Kota Yogyakarta

Prevalensi Herd Immunity Alami Masih Sangat Jauh Memasuki Sembilan Bulan Pandemi

Sekitar sembilan bulan lamanya COVID-19 melanda secara global, herd immunity secara alami masih jauh dari yang dibutuhkan.

Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Victor Mahrizal
Shutterstock
Ilustrasi pasien COVID-19 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA – Sekitar sembilan bulan lamanya COVID-19 melanda secara global. Hingga saat ini, belum tersedia vaksin yang siap diimplementasikan pada manusia. Di sisi lain, terjadinya kekebalan kawanan atau herd immunity secara alami dipandang masih jauh dari yang dibutuhkan.

Pakar Epidemiologi UGM, dr Riris Andono Ahmad mengatakan, untuk mencapai herd immunity dibutuhkan sekitar 60-70% populasi yang mempunyai kekebalan. Entah itu kekebalan melalui infeksi alami COVID-19 atau melalui vaksin.

“Nah, kalau berbicara tentang kekebalan alami, selama 9 bulan ini bahkan di Amerika sebagai negara yang paling parah kejadian COVID-19, pravalensi COVID-19-nya masih jauh di bawah untuk tercapai herd immunity. Demikian juga di Indonesia, di Jakarta pada Juli dan Agustus itu hampir 4% dan di DIY sempat dilakukan screening dengan swab di antara 8.000 tenaga kesehatan saja prevalensinya hanya 2%,” tutur Andono dalam Webinar Kuliah Perdana IKM FK-KMK UGM belum lama ini.

Dengan demikian, lanjutnya, jika kita berharap ingin tercapai 60-70% dengan adanya infeksi secara alami, dibutuhkan waktu yang masih cukup lama.

Dari sisi teori epidemiologi, Direktur Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM ini mengungkapkan terdapat tiga pilihan untuk mengendalikan COVID-19. Di antaranya herd immunity dengan vaksin, herd immunity secara alami, dan virus yang mengalami mutasi.

Namun, peluang untuk melakukan pilihan ketiga tersebut sudah tertutup. “Virus mengalami mutasi opsinya kita sudah tidak punya. Harusnya saat COVID-19 baru ada di beberapa negara saja. Kalau pun ada harus dengan lockdown secara global selama dua kali masa inkubasi, tetapi ini impossible dilakukan,” ungkapnya.

Andono menambahkan, WHO (organisasi kesehatan dunia) beberapa waktu lalu mengumumkan vaksin paling awal tersedia pada pertengahahan 2021. Namun, hal itu belum dengan memerhatikan scale of production dari vaksin.

“Untuk memproduksi 200 juta saja di Indonesia butuh scale up capacity yang luar biasa besar. Yang coba kita lakukan sekarang adalah strategi yang kedua, yakni kita mencoba memproduksi vaksin, dengan cara melakukan berbagai tindakan social distancing,” ungkapnya.

Pria yang biasa disapa Donni ini menerangkan, pandemi diprediksi baru akan berakhir dalam beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, dibutuhkan adaptasi kebiasaan dan budaya baru agar manusia tetap bisa bertahan hidup di dalamnya. Hal itu perlu diupayakan baik pada level pemerintah, sektor bisnis, masyarakat, dan individu.(*)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved