Pendidikan

Epidemiolog UGM : Ada Kesalahan Persepsi Pemerintah dan Masyarakat terhadap Adaptasi Kebiasaan Baru

AKB bukan berarti berkegiatan normal ditambah penerapan protokol kesehatan. Melainkan harus dibarengi pengendalian mobilitas masyarakat yang masif.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
tangkapan layar Webinar 'Refleksi Pencegahan dan Pengendalian Covid: Apa yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi pandemi di 2021?' yang diselenggarakan Program Magister IKM FKKMK UGM, Selasa (22/12/2020).
dr Riris Andono Ahmad dalam Webinar 'Refleksi Pencegahan dan Pengendalian Covid: Apa yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi pandemi di 2021?' yang diselenggarakan Program Magister IKM FKKMK UGM, Selasa (22/12/2020). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sejak pertengahan 2020, pemerintah Indonesia menggaungkan pentingnya melakukan adaptasi kebiasaan baru (AKB) di tengah pandemi yang masih meluas. 

Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr Riris Andono Ahmad menyebutkan ada kesalahan persepsi pada pemerintah dan masyarakat terkait AKB.

Menurutnya, AKB bukan berarti melakukan kegiatan normal ditambah dengan penerapan protokol kesehatan (prokes).

Melainkan harus dibarengi pengendalian mobilitas masyarakat yang massif. 

Baca juga: Epidemiolog UGM : Pemerintah Harus Buat Sistem Kesehatan Nasional Antisipasi Pandemi di Masa Depan

"Saya melihat persepsi pemerintah dan masyarakat yang nampak adaptasi kebiasaan baru itu melakukan kegiatan normal ditambah protokol kesehatan. Padahal, adaptasi kebiasaan baru itu sebenarnya kita mencoba mencari keseimbangan antara melakukan imobilisasi total pada ekstrem kiri atau mobilitas yang seperti biasa sebelum terjadi pandemi pada ekstrem kanan," ujar Donni, sapaan akrab dr Riris Andono Ahmad dalam Webinar 'Refleksi Pencegahan dan Pengendalian Covid: Apa yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi pandemi di 2021?', Selasa (22/12/2020). 

Donni menjelaskan, prokes hanyalah semacam buffer atau proteksi spesifik yang tidak akan berfungsi optimal jika kita tidak memiliki titik tengah terhadap pengendalian mobilitas masyarakat. 

"Jadi seharusnya yang dilakukan ketika AKB itu seperti naik mobil, ketika jalan sepi kita bisa menginjak gas dan ketika lalu lintas padat kita menginjak rem. Ini yang bisa membuat kita selamat sampai tujuan. Kalau kemudian kita memakai helm itu sebagai alat proteksi saja. Tapi secara umum agar selamat kita harus pandai mengatur kecepatan kendaraan kita," tuturnya. 

Lebih lanjut, ungkapnya, hal itu bisa terlihat ketika AKB dimulai selanjutnya banyak muncul klaster COVID-19 di perkantoran, meskipun mereka mengklaim sudah melakukan protokol kesehatan.

Namun, masih kata Donni, implementasi prokes yang berupa 3M akan sangat sulit untuk dilakukan secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama setiap hari. 

"Bahkan di rumah sakit saja orang yang terbiasa melakukan infection control masih banyak terjadi penularan, apalagi bagi orang-orang yang tidak punya background kesehatan dan tidak biasa melakukan kegiatan tersebut," imbuhnya. 

Ia melanjutkan, ketika transmisi sudah sangat meluas, 3M saja tidak akan memadai.

Ada waktu-waktu di mana secara sosial kita tidak etis melakukan 3M saat bersama orang dekat kita. 

Karena itu, ungkap Donni, pada saat situasi transmisi COVID-19 masih sangat tinggi, satu-satunya cara adalah kita harus berhenti sejenak minimal 2 kali periode infeksius virus, sehingga transmisi bisa menurun signifikan. 

Baru setelah itu kita bisa memulai kembali untuk melonggarkan mobilitas dan melakukan 3M dengan lebih ketat.

"Seharusnya supresi transmisi itu sudah mulai kita lakukan jauh sebelumnya, ketika Agustus kita sudah mulai peningkatan. Tapi kita sekarang bahkan relatif lebih rileks," bebernya. ( Tribunjogja.com

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved