diputar untuk tidak mudah masuk ke Malioboro,” katanya.
Maka masyarakat tentu merasakan sejumlah ruas jalan ditutup, dan dialihkan ke arus lainnya. Sehingga pada malam tahun baru itu, banyak kendaraan yg memang tidak bisa masuk ke Pusat Kota termasuk Malioboro. Dan tidak ada yang turun kemudian jalan-jalan atau parkir di seputaran Ring 1.
Selain itu, kata Heroe, juga dilakukan pembatasan pada setia zona di Malioboro. Yang biasanya 500/zona menjadi 300 pengunjung selama liburan tahun baru ini.
Serta mengerahkan semua petugas secara penuh di seluruh Kota Yogyakarta.
Sebab di samping 1.200 di Malioboro dan Tugu, juga semua Satgas Kecamatan juga bersama Camat, Polsek dan Koramil beserta Satpol PP kecamatan dan Linmas ikut monitor dan patroli utk mengurai kerumunan.
Pukul 22.00 sudah sepi
Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi menjelaskan, pedagang dan pertokoan di kawasan Malioboro jelang pada pukul 22.00 sudah menutup tanpa kecuali sehingga masyarakat tidak bisa nongkrong atau makan dan minum menunggu datang menit pergantian tahun.
Karena memang tidak ada pertunjukan, pesta kembang api atau event dan makanan dan minuman. Maka begitu pedagang dan toko ditutup, maka masyarakat bergegas hendak pulang, ada yang di Parkiran Abu Bakar Ali dan Parkiran BI.
“Sehingga implikasi susahnya kendaraan dan orang yang masuk ke Ring 1 Maliobiro tidak tumpah ruah di tempat-tempat lainnya. Hal yang sejak awal diantisipasi, jika menutup Malioboro maka limpahan kendaraan dan orang akan menyebar ke ruas-ruas jalan lainnya. Sebab malam itu, sebenarnya kendaraan yang berputar-putar cukup banyak,” urai Wawali Kota Yogyakarta ini.
Jadi, lanjut dia, lockdown atau pembatasan akses itu hanya metode atau cara agar tidak terjadi kerumunan. “Dan malam itu, teman-teman wartawan pun juga melihat, tidak terjadi kerumunan. Hanya beberapa saat saja, ketika jelang pergantian tahun, ketika pedagang sudah pada tutup dan orang-orang bergerak menuju tempat parkir untuk pulang yang melewati Titik Nol. Sebab di tempat tersebut, kita jaga penuh agar tidak terjadi kerumunan. Kalau (wartawan Tribun Jogja) malam itu datang dan menyaksikan, tidak terlihat kerumunan. Apalagi jika mengambil gambarnya memakai drone, akan terlihat tidak terjadi kerumunan. Tapi kalo mengambil gambarnya dengan teknik eye level, nampaknya orang penuh,” paparnya.
Jadi istilahnya bukan menolak atau tidak ini, -antara lockdown atau melakukan pembatasan akses- sebab semua mencari metode yang paling efektif menghindari terjadinya kerumunan.
“Dan itu saat pasca tahun baru pun, kita lakukan pembatasan yang sama, bedanya memang tidak seluruh kekuatan turun pada awal Januari ini. Tetapi masih dilakukan pembatasan akses, pembatasan jumlah setiap zonanya. Dan penambahan pasukan Satpol PP dan Linmas. Selain Jogoboro, serta beberapa petugas kepolisian dan TNI. Sebagai upaya untuk menjaga prokes kesehatan. Sebab problemnya adalah kesadaran pengunjung yang datang ke Melioboro mesti harus terus diingatkan setiap saat,” jelas Wawali Heroe Poerwadi. (rbt)