Sumbu Filosofis Yogyakarta Hingga Garis Imajiner Merapi dan Laut Kidul

Sumbu Filosofis Yogyakarta dari Tugu Golong Gilig (Pal Putih), Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya, hingga Panggung Krapyak

Penulis: Tribun Jogja | Editor: Iwan Al Khasni
Tribunjogja.com |
Garis Imajiner 

Tribunjogja.com Yogyakarta -- Tata Kota Daerah Istimewa Yogyakarta sejak awal dirancang oleh Sultan Hamengku Buwana I.

Semua itu terangkum dalam bingkai Sumbu Filosofis Yogyakarta yang membentang arah utara-selatan dari Tugu Golong Gilig (Pal Putih), Keraton Yogyakarta sebagai pusatnya, hingga Panggung Krapyak.

Sumbu filosofis sendiri menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak lahir, menikah, hingga menemui ajalnya.

Tak salah jika Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan Sumbu Filosofis Yogyakarta sebagai kota berwarisan budaya kepada organisasi pendidikan, keilmuwan, dan kebudayaan perserikatan bangsa-bangsa yakni UNESCO.

"Ada dua pilihan. Apakah kami di DIY ini atau kebun raya Bogor," kata Paniradya Pati Keistimewaan pemerintah DIY, Aris Eko Nugroho, Selasa (13/10/2020).

Ia menambahkan, meski saat ini sudah melakukan pemenuhan syarat administrasi, namun pemerintah DIY masih harus disuruh untuk melengkapi dokumen.

Antara lain tentang tenggat waktu, terdapat pengelolanya atau tidak, serta skema pengelolaannya seperti apa.

Menurutnya, kesiapan segala aspek menjadi penentu gagal atau tidaknya gelar sebuah kota warisan budaya dari Unesco.

"Mereka yang dari Unesco itu turun langsung. Misalnya kaitannya dengan sumbu filosofi. Ketika mereka jalan-jalan di Malioboro, dan bertanya kepada masyarakat tentang sumbu filosofi, lalu masyarakat tidak tahu, ya itu berpengaruh juga," sambung Aris.

Artinya, untuk mendapat pengakuan dari Unesco bukan hanya kehendak pemerintah saja.,

Dalam pencapaiannya, warga masyarakat pun dituntut untuk mengetahui historis sebuah obyek yang diajukan ke Unesco.

"Semua perangkat pemerintahan terlibat. Termasuk masyarakat lokal itu sendiri. Untuk itu di Malioboro itu kami sisipkan historis kawasan tersebut. Kaitanya dengan sumbu filosofi," urainya.

Garis Imajiner Merapi, Keraton Yogyakarta Hingga Laut Kidul

Keraton Yogyakarta menjadi pusat konsep tata ruang di DIY. Tata ruang daerah ini memiliki keistimewaan berupa garis lurus imajiner filosofis terbentang dari Gunung Merapi, Kraton, hingga laut selatan.

GARIS imajiner, Yogyakarta juga memiliki Sumbu Filosofis Yogyakarta yakni Tugu, Keraton dan Panggung Krapyak, yang dihubungkan secara nyata berupa jalan.

Sumbu Filosofis Yogyakarta itu melambangkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan alam.

Seperti dikutip dari laman etd.repository.ugm.ac.id, Panggung Krapyak ke utara hingga Kraton melambangkan sejak bayi dari lahir, beranjak dewasa, berumah tangga hingga melahirkan anak.

Sedangkan dari Tugu ke Kraton melambangkan perjalanan manusia kembali ke Sang Pencipta.

Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak juga merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan.

Dari kesemuanya itu, Keraton Yogyakarta menjadi pusatnya.

Keraton Yogyakarta dianggap suci karena diapit enam sungai secara simetris yaitu sungai Code, Gajah Wong, Opak Winongo, Bedhog dan sungai Progo.

Ada pula Gunung Merapi dan Pantai Selatan yang menjadi ujung garis imajiner, dengan Keraton berada tepat di tengah-tengah keduanya.

Jauh hari sebelum kasultanan ini berdiri, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah memikirkan konsep penataan kota yang demikian unik.

Merapi Berbagai Versi

KAWAH MERAPI - Asap mengepul dari kubah lava Merapi sisi tenggara pada Selasa (8/1/2019) pagi. Sejak pertengahan Agustus 2018, aktivitas gunung memunculkan kubah lava baru yang terus bertambah volumenya setiap hari.
KAWAH MERAPI - Asap mengepul dari kubah lava Merapi sisi tenggara pada Selasa (8/1/2019) pagi. Sejak pertengahan Agustus 2018, aktivitas gunung memunculkan kubah lava baru yang terus bertambah volumenya setiap hari. (TRIBUNJOGJA.com | Setya Krisna Sumarga)

Gunung Merapi, disebut salah satu pasak penyeimbang Pulau Jawa, Konon dahulu kala, Pulau Jawa tidak seimbang seperti sekarang.

Melainkan miring ke sebelah barat. Ini karena di ujung barat, terdapat banyak gunung, sementara di bagian tengah dan timur tidak ada.

Lucas Sasongko Triyoga dalam bukunya yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi menyebutkan bahwa untuk menyeimbangkan pulau jawa itulah, Dewa Krincingwesi kemudian memerintahkan untuk memindahkan Gunung Jamurdwipa di barat Pulau Jawa, ke tengah pulau Jawa.

Namun pemindahan Gunung Jamurdwipa ini menghadapi kendala.

Salah satunya lantaran ada dua orang empu sakti yang hidup di tengah pulau jawa. Keduanya yakni kakak beradik Empu Rama dan Permadi.

Para Dewa yang mendatangi kedua empu ini pun mengakui kesaktiannya. Mereka meminta keduanya untuk berpindah karena tempat tersebut akan menjadi tempat ditancapkannya pasak bumi penyeimbang pulau jawa.

Namun kedua empu ini menolak dengan alasan mereka tengah mengerjakan keris yang harus dikerjakan hingga selesai. Jika tidak, maka akan terjadi kekacauan.

Mendengar hal itu, Dewa Krincingwesi murka lalu menjatuhkan Gunung Jamurdwipa diatas mereka. Kedua empu ini terkubur hidup-hidup.

Roh keduanya dipercayai menjadi penjaga Gunung Merapi hingga sekarang.

Keduanya bahkan menjabat sebagai raja dari semua makhlus halus di Merapi.

Sementara perapian tempat mereka membuat keris, menjadi cikal bakal penamaan merapi.

Perapian ini juga yang diyakini sebagai cikal bakal lahar panas Gunung Merapi.

Rekaman video saat Gunung Merapi meletus pada Kamis, 13 Februari 2020 pagi
Rekaman video saat Gunung Merapi meletus pada Kamis, 13 Februari 2020 pagi (YouTube | VolcanoYT)

Gunung Merapi berasal dari Gunung Himalaya. Cerita lainnya menyebutkan bahwa Gunung Merapi dulunya berasal dari bagian dari Gunung Himalaya.

Kisah nyaris sama yakni para dewa saat itu membutuhkan patok untuk menyeimbangkan pulau jawa.

Namun, cerita yang satu ini agak berbeda dalam hal asal pembentukan Gunung Merapi.

Disebutkan bahwa Bathara Bayu diperintah Hyang Guru untuk mengambil bagian Gunung Himalaya untuk ditancapkan di Pulau Jawa.

Namun dalam perjalanannya, bagian-bagian gunung ini jatuh di bagian barat pulau jawa.

Bagian pangkal gunung himalaya ini jatuh berkeping-keping hingga menyebar dan menjadi sejumlah gunung di Jawa Barat semisal Gunung Guntur, Gunung Pangrango, Gunung Tangkuban Perahu, dll.

Bathara Bayu kemudian terbang ke wilayah tengah pulau jawa. Lalu menjatuhkan bagian lambung gunung himalaya. Jatuhnya sangat keras hingga jatuh berkeping-keping pula.

Ini menjadi cikal bakal sejumlah gunung di wilayah tengah pulau jawa.

Semisal Gunung Slamet, Sindoro, Merbabu, Sumbing, Lawu dan Gunung Merapi sendiri.

Sementara di bagian timur, bagian gunung himalaya berubah menjadi Gunung Semeru, Gunung Mahameru dan sejumlah gunung lainnya.

Adapun kisah keberadaan Empu Rama dan Permadi juga muncul di kisah ini.

Namun ada satu tokoh lagi yang muncul yakni Nyai Gadung Melati, sahabat kedua empu.

Saat bagian Gunung Himalaya dijatuhkan, ketiganya tengah bersemedi.

Mereka berhasil menyelamatkan diri dengan cara memukul tanah hingga menghasilkan rekahan tanah menjadi terowongan mereka untuk menyemalatkan diri.

Terowongan ini kemudian menjadi cikal bakal Telaga Putri, Telaga Nirmala dan Telaga Muncar.

Lantaran perapian mereka telah rusak dan berubah menjadi gunung, maka Empu Rama kemudian memutuskan untuk membuat pusaka di wilayah timur, sedangkan empu permadi bertugas di wilayah barat.

Sementara para sahabatnya diperkenankan untuk menjaga di wilayah tengah. Mereka antara lain, Nyai Gadung Melati, Prabu Jagat, dll.

Mereka menghuni Kedaton Watu Garuda, Kawah Gendol, Geger Boyo, Gunung Kendil, Plawangan, serta Turgo.

Demikianlah berbagai kisah mitologi yang menyebar sebagai cerita rakyat. . (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved