Ini Kebijakan yang Dinilai Berbahaya bagi Pekerja di Dalam UU Cipta Kerja
Ini Kebijakan yang Dinilai Berbahaya bagi Pekerja di Dalam UU Cipta Kerja
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Tim Fakultas Hukum (FH) UGM beberapa waktu lalu membuat catatan terkait isu ketenagakerjaan yang tertuang dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja.
Dosen FH UGM dari Departemen Hukum Ketenagakerjaan, Nabiyla Risfa Izzati mengungkapkan beberapa poin yang perlu digarisbawahi terkait klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.
Pertama, terkait ketentuan-ketentuan yang ambigu dalam RUU Cipta Kerja yang masih membutuhkan pengaturan lebih lanjut.
Hal ini menurutnya bertentangan dengan semangat awal Omnibus Law yang ingin menyederhanakan kebijakan ketenagakerjaan.
“Kalau kita lihat dari pasal-pasal yang diatur yang muncul justru kebingungan-kebingungan terhadap kebijakan ketenagakerjaan karena ada banyak poin yang tidak diatur secara clear di situ dan justru diatur ke dalam pengaturan lebih lanjut,” ujarnya dalam Konferensi Pers Pernyataan Sikap Akademisi dan Masyarakat Sipil terhadap UU Cipta Kerja yang diselenggarakan FH UGM, Selasa (6/10/2020).
• Pakar Hukum Lingkungan UGM: UU Cipta Kerja Mereduksi Prinsip Kehati-hatian
• Ahli Hukum Tata Negara UGM : Proses Pembentukan UU Cipta Kerja Bermasalah
Selain itu, lanjutnya, ada beberapa poin yang cukup krusial dari draft terbaru versi rapat paripurna DPR yang sangat berbahaya jika dilihat dari kaca mata ketenagakerjaan.
“Misalnya terkait dengan pesangon, UU Cipta Kerja ini mengubah ketentuan pasal 156 UU 13 tahun 2003 tentang kewajiban memberi pesangon. Dalam pasal 156 itu, disebutkan bahwa ada kewajiban (perusahaan) apabila terjadi PHK, pengusaha wajib memberi pesangon dan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diberikan paling sedikit dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal 156. Ketentuan ini justru diubah dalam RUU Cipta Kerja menjadi ketentuan maksimal atau dengan frase paling banyak,” paparnya.
“Ini sebenarnya adalah frasa yang aneh sekali dari kaca mata hukum ketenagakerjaan, karena dilihat dari teori hukum ketenagakerjaan, peraturan dalam UU seharusnya dibuat sebagai perlindungan minimum. Jadi apabila yang dibuat adalah ketentuan maksimal, maka ini memungkinkan pengusaha yang melakukan PHK untuk memberi pesangon jauh di bawah ketentuan yang ada,” sambung Nabiyla.
Nabiyla menambahkan, hal tersebut hanya salah satu contoh kekeliruan pengaturan yang perlu dikritisi dalam UU Cipta Kerja.
“Ini adalah bukti bahwa UU ini sepertinya dibuat dengan tergesa-gesa entah atas dasar apa yang justru akan merugikan, terutama pihak pekerja,” tandasnya. (Tribunjogja/Maruti Asmaul Husna)
